Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Di Indonesia, wabah Covid-19 berlangsung lebih lama dari yang awalnya kita kira. Namun, selain menempatkan Masyarakat Adat pada situasi dengan kerentanan berlapis, pandemi telah memberikan pula berbagai pembelajaran berharga. Itu tentu terkait dengan peran Masyarakat Adat sebagai garda depan dalam upaya penanganan krisis, terutama kedaulatan pangan. Ada cerita menarik tentang itu dari Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat (NTB). 

“Kita pemuda adat aktif sejak datangnya Covid-19. Sebelum adanya instruksi (dari Sekjen AMAN untuk) membentuk Satgas AMANkanCovid19, kami sudah bentuk Satgas (Satuan Tugas) lokal yang terdiri dari (para pemuda adat anggota) BPAN (Barisan Pemuda Adat Nusantara) Sembalun,” ungkat pemuda adat bernama Junaidi.

Junaidi adalah pemuda adat dari Komunitas Masyarakat Adat Bumbung di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, NTB. Di sana, ia bersama anak-anak muda giat bergerak dalam upaya antisipasi dan penanganan pandemi, termasuk kegiatan pembuatan hand sanitizer alami dan pembagian masker. Satgas AMANkanCovid19 pun dibangun oleh para pemuda adat, lelaki maupun perempuan. Keaktifan anak-anak muda di komunitas tersebut justru meningkat dalam dua tahun terakhir. Di tengah situasi krisis, para pemuda adat berhasil menginisiasi lahirnya Sekolah Adat Laskar Lembah Renjani Sembalun yang bertujuan untuk menjaga Sembalun ke depannya guna melestarikan budaya dan kearifan lokal. Sekolah adat dan kelompok pemuda adat pun membawa harapan baru dalam merekatkan berbagai kelompok dan generasi di komunitas untuk kedaulatan pangan dan kemandirian ekonomi.

“Untuk situasi Covid-19 di Lombok, secara umum, penyebarannya sangat cepat,” ungkap Junaidi yang akrab disapa Jun ketika menceritakan situasi tahun pertama pandemi di sana. Sejumlah kabupaten di Pulau Lombok sempat ditetapkan sebagai zona merah. “(Awalnya,) masyarakat di sini tidak terlalu menghiraukan. Jadi, mereka berjalan normal seperti biasanya (dalam) beraktivitas. Yang supir, ya beraktivitas jadi supir, dan sebagainya. Tak terlalu menghiraukan Covid-19 itu.”

Tentu saja, ada alasan di balik masyarakat yang relatif masih tidak menghiraukan sebaran virus. Jun mengutarakan bahwa salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya sosialisasi mengenai Covid-19 dan tuntutan ekonomi, termasuk aktivitas jual-beli komoditi pertanian. Alasan lain, menurutnya, juga diakibatkan oleh kebijakan pemerintah setempat yang membuka peluang pada penyebaran virus, seperti tetap dibukanya pusat-pusat perbelanjaan atau mal.  

“Pas mal dibuka, itulah penyebaran yang terbesar yang pertama kali di Lombok. Sehari itu kena sampai 52 orang saat dibuka. Dari klaster itu, maka menyebar lagi,” kata pemuda berusia 25 tahun tersebut.

Kesenjangan Pelayanan Publik

Daerah berupa pulau atau pesisir memiliki kekhasannya sendiri. Secara umum, fasilitas publik umumnya memiliki kesenjangan jika dibandingkan dengan Jawa atau daerah-daerah lain yang bercorak daratan atau dataran rendah di kawasan perkotaan. Lalu, bagaimana dengan infrastruktur dan layanan kesehatan di Lombok? Jun mengaku terdapat tantangan pada hal tersebut.

“Itu kami alami, terutama akses kesehatan, karena untuk pengecekan rapid test itu hanya beberapa rumah sakit dan terbatas sekali dan biaya sangat mahal,” ungkap Jun. Tetapi, menutup atau melarang warga untuk tidak beraktivitas di luar atau diam di rumah, tak selalu dapat diterapkan. “Kami di Sembalun, hanya ada satu alat pengecekan suhu tubuh…. Kami tetap memperhatikan himbauan pemerintah dan lainnya. Tetapi, kesehatan itu kurang. Di pesisir juga. Memang aturan penanganan Covid-19 tetap diterapkan di pelabuhan, baik di akses jalur antar-daerah, antar-kota, itu tetap dilakukan penjagaan yang ketat, tapi aktivitas tetap berjalan seperti biasanya dengan standar yang diterapkan oleh penanganan Covid-19.”

 

Para pemuda adat anggota BPAN Sembalun dan sekolah adatnya. Sumber foto: Dokumentasi BPAN Sembalun.

Peran Pemuda Adat dan Gotong-royong

Berbagai penyesuaian dilakukan oleh Masyarakat Adat dalam merespons pandemi. Para pemuda adat tetap merapatkan barisan sebagai garda depan dalam mengatur hal itu.

