Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Pada hari ini, 8 Maret 2022, seluruh dunia tengah merayakan Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day (IWD) sebagai suatu bentuk pencapaian perempuan di bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lain-lain.

Sejarah IWD terhubung dengan perjuangan buruh perempuan, di mana IWD pada awalnya dikenal dengan “National Women’s Day“ (Hari Perempuan Nasional) yang diperingati pada 28 Februari 1909 di New York, Amerika Serikat dan diorganisir oleh Partai Sosialis Amerika atas prakarsa Theresa Malkiel, aktivis buruh perempuan berdarah Ukrania. IWD untuk pertama kalinya dirayakan oleh negara-negara di Amerika Utara dan Eropa pada 1911 sebagai pula suatu strategi untuk mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, terutama persamaan hak dalam politik kala itu. Kini, IWD telah menjadi momentum untuk dunia menggaungkan beragam persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan, termasuk perempuan adat.

Aksi demonstrasi perempuan untuk perdamaian di Rusia pada 7 Maret 1917. Sumber foto: https://en.wikipedia.org/wiki/International_ Women's_Day#/media/File:Nőnap_-_ Petrográd,_ 1917.03.08.jpg.

Perjuangan Perempuan Adat di Tengah Industrialisasi

Dalam perjuangan gerakan Masyarakat Adat, kehadiran perempuan adat tentu tidak dapat dipisahkan. Bahkan, perempuan adat menjadi bagian penting yang turut menyalakan obor tersebut. Tahun 1999, perempuan adat ikut mendeklarasikan Hari Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara sekaligus membidani lahirnya AMAN sebagai wadah bagi perjuangan Masyarakat Adat di Nusantara.

Pada artikel sebelumnya yang berjudul Kilas Balik Kebangkitan Gerakan Masyarakat Adat Nusantara ," kita telah mengulas konteks pada kehadiran para perempuan adat pejuang. Sosok Den Upa Rombelayuk, Nai Sinta boru Sibarani, Yosepha Alomang, Rukmini Toheke, dan Aleta Kornelia Ba’un juga akan diulas secara lengkap di Majalah Gaung AMAN edisi Januari-Maret 2022 yang akan terbit dalam waktu dekat dan bisa diakses secara bebas di Portal AMAN.or.id.    

Di Indonesia, perjuangan perempuan adat juga terhubung erat dengan konteks gerakan buruh. Di satu sisi, kita menyadari bahwa ada pengabaian terhadap peran perempuan adat dalam memenuhi kelangsungan hidup keluarga dan komunitas Masyarakat Adat. Pengabaian itu terjalin dengan adanya struktur dan sistem nilai patriarki atau yang didominasi oleh kepentingan lelaki. Kita tidak hendak menyimpulkan bahwa Masyarakat Adat itu patriarkis, melainkan menyadari bahwa patriarki itu ada di dalamnya.

“Perempuan adat adalah pondasi subsistensi Masyarakat Adat dan penopang utama dari pemenuhan kebutuhan dasar Masyarakat Adat,” ucap Abdon Nababan pada sarasehan yang diselenggarakan PEREMPUAN AMAN sebagai rangkaian acara Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) V di Kampong Tajung Gusta, Sumatera Utara tahun 2017 lalu. “Jangan bayangkan ada pangan yang cukup untuk Masyarakat Adat tanpa perempuan adat! Jadi, kebutuhan dasar dipenuhi oleh perempuan adat. Kalau ditanya, perempuan adat itu siapa, ya dia (perempuan adat)-lah akar dan pondasi subsistensi.”

Perempuan adat pada KMAN I 1999. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Namun, di sisi yang berbeda, tekanan-tekanan terhadap perempuan adat terhubung pada maraknya berbagai kasus perampasan wilayah adat, terutama di masa Orde Baru. Kita patut menegaskan hal tersebut sebab perempuan adat merupakan pihak yang paling merasakan dampak dari perampasan wilayah adat, baik itu sebagai efek dari rusaknya lingkungan di wilayah adat maupun pendudukan wilayah adat oleh pihak perusahaan dan negara. Kita bisa membayangkan bagaimana perempuan adat kemudian dapat menghidupi diri dan komunitasnya atas kebutuhan pokok berupa pangan, sandang (pakaian), obat-obatan, dan lain-lain, sedangkan perempuan adat yang sesungguhnya melihat, mendengar, dan merasakan penderitaan langsung dari adanya keterbatasan maupun ketiadaan akses terhadap mata air, kebun atau ladang, sungai atau laut, bakau, hutan, dan lain-lain. Kehidupan perempuan adat tak dapat dilepaskan dari wilayah adat, di mana terdapat wilayah kelola kolektif perempuan adat sebagai sumber pemenuhan kebutuhan utama Masyarakat Adat.

