[caption id="attachment_38" align="alignleft" width="288"] Mama Aleta[/caption] MENGENAKAN celana pendek dan jaket abu-abu gombrong, Piter Oematan berdiri tegap di depan rumah adat di Kampung Nausus, Mollo Utara. Pada Senin siang itu dua pekan lalu guyuran hujan lebat baru reda. Aroma pohon kasuari dan rerumputan basah menyergap perkampungan. Mata Piter menatap tajam ke arah dua gunung batu marmer yang menjulang di sana. Ada kenangan pahit yang tersisa dari kedua gunung itu. Terletak di pedalaman Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, bentuk gunung itu sudah tidak utuh. Sebagian bopeng-bopeng dipotong penambang marmer pada 1990-an. Beberapa batu hasil tambang dibiarkan teronggok di tengah hutan karena tak sempat diangkut ke luar kampung. Itulah sisa penambangan yang pada dua dekade silam ditentang keras oleh sebagian besar masyarakat adat dari lima desa di sekitar wilayah tambang. Dimotori Aleta Baun atau Mama Aleta, begitu dia biasa disebut mereka menolak masuknya penambang marmer karena telah merusak lingkungan. “Di sekitar situlah lokasi peternakan masyarakat adat dulu berada,” kata Piter, 56 tahun, salah satu tetua adat di sana. Mereka percaya leluhur mereka berasal dari batu, kayu, dan air di sekitar desa. “Batu, hutan, dan air merupakan simbol marga dan martabat bagi masyarakat adat di sana,” kata Aleta kepada Tempo. Marga Baun yang disandang Aleta diambil dari unsur air. Di bawah gunung batu terdapat sumber mata air. Maka, tatkala kawasan itu terancam akibat penambangan, urat saraf Piter dan Aleta pun bergolak. Ancaman terhadap alam di Mollo dimulai ketika pemerintah mengizinkan PT So’e Indah Marmer melakukan penambangan di daerah itu pada 1994. Satu tahun kemudian, giliran PT Karya Asta Alam, perusahaan Thailand, memperoleh lampu hijau. Selain menambang, perusahaan tersebut membuka jalan menuju gunung batu dengan membabat hutan. Walhasil, wilayah yang dikelilingi hutan kasuari jadi kering-kerontang. Air bersih sulit ditemukan. Padahal, sebelum perusahaan masuk ke sana, masyarakat adat mudah memperoleh air untuk ternak mereka. Rumput yang tumbuh di sekitar kampung adalah sumber pakan ternak buat sapi, kerbau, dan kuda yang banyak terdapat di Mollo. Aleta dan Piter lantas mendatangi kampung demi kampung untuk menggalang penolakan. Dimulailah kisah perlawanan dari Desa Fatukoto, Lelobatan, Leloboko, Ajobaki, dan Bijaepunu, yang terbentang di sekitar gunung batu itu. Awalnya, tidak semua warga serta-merta mendukung gerakan itu apalagi warga desa yang bekerja di perusahaan tambang. Posisi Aleta juga terjepit karena dia bekerja di Sanggar Suara Perempuan yang dikelola istri bupati. Atasannya melarang dia berdemo. Strategi lain ditempuh. Sekitar 1999, Aleta diam-diam bertemu dengan para tokoh adat pada malam hari. Menurut Piter, gerakan ini berhasil mendapat dukungan dari masyarakat adat dari suku Amanuban, Amanatun, dan Mollo. Dukungan ini tak mengendurkan tekanan aparat keamanan di lokasi tambang. Mereka malah makin ringan tangan melakukan tindak kekerasan. “Kami kadang dipukul,” Piter mengenang. Masyarakat yang menolak tambang diancam akan dijebloskan ke penjara. Pemerintah setempat juga mengeluarkan sayembara. Aleta dicap antipembangunan. Nyawanya dihargai Rp 750 ribu-Rp 1 juta bagi mereka yang berhasil membunuhnya. Rumahnya hampir setiap malam dilempari batu. Ibu tiga anak ini pernah dikejar 14 orang sampai ke hutan. Tebasan parang dari para pemburunya menyisakan bekas luka di kakinya. Semula Aleta diungsikan ke Kupang. Tapi dia kemudian kembali ke