Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Pada hari ini, 5 Oktober 2021, tepat satu tahun usia Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK) sejak disahkan. Pengesahan UU yang pula sempat disebut UU “Cilaka” oleh banyak pihak tersebut, dianggap sebagai wujud pengabaian pemerintah terhadap suara rakyat. Melalui policy paper atau laporan kebijakan-nya, AMAN telah melakukan tinjauan kritis terhadap proses penyusunan dan pembahasan UU CK serta politik hukum pembentukannya. Implikasi terhadap kehadiran UU CK pun menegaskan legitimasi pelanggengan atas konflik struktural agraria dan perampasan wilayah adat.

UU CK merupakan aturan sapu jagat pertama di Indonesia yang mengamandemenkan sejumlah UU secara sekaligus. Presiden Joko Widodo pertama kali mewacanakan rencana Omnibus Law lewat pidatonya sekitar Oktober 2019. Lalu, draf RUU itu - awalnya berjudul Cipta Lapangan Kerja (“Cilaka”) - diserahkan pihak pemerintah kepada DPR RI pada 13 Februari 2020. Seperti judulnya, UU itu ditujukan sejatinya untuk menciptakan lapangan pekerjaan, namun keberadaannya justru menjadi pintu bagi kemudahan investasi terkait perizinan. Hal itu telah menjadi kekhawatiran banyak pihak sebab, sebelum UU CK dihadirkan, Revisi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) atau UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU Minerba lebih dulu disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 12 Mei 2020.

Proses UU CK telah banyak ditentang karena tergesa-gesa, tidak transparan, tidak demokratis, dan mengabaikan aspirasi rakyat. Gelombang protes atas penolakan terhadap pengesahan UU tersebut terjadi di berbagai daerah oleh hampir seluruh kalangan. Absennya partisipasi publik terhadap UU CK menegaskan banyak pihak untuk menyebutnya sebagai UU yang cacat formil. Artinya, pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Langgengnya Jalan Konflik dan Perampasan Wilayah Adat

Pada laporan kebijakan AMAN yang disusun oleh Muhammad Arman dan Ria Maya Sari, UU CK yang seharusnya memberikan jalan bagi penyesuaian berbagai aspek pengaturan terkait kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UKM; peningkatan ekosistem investasi; dan percepatan proyek strategis nasional,  - yang tersebar di berbagai UU sektoral yang dianggap belum memenuhi kebutuhan hukum dan percepatan cipta kerja - justru menguatkan akar konflik agraria Masyarakat Adat. Akar konflik itu tak lain adalah pemberian izin dan konsesi di wilayah adat untuk tujuan ekstraksi, eksploitasi, dan industrialisasi sumber daya alam (SDA).

Menurut AMAN, terdapat dua poin penting pada UU CK terkait Masyarakat Adat. Yaitu, ketiadaan partisipasi dan aspirasi Masyarakat Adat dalam prosesnya, berujung pada pelemahan posisi Masyarakat Adat di tengah ketiadaan payung hukum atas pengakuan hak kolektifnya; dan potensi terhadap meluasnya praktik korupsi SDA dan konflik tenurial di wilayah adat. Hal tersebut berpeluang menambah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) Masyarakat Adat dan membahayakan keberlanjutan lingkungan. Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum, dan HAM AMAN Muhammad Arman, mengatakan bahwa UU CK akan mengeksklusi Masyarakat Adat dari wilayah adatnya.

“Memang benar dalam UU Cipta Kerja disebutkan bahwa Masyarakat Adat itu diakui keberadaannya,” ungkapnya pada wawancara untuk Podcast Radio Gaung AMAN. “Tapi, selalu ada persyaratannya. Misalnya, dalam klaster pengadaan tanah untuk kepentingan umum di dalam UU Cipta Kerja, disebutkan jika ada proses-proses pembangunan yang hendak masuk di dalam suatu wilayah adat, maka Masyarakat Adat itu dapat dikategorikan sebagai pihak yang berhak. Tetapi, untuk dapat dikategorikan sebagai pihak yang berhak, itu disebutkan harus diatur Perda dulu. Ini situasi yang sulit karena proses pengakuan lewat Perda atau produk hukum daerah lainnya, bukan hal yang mudah karena itu adalah proses politik legislasi di daerah.”

