Oleh Anton Johanis Bala

Belakangan, aksi para ibu dari Rendu, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur yang bertelanjang dada di hadapan aparat bersenjata, mendapat sorotan serius dari berbagai pihak, terutama mereka yang berseberangan dengan sikap dan perjuangan Masyarakat Adat di sana. Upaya demoralisasi pun serentak mengemuka. Para ibu itu di-bully (dirundung) dan dituduh telah melakukan penyimpangan sosial serta dianggap tidak bermoral dan tidak etis. Bahkan, ada komentar terkait pelecehan eksitensi perempuan dan budaya Nagekeo pada umumnya. Tujuan terhadap hal itu tampaknya hanya satu, yaitu memobilisasi opini publik untuk mendelegitimasi substansi perjuangan para ibu itu. 

Para pihak yang menuduh, lupa untuk bertanya: mengapa jalan bertelanjang dada itu harus dilakukan dalam perjuangan tersebut? Mereka tidak pernah tahu apa yang dialami dan dirasakan ibu-ibu itu sejak awal perencanaan Waduk Lambo pada 2015/2016 hingga hari ini. Dari curhatan para ibu, saya coba membuat catatan pendek yang mungkin bisa dipahami sebagai alasan mereka melakukan aksi bertelanjang dada tersebut.

Pertama, pengabaian terhadap hak-hak konstitusional mereka sebagai Masyarakat Adat. Mandat pada Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 sungguh tidak dijadikan pertimbangan pemerintah dalam menempatkan posisi Masyarakat Adat sebagai pengambil keputusan atas wilayah adatnya. Penolakan lokasi pembangunan waduk di Lowo Se dan tawaran alternatif di Lowo Pebhu atau Malawaka, sudah diajukan sejak awal oleh Masyarakat Adat, tapi sama sekali tidak didengarkan. Survei tetap dilakukan secara tidak transparan dan tanpa melibatkan Masyarakat Adat. 

Kedua, proses yang tidak demokratis. Beberapa pertemuan yang digelar oleh pihak pemerintah terkait dengan pembanguan waduk itu, terkesan hanya formalitas atau sekadar memenuhi tuntutan prosedural. Bentuknya sosialisasi, bukan musyawarah mufakat. Tidak ada dialog yang egaliter maupun setara, melainkan hanya sosialisasi tentang dampak positif dan kemutlakan proyek tersebut. Kalau ada pendapat berupa usul atau saran dan keberatan dari Masyarakat Adat, itu hanya ditampung dan lenyap tanpa bekas atau tindak lanjut.

Ketiga, tidak adil. Keadilan yang mereka pahami dalam proyek itu adalah memberikan ganti rugi dan relokasi korban terdampak. Padahal, yang dimaksudkan Masyarakat Adat dengan keadilan, adalah mencari tempat yang lebih aman dan tidak berisiko tinggi terhadap jatuhnya korban serta terhadap kehilangan harta benda, fasilitas publik, rasa aman, dan kebudayaan. Keadilan juga tentang bagaimana melakukan penghematan uang negara dengan tidak membelanjakannya untuk dampak yang sebenarnya bisa dicegah. 

Keempat, diskriminatif. Narasi yang dikembangkan selama ini oleh pemerintah dan kelompok pendukung waduk, adalah Masyarakat Adat yang berjuang itu terdiri atas sejumlah kecil orang, hanya satu-dua orang yang berbeda pendapat dan tidak setuju. Mereka dianggap kelompok yang masih terbelakang, anti-pembangunan, dan anti-pemerintah. Mereka ini minoritas, yang dianggap seolah bisa diabaikan begitu saja dan seolah menjadi lebih penting untuk fokus pada kepentingan publik yang lebih besar. Padahal, diskriminasi adalah salah satu prinsip yang dilarang dalam perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan hak-hak asasi manusia berdasarkan hukum internasional dan peraturan-perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. 

Kelima, penggunaan aparat bersenjata. Sejak awal, proses pada 2015/2016, pemerintah selalu menggunakan aparat bersenjata untuk melakukan represi dan kriminalisasi terhadap Masyarakat Adat. Mobilisasi aparat bersenjata terbesar pernah terjadi pada saat survei awal dan eskalasinya semakin meningkat sejak akhir September sampai hari ini. Padahal, kita tahu bahwa perlawanan yang mereka lakukan itu bukan tanpa alasan, tapi karena - baik prosedur dan substansi dari seluruh proses - terbukti mengabaikan hak-hak Masyarakat Adat.

Keenam, tertipu di Pilkada. Pada Pilkada beberapa waktu lalu, Masyarakat Adat di sana tidak mendukung calon petahana karena menurut mereka, calon tersebut adalah yang mengusulkan lokasi Waduk Lambo di Lowo Se ketika masih menjabat sebagai Bupati Nagekeo. Mereka lalu menaruh harapan pada calon yang baru agar perjuangan mereka bisa berhasil dengan baik. Kesepakatan lisan terjadi untuk itu dan mayoritas suara masyarakat, diberikan untuk calon tersebut. Mereka akhirnya menang dan merayakan kemenangan secara bersama-sama. Tapi, hari ini, mereka terus berjuang dan justru berhadapan dengan orang yang sebelumnya mereka harapkan. 

Dari enam fakta tersebut, saya bisa bayangkan betapa sakitnya perasaan ibu-ibu pejuang itu. Apalagi, semua cara bermatabat yang disukai oleh pemerintah dan para moralis, sudah mereka lakukan. Pergi ke Jakarta bertemu Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, sudah. Melakukan demo, lobi, dan negosiasi dengan Pemerintah Daerah, juga sudah. Hasilnya, tetap saja yang datang itu aparat keamanan bersenjata laras panjang untuk melakukan represi dan memaksa Masyarakat Adat untuk mundur dari tanah leluhurnya. 

Oleh karena itu, saya menduga pilihan untuk bertelanjang dada, adalah semacam ultimum remedium (upaya terakhir) dalam mempertahankan hak-hak Masyarakat Adat. Mengeksploitasi dirinya sendiri secara psikologis, merupakan pilihan yang paling rasional di kala semua fasilitas demokrasi telah tersumbat oleh kekuasaan otoriter. Walaupun karena itu, mereka harus menghadapi resiko dirundung oleh kaumnya sendiri. 

Mungkin ibu-ibu di Rendu mau menjelaskan pada dunia bahwa tanah - dalam filosofi budaya kita - dipandang sebagai “ibu” yang selalu memberikan kemakmuran dan hidup yang keberlanjutan. Karena itu, betapa pentingnya wilayah adat bagi kehidupan mereka dan anak cucu mereka. Para perempuan adat itu juga mungkin mau mengirim pesan kepada aparat pemerintah dan keamanan bahwa kita semua berasal dari (rahim) ibu. Dari dada (tubuh perempuan), kita memperoleh kehidupan. Dari dada itu, kamu juga bisa menikmati kekuasaanmu yang sekarang.

Jadi, jangan melecehkan dan menyia-nyiakan “ibu”-mu! 

***

Penulis adalah pegiat Masyarakat Adat dan praktisi hukum.

Tag : Waduk Lambo Anton Johanis Bala Perempuan Adat