“Ada dua pintu masuk ke Sembalun. Itu tetap kita jaga dan kita ikut dengan Satgas AMANkanCovid19 dari pemuda adat BPAN Sembalun, kita tugaskan jaga pintu masuk itu. Mereka ikut berperan aktif di sana dan masyarakat siapkan ketahanan pangan lokal. Di sela-sela tanaman sayuran, mereka juga selipkan tanaman pokok, seperti ubi dan kebutuhan pangan lainnya. Kita di Sembalun khususnya, juga lakukan ritual keagamaan, ritual adat, tetapi kita tetap melakukan himbauan pemerintah untuk tak berkumpul, paling ketua adatnya yang mengadakan ritual keagamaan atau ritual adat agar dijauhkan dari bala yang menimpa kita ini.”

Masyarakat Adat di Lombok juga memiliki suatu sistem yang disebut dengan awig-awig. Jun menjelaskan tentang awig-awig serta bagaimana itu kemudian dimanfaatkan untuk upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

“Itu memang ada sejak turun-temurun dari leluhur kami di Lombok, khususnya Sembalun,” ungkap pemuda adat yang pula menjabat sebagai Ketua BPAN Sembalun itu. “Awig-awig berisi tentang aturan-aturan adat yang disepakati tetua adat dulu. Jadi, aturan adat itu mengatur kehidupan kita sehari-hari (tentang) bagaimana kita bergaul, alam, dan sekeliling kita. Aturan itu berisi aturan yang harus kami jalankan. Misalnya, salah satu isinya, jika di suatu tempat terjadi sesuatu hal seperti sekarang ini, seperti bala, maka tetua adat wajib berkumpul dalam suatu musyawarah yang namanya beguntem atau sangkep di dalam awig-awig itu atau bermusyawarah tentang bagaimana cara kita menangani Covid-19 ini. Maka, tetua adat dari pemangku itu merumuskan apakah adakan ritual ini dan sebagainya dan bagaimana ketahanan pangan, ekonomi ke depan. Misalkan, kita sekarang sedang menghadapi pandemi, maka seluruh Masyarakat Adat harus tanam padi merah untuk kesiapan pangan mengisi lumbung pangan.”

Seperti banyak kawasan pesisir dan kepulauan di Indonesia yang pula memiliki tumpuan ekonomi pada pariwisata, begitu pun di Lombok pada umumnya.

Menekankan perhatian dan kerja-kerja pada upaya mendorong kedaulatan pangan, memainkan peran krusial bagi Masyarakat Adat. Sebelum pandemi melanda, Masyarakat Adat di sana sebagian menggantungkan hidup dari industri pariwisata. Ada sejumlah kampung yang bersinggungan dengan Taman Nasional Gunung Renjani dan diramaikan oleh turis-turis yang hendak melakukan pendakian atau berwisata. Ketika wabah datang, Jun mengutarakan bahwa roda pariwisata terhenti. Sektor pertanian menjadi keutamaan bagi penghidupan maupun perekonomian warga. 

“Ke depannya, kami isi ‘new normal’ itu dengan kegiatan positif, yaitu bagaimana kita memikirkan setelah Covid-19 ini. Kami musyawarah di sini setelah Covid-19, bagaimana ekonomi kita, bagaimana kelangsungan kita ke depan. Maka, dari itulah kami mulai gagas gerakan ekonomi, kami bentuk namanya KUPAS atau Kelompok Usaha Pemuda Adat Sembalun. Kemudian, untuk mempertahankannya, kami bentuk sekolah adat untuk pertahankan tradisi atau kebudayaan. Dan, itu kami manfaatkan sejak diberlakukan ‘new normal’ ini.”

Lewat sekolah adat yang berjalan beriringan dengan gerakan ekonomi dan kedaulatan pangan, Jun dan kawan-kawan pemuda adat berharap ketika kelak pandemi berlalu, Masyarakat Adat sudah siap dengan tatanan ekonomi dan pendidikan adat yang sejak semula dirintis.

Selain sibuk menjadi petani dan memimpin BPAN, Junaidi juga sedang merintis sebuah kantor pengacara yang didirikan untuk kepentingan pembelaan hak Masyarakat Adat sekaligus mempertahankan wilayah adatnya dari perampasan dan konflik lain yang selama ini mengancam keberlangsungan Masyarakat Adat Sembalun.

***

Obrolan lebih lanjut dengan Junaidi pada artikel ini, juga dapat didengar lewat siniar (podcast) Jelajah Nusantara edisi “Masyarakat Adat Pesisir & Kepulauan Mengatasi Wabah” pada kanal Radio Gaung AMAN melalui Spotify maupun radio.aman.or.id kami.

Tag : Masyarakat Adat Sembalun AMANkanCovid19 BPAN Sembalun