AMAN menilai bahwa substansi pengaturan UU CK bertentangan dengan hak konstitusional Masyarakat Adat yang telah dimandatkan dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I UUD 1945. Sementara itu, terdapat sedikitnya tujuh hal terkait dengan potensi ancaman perampasan wilayah adat dalam UU CK.

Pertama, tata ruang, di mana UU tersebut mendorong percepatan dan perluasan investasi dan pertumbuhan ekonomi tanpa mempertimbangkan aspek pembangunan berkelanjutan dan mengabaikan kepentingan keselamatan manusia dan kelestarian fungsi ekologi. Kedua, kehutanan, di mana UU CK tidak menjawab kebutuhan resolusi konflik tenurial kawasan hutan, terutama terkait hak Masyarakat Adat di dalam kawasan hutan. Ketiga, lingkungan, di mana implikasi penggantian dari izin menjadi persetujuan, - yaitu, hilangnya hak gugat administratif bagi masyarakat atas diterbitkannya persetujuan lingkungan - mengurangi pengawasan publik dalam penyusunan dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Keempat, ketenagakerjaan, di mana terdapat potensi menghilangkan pekerjaan tradisional Masyarakat Adat, seperti peani, peladang, nelayan, dan lainnya. Kelima, pertanahan, di mana perihal bank tanah, salah satunya bersumber dari wilayah adat yang jika itu dilakukan, maka secara tidak langsung berpeluang menghilangkan ruang hidup Masyarakat Adat. Keenam, pelaksanaan administrasi pemerintahan, di mana penghilangan syarat diskresi dapat berimplikasi pada tidak adanya mekanisme kontrol, terutama apabila diskresi itu melanggar hak Masyarakat Adat terkait identitas dan ruang hidupnya. Ketujuh, pembinaan dan pengawasan, di mana kewajiban melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha ke Pemerintah Pusat, membuat mekanisme atas itu menjadi lebih panjang dan birokratis karena kendali Pemerintah Pusat yang begitu luas, sedangkan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, dilakukan dengan mekanisme legislasi daerah, sehingga membuka peluang pada disharmonisasi kebijakan.

Di tengah kontroversi dan gelombang penolakan yang begitu deras kala itu, UU CK tetap disahkan dan kini telah berusia satu tahun. Lalu, seperti apa kemudian situasi yang dihadapi Masyarakat Adat?

Para perempuan adat pejuang dari Rendu: Mama Mince (kiri), Mama Beatriks (tengah), dan Mama Ros (kanan).

“Saat ini mereka (Masyarakat Adat di wilayah konflik) sedang dikriminalisasi,” kata Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi pada pembukaan Konsolidasi Kader Pemula AMAN pekan lalu (29/4/2021). “Meski hak kita ada di dalam UUD 1945, tapi semua UU yang lahir dan dibuat itu dipakai untuk merampas wilayah adat kita. Saat kita sedang pertahankan wilayah adat kita, kita jadi dianggap kriminal dan melawan hukum.”

Pasca-pengesahan UU CK, AMAN mencatat bahwa pada 2021, diperkirakan 1.488 hektar hutan di Papua telah lenyap. (Kemudian, Bupati Sorong digugat tiga perusahaan atas keputusan mencabut izin-izin perusahaan perkebunan sawit yang melanggar aturan. Kisahnya dapat dibaca di sini.)  Sedangkan kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat yang terjadi sepanjang 2020, mencapai sedikitnya 40 kasus yang mencakup beragam kelompok, meliputi perkebunan (10), pertambangan (5), bendungan dan PLTA (6), pemerintah (5), Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) (6), Hutan Tanaman Industri (HTI) (3), TNI (1), dan pencemaran lingkungan di wilayah adat (4).

“Dampak UU Cilaka bagi Masyarakat Adat, (adalah) seluruh mekanisme yang ada dalam berbagai UU dan peraturan, itu dilucuti,” ungkap Rukka dalam menggambarkan situasi Masyarakat Adat setelah kelahiran UU CK. “Kita kembali seperti anak kecil yang telanjang dan tak punya pelindung apa-apa.”

Menurutnya, baik itu aktivis, DPRD, maupun Pemerintah Daerah, juga tidak akan mampu maksimal melindungi Masyarakat Adat sebab - apa yang dikatakannya dengan “Omnibus Cilaka” - itu telah melucuti wewenang mereka.

“Kita tak akan punya lagi kepastian untuk berpartisipasi dalam memastikan bagaimana pemerintah dan perusahaan masuk ke dalam wilayah adat dengan cara yang baik dan benar - free, prior and informed consent (FPIC),” lanjut Rukka pada pidato acara Peluncuran Catatan Akhir Tahun AMAN (13/1/2021). “Itu tak mungkin dilakukan sebab partisipasi masyarakat dihilangkan. Berbagai mekanisme perlindungan, seperti dalam UU Lingkungan Hidup, tak bisa digunakan sepenuhnya. Di tengah mekanisme yang ada ini saja, kita masih tetap mengalami kriminalisasi, apalagi dengan adanya UU Cilaka yang mereduksi dan menghapuskan seluruh mekanisme perlindungan Masyarakat Adat yang ada. Di tengah situasi pandemi, kita tahu ada banyak anggota AMAN yang mengalami perampasan wilayah adat.”

Rukka menegaskan bahwa di lapangan, ada lebih banyak kasus yang terjadi dan tak pernah dilaporkan. Sehingga, catatan atas jumlah 40 kasus tahun lalu merupakan sebuah fenomena gunung es. Ia pun menyoroti berbagai kasus besar yang kini tengah terjadi, termasuk apa yang menimpa Masyarakat Adat Kinipan di Kalimantan Tengah, Masyarakat Adat Agabag di Kalimantan Utara (kisah tentang ini dapat dibaca pada Majalah Gaung AMAN yang dapat diunduh di sini), Masyarakat Adat Toruakat di Sulawesi Utara, Masyarakat Adat Batak di Sumatera Utara (kisah tentang perlawanan dalam menutup PT Toba Pulp Lestari atau TPL dapat dibaca di sini), Masyarakat Adat Marafenfen di Maluku, Masyarakat Adat Maridan dan Telemow di Kalimantan Timur, dan lain-lain.

Yang terbaru, selain rentetan konflik maupun perampasan wilayah adat yang disebut di atas, situasi Masyarakat Adat Rendu di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur kian memanas. Di sana, Masyarakat Adat mengalami tindak kekerasan oleh aparat. Mereka sebetulnya tidak menolak pembangunan Waduk Lambo, melainkan lokasinya yang akan menenggelamkan permukiman, perladangan, kuburan leluhur, dan berbagai situs penting yang melekatkan identitas mereka pada wilayah adatnya. (Kisah tentang perjuangan Masyarakat Adat Rendu dapat dibaca di sini dan perbincangan bersama mama-mama pejuang dari Rendu juga dapat didengar lewat Podcast Radio Gaung AMAN pada Program Jelajah Nusantara.)

“Tidak hanya krisis ekonomi, tapi politik,” ungkap Rukka dalam menggambarkan situasi yang sedang dihadapi Indonesia kini. “Di tengah pandemi pun ternyata DPR dan pemerintah mensahkan UU Cilaka. Kita punya catatan penting dan panjang tentang itu.”

***