Pada sebuah wawancara lain dengan Radio Gaung AMAN, Abdon Nababan pernah menegaskan bahwa sistem ekonomi dan politik yang mengutamakan kepentingan laki-laki, sebenarnya telah menempatkan perempuan adat sebagai warga negara kelas dua, bahkan kelas tiga.

“Situasi berubah setelah industrialisasi,” ungkap Abdon. “Setelah sawit, HTI (Hutan Tanaman Industri), dan tambang masuk, perempuan adat bukan hanya kehilangan wilayah kelola dan arena pengetahuan, bahkan kehilangan (suara) untuk mengatakan ya atau tidak atas hadirnya itu. Dalam masyarakat industrial, lelaki yang utama. Jadi, kalau kita bicara di dalam kehidupan sehari-hari, kepala keluarga tetap saja lelaki walaupun sebenarnya kehidupan utama keluarga itu di perempuan.”

Pengambil-alihan itu kemudian terhubung dengan hilangnya wilayah kelola kolektif perempuan adat di dalam wilayah adat dan membawa kita memasuki domestikasi. Di dalam industrialisasi itu, - dengan ciri pada kekuasaan di tangan korporasi atau kepemilikan individu - ruang gerak perempuan adat dipersempit atau diperkecil pada dapur, sedangkan lelaki seolah menjadi pihak utama dalam mengurus keluarga - yang menurut Abdon - termasuk dalam urusan harga-harga. Selain berdampak pada adanya pembagian peran yang berantakan dan timpang (antara perempuan dan lelaki), pengetahuan dan peran perempuan adat kemudian mengalami reduksi, bahkan hilang karena tak lagi memiliki tempatnya.

Maka, tantangan-tantangan perjuangan perempuan adat pun punya kekhasan pada lapisan-lapisan yang hendak melemahkan maupun menghilangkan peran perempuan adat di dalam komunitas Masyarakat Adat dan wilayah adatnya.

Perjuangan Perempuan Adat di dalam Gerakan Masyarakat Adat

Sementara itu, di dalam gerakan Masyarakat Adat di Nusantara, perjuangan perempuan adat memiliki kekhasan. Dinamika tersebut terhubung dengan sejarah berdirinya PEREMPUAN AMAN sebagai organisasi sayap AMAN yang beranggotakan perempuan adat.

“Kalau dikatakan perempuan adat menggugat posisi di negara, perjuangan pertama kita justru adalah bagaimana menggugat diri sendiri dulu,” ungkap mendiang Den Upa Rombelayuk pada sarahsehan yang sama pada KMAN V. “Kita katakan itu karena kendala pertama sebagai perempuan, - apa pun itu - yang harus digugat adalah diri sendiri. Coba bayangkan dari awal, AMAN sudah katakan harus ada satu lelaki dan perempuan, tetapi pada saat terakhir, banyak perempuan tidak bisa ikut karena alasan pribadi: ada yang tidak percaya diri, dilarang, dan macam-macam. Pertama, itu tidak percaya diri. Kemudian juga, harus izin pada suami. Kalau suami meluaskan, tapi bagaimana keadaan rumah tangga kalau ditinggalkan. Ada suami yang tak rela ditinggalkan.”

Den Upa terlibat sejak awal pendirian AMAN. Ia tidak hanya memahami betul bagaimana perjuangan perempuan adat untuk menegaskan wajah dan suara, tetapi mengalaminya secara langsung.

“Kedua, kita harus menggugat menggugat keluarga: suami, orangtua, saudara, anak kita. Pengalaman saya ke mana-mana, dikatakan tidak ingat anaknya, tidak ingat ada peran…. Kita harus beri pemahaman yang baik pada mereka. Pernah ada satu teman bilang, ‘Bu Den jalan dengan lelaki begini, apakah Pak Sombo (suami) tidak marah?’ (Saya balas,) ‘Apakah ada sesuatu pada diri saya, - etika dan tata cara saya - yang menyalahi etika atau tanggung jawab sebagai perempuan?’

Selain dua lapisan itu, perempuan adat juga masih harus menggugat lapisan ketiga dan keempat, yaitu masyarakat dan organisasi.