Mollo. Ia hidup dalam hutan selama enam bulan untuk menghindari kejaran aparat desa. Dalam pelarian itu, Ainina Sanam, si bungsu yang ketika itu berusia enam tahun, ikut menemani ibunya di hutan. Untunglah, ada Lifsus Sanam, 50 tahun, suami Aleta, yang penuh pengertian. “Saya mendukung perjuangan dia mencari keadilan,” kata Lifsus. Menurut Piter, intimidasi dan ancaman aparat tidak mengendurkan ikhtiar masyarakat Mollo. Mereka berkukuh menolak perusahaan tambang. Mama Aleta menemukan taktik protes baru yang amat “beraroma lokal”. Dia ke luar hutan dan disertai tiga mama sebutan untuk kaum ibu di Pulau Timor lain, Aleta menenun di celah-celah gunung batu yang hendak ditambang. Sejak pagi buta hingga pukul empat sore para ibu rumah tangga suku Mollo menenun be¬ramai-ramai di tempat itu. Taktik ini dipilih untuk menggambarkan pentingnya kelestarian hutan di sekitar lokasi tambang bagi masyarakat adat di sana. “Seluruh kapas, pewarna, dan alat-alat tenun berasal dari hutan,” ujarnya. Kondisi sebagian hutan Mollo ketika itu telah gundul dibabat perusahaan tambang. Motif kain tenun yang dihasilkan beragam. Kebanyakan bercerita tentang hubungan manusia dengan alam. Dalam kain tenun itu ada simbol hutan, panglima masyarakat adat, hingga wilayah kepemilikan hak ulayat di sekitar kawasan hutan. Aksi ini lambat-laun memperoleh simpati. Jumlah penenun bertambah jadi sekitar 60. “Semua ibu rumah tangga dari tiga suku ikut menenun,” kata Aleta. Mereka bermalam di lokasi tambang bersama keluarga. Satu tahun berlangsung, strategi ini ampuh untuk menghadang para pekerja tambang yang hendak bekerja. Kehidupan Orang Mollo di Timor Tengah Selatan Piter mengatakan, karena jumlahnya kian banyak, masyarakat lalu mendirikan perumahan di sekitar lokasi tambang. “Kami juga menggelar ritual adat untuk memohon bantuan leluhur,” ujarnya. Aleta percaya, roh suku Mollo telah menolong perjuangan mereka. Ikhtiar panjang ini membuahkan hasil. Dua perusahaan itu akhirnya angkat kaki dari sana pada akhir 2001. Setelah berhasil mengusir para penambang, masyarakat adat tiga suku mulai membangun lopo, sebutan untuk rumah adat, di sekitar lokasi tambang. Upaya ini, ujar Piter, dilakukan agar tidak ada lagi penambangan di daerah itu. Perumahan tadi menjadi cikal bakal Kampung Nausus, yang berjarak 60 kilometer dari Kota So’e, ibu kota Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sekitar sepuluh rumah dan satu balai pertemuan kini berdiri di sana. Sedikitnya 20 keluarga menghuni perkampungan itu, tempat Piter menjadi salah satu tetua adat. Aleta dan Piter juga menggerakkan penduduk setempat untuk menghijaukan kembali kawasan hutan. Mereka menanam pohon kasuari di sekitar bekas lokasi tambang. Masyarakat desa berkebun dengan menanam tanaman berumur pendek, umpama jagung, pisang, ubi-ubian, dan kacang-kacangan. Hasil bercocok tanam ini tidak dijual. “Tapi untuk dikonsumsi dan dibagikan kepada masyarakat adat,” kata Piter. Kegiatan menenun juga semakin digiatkan oleh ibu-ibu di wilayah Mollo. Hasilnya dijual ke seluruh Indonesia. Untuk mengenang dan menghargai perjuangan kaum perempuan, masyarakat adat Mollo menggelar Festival Ningkam Haumeni atau Lilin, Madu, dan Cendana. Dilangsungkan pada setiap Mei setelah panen, festival yang dimulai sejak dua tahun lalu ini mempertontonkan kain-kain tenun para mama dan hasil-hasil kebun. Itu semua, kata Aleta, adalah cara mereka menunjukkan bahwa masyarakat adat di sana mampu hidup mandiri, berdampingan dengan alam. Yandhrie Arvian, Yohanes Seo (Timor Tengah Selatan)