Oleh Simon Welan

AMAN Nusa Bunga menyoroti sepuluh kasus menonjol yang berdampak buruk terhadap keberadaan Masyarakat Adat di Flores dan Lembata di Nusa Tenggara Timur (NTT). Kesepuluh kasus yang mengatasnamakan pembangunan itu, lima di antaranya terdapat di Manggarai atau wilayah pengorganisasian Pengurus Daerah (PD) AMAN Flores Bagian Barat, dua lainnya di PD AMAN Flores Bagian Tengah, dan tiga lainnya di PD AMAN Flores Bagian Timur. 

Kesepuluh kasus yang merugikan Masyarakat Adat Flores dan Lembata tersebut, mencakup pertama, Kasus Tanah Masyarakat Adat di Golo Mori, Kecamatan Komodo, Manggarai Barat yang berbuntut pada penahanan terhadap 21 warga adat; kedua, Kasus Geotermal Wae Sano di Kecamatan Sano Nggoang, Manggarai Barat; ketiga, Kasus Pembangunan Pabrik Semen di Luwuk dan Lingko Lolok, Satar Punda, Manggarai Timur; keempat, Kasus Geotermal Ulumbu di Poco Leok, Kecamatan Satarmese, Manggarai; kelima, Kasus Tanah Masyarakat Adat di Kalang Maghit, Desa Gunung, Kecamatan Kota Komba, Manggarai Timur; keenam, Kasus Geotermal di Dorotei, Mataloko, Ngada yang hingga kini belum ada perhatian dari pemerintah; ketujuh, Kasus Pembangunan Waduk Lambo di Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Nagekeo; kedelapan, Kasus Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale, Kecamatan Tali Bura, Sikka; kesembilan, Kasus HGU Hokeng, Kecamatan Wulangitang, Flores Timur; dan kesepuluh, Kasus Awololong di Pulau Siput, Lembata.

“Sebenarnya, masih ada kasus-kasus lain yang berpotensi merugikan Masyarakat Adat. Namun, yang lebih menonjol hingga saat ini, adalah kesepuluh kasus tersebut,” kata Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Wilayah Nusa Bunga Philipus Kami dalam jumpa pers yang berlangsung di Rumah AMAN di Jl. Udayana, Onekore, Ende pada Jumat lalu (1/10/2021). Ia bilang, “Diperlukan kerja sama yang baik antara pemerintah dan Masyarakat Adat setempat dalam sebuah proses pembangunan.”

Philipus mengutarakan bahwa Flores dan Lembata saat ini menjadi incaran para investor yang masuk melalui pemerintah dengan dalih pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, sehingga kerap melupakan Masyarakat Adat sebagai pemilik tanah yang ada di kedua wilayah.

Pemerintah dengan ego dan kekuasaannya, telah mengabaikan hak Masyarakat Adat dalam tahapan dan proses pembangunan yang dilakukan. Maka, protes dan gejolak perlawanan dari Masyarakat Adat setempat pun kian bermunculan sebagai reaksi atas tindakan yang dianggap telah melanggar adat dan budaya lokal.

Pelibatan Masyarakat Adat dalam Pembangunan

“Apa pun pembangunannya, Masyarakat Adat harus dilibatkan secara utuh karena merekalah yang memiliki hak atas tanah di lokasi yang akan dibangun itu,” tegas Philipus. 

Menurutnya, Masyarakat Adat sesunggguhnya tidak menolak pembangunan apabila pembangunan yang dilakukan melalui tahapan dan proses yang benar. Semua perencanaan pembangunan harus melibatkan Masyarakat Adat setempat, katanya. 

Namun, yang sering terjadi selama ini, lanjutnya, pemerintah kerap mengabaikan Masyarakat Adat dan haknya, sehingga memicu protes dan gejolak perlawanan di mana-mana. Masyarakat Adat juga seringkali menjadi korban atas kebijakan pembangunan.

Philipus Kami menilai bahwa aksi protes dan perlawanan Masyarakat Adat sesungguhnya memberikan sinyal kepada pemerintah kalau pembangunan yang dilakukan itu belum sesuai dengan adat dan budaya setempat atau masih mengabaikan hak Masyarakat Adat, sehingga harus segera dibenahi jika hendak membangun tanpa ada persoalan.

Aktivis Masyarakat Adat itu menegaskan bahwa kedudukan dan hak konstitusi Masyarakat Adat sesungguhnya jelas diakui negara dan diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, tepatnya pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3). Indonesia juga telah menandatangani Deklarasi Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Masyarakat Adat (The United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) atau biasa disingkat UNDRIP serta berbagai kebijakan terkait lainnya.

Oleh karena itu, tutur Philipus, kehadiran negara sesungguhnya adalah menjadi pelindung bagi Masyarakat Adat dan bukan menjadi penguasa yang menindas Masyarakat Adat.

Ia berharap Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar - dalam melaksanakan sebuah pembangunan - tidak mengabaikan hak Masyarakat Adat, sehingga pembangunan pun bisa berjalan seperti yang diharapkan dan turut mensejahterakan Masyarakat Adat.

Menolak Lokasi = Memberi Solusi 

Masyarakat Adat Rendu, Lambo, dan Ndora yang kini tengah berkonflik terkait pembangunan Waduk Lambo, sesungguhnya tidak menolak pembangunan waduk, namun yang ditolak Masyarakat Adat di ketiga komunitas tersebut adalah lokasi pembangunannya dari Lowo Se ke Malawaka dan Lowo Pebhu. Dua lokasi alternatif itu telah segaja disediakan Masyarakat Adat untuk pembangunan waduk.

Masyarakat Adat menolak lokasi pembangunan di Lowo Se karena di lokasi itu terdapat pemukiman warga, berbagai identitas budaya, padang perburuan adat, kuburan leluhur, sarana dan prasarana publik (gereja dan sekolah), padang pengembalaan ternak, serta lahan pontesial lain dan penting bagi mereka.

Menurut Philipus, kalau saja pemerintah merelakan dengan menerima solusi lokasi alternatif yang ditawarkan oleh ketiga komunitas adat itu, maka pembangunan waduk sudah berjalan dan bisa juga telah selesai pengerjaannya.

“Jika ada keterbukaan dari pemerintah dalam menerima solusi yang ditawarkan Masyarakat Adat atas lokasi alternatif yang disiapkan, saya yakin pembangunan itu sudah berjalan lama dan tentunya sudah selesai dibangun,” ungkapnya.

Oleh karena itu, ia berpesan agar pihak pemerintah tidak boleh memaksakan kehendak untuk membangun waduk di lokasi Lowo Se karena akan berdampak buruk terhadap kehidupan Masyarakat Adat yang telah hidup bertahun-tahun di sana jauh sebelum rencana pembangunan waduk itu dicanangkan oleh pemerintah.

“Mestinya pemerintah harus menghormati dan menghargai hak-hak konstitusi Masyarakat Adat karena semuanya telah diatur dalam UUD 1945 dan ratifikasi tentang hak-hak Masyarakat Adat internasional (UNDRIP),” lanjut Philipus.

Ia berharap pemerintah dapat segera menghentikan tindakan pemaksaan terhadap Masyarakat Adat di ketiga komunitas itu karena yang dilakukan Masyarakat Adat saat ini, adalah sekadar menegaskan kembali bahwa pemerintah - yang menjadi salah satu unsur negara ini - wajib menghormati hak Masyarakat Adat sesuai dengan konstitusi.

“Mari, kita menjaga adat istiadat dan seluruh kekayaan yang ada sebagai kekuatan dan potensi daerah yang harus dijaga, dilindungi, dan dihormati agar karakter daerah dan bangsa ini tetap dalam Bhineka Tunggal Ika! Walau kita berbeda beda, tapi tetap satu,” tutupnya.

***

Penulis adalah staf Infokom AMAN Nusa Bunga.