“Tahun ‘92, saya dicalonkan oleh masyarakat untuk jadi kepala desa. Dalam masyarakat dan keluarga, apakah saya bisa berwibawa menjadi kepala desa dan berani? Saya jadi kepala desa 10 tahun lebih dan setara dengan lelaki. Tidak ada yang salah dalam etika, tidak ada yang gugat saya…. (Sementara itu,) pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, saya terpilih sebagai Dewan AMAN dan Koordinator Dewan AMAN dari wilayah timur. Itu banyak yang gugat, tapi saya bisa jalankan itu dengan baik…. Banyak teman yang semuanya lelaki, tidak membolehkan perempuan dengan berbagai macam alasan. Ada yang katakan kami tak bisa jalan dengan muhrim, berjalan sendiri, atau mendatangi provinsi atau komunitas lain untuk musyawarah. Banyak perempuan yang dibuat tidak bisa, termasuk oleh petinggi aktivis. Lelaki itu bilang, ‘Ah, mengapa harus ada lagi perempuan, (lalu) ada PEREMPUAN AMAN. Bagaimana kalau (AMAN kelak) didominasi perempuan?’

Gugatan kelompok perempuan adat kian tak terbendung lagi. Di masa kepemimpinan Abdon Nababan, dibentuk Direktorat Pemberdayaan Perempuan Adat (DPPA) di dalam struktur organisasi AMAN. DPPA kala itu dipimpin oleh Rukmini Toheke. Namun, akhirnya, pada Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara yang tercetus pada Senin, 16 April 2012 di Tobelo, PEREMPUAN AMAN secara resmi lahir. Kelahiran PEREMPUAN AMAN menandai berakhirnya DPPA.

Ketangguhan & Solidaritas Perempuan Adat di Tengah Krisis

Kini, kita tengah memasuki kondisi baru dengan tantangan yang pula jauh lebih menantang dari sebelumnya. Hal itu merujuk pada kondisi darurat kekerasan terhadap perempuan dan eskalasi perampasan wilayah adat yang kian memanas. Di samping itu, berbagai krisis yang melanda (termasuk bencana alam, pencemaran lingkungan, konflik, dan kemunduran demokrasi) juga terjadi di masa pandemi Covid-19.

Semetara itu, di berbagai daerah, para perempuan adat tidak tinggal diam dan justru memperkuat peran terkait dengan konteks mempertahankan perjuangan perempuan adat dan daya lenting di tengah krisis.

Jauh sebelum pandemi melanda Indonesia, PEREMPUAN AMAN telah mulai bergerak dalam menginisiasi kebun kolektif yang dikembangkan oleh kawan-kawan perempuan adat.

Kelompok perempuan adat sedang memanen sayur kangkung di wilayah adat di Masyarakat Adat Rakyat Penunggu di Sumatera Utara. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

“Perempuan adat di Rakyat Penunggu, menyadari bahwa mereka selama ini tidak terlibat di dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada peran mereka di dalam kampung,” ungkap Ketua Umum PEREMPUAN AMAN Devi Anggraini. “Kesulitan yang dihadapi mereka, terutama untuk memenuhi pangan secara mandiri. Kita mengupayakan untuk mendorong kawan-kawan perempuan adat di Rakyat Penunggu, melakukan penanaman kembali dan menggunakan wilayah adatnya untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Ketika kita mulai, pandemi datang dan mereka mulai panen sayur. Saat lockdown dilakukan, itu terasa sekali manfaatnya.”

Melalui aktivitas berkebun, perempuan adat di sana pun menegaskan konteks perjuangan sebab penguatan kapasitas dan pengorganisasian, dapat dilakukan dan diperkuat.

“Kami menyadari kalau kami harus mengelola kebun-kebun kolektif tersebut karena perempuan adat di Rakyat Penunggu sulit kalau diajak duduk bersama untuk bertemu dan berbicara. Mereka lebih senang langsung bekerja di kebun,” kata Yumi, perempuan adat setempat. Ia bersama yang lain mengawalinya dengan membentuk satu kelompok. “Kami memulai itu, sehingga kebun kolektif yang kita kerjakan bersama itu bisa dilihat dulu, baik dilihat sesama perempuan adat anggota PEREMPUAN AMAN, pengurus, maupun para lelaki.”

Para perempuan adat yang berjuang mempertahankan wilayah adat di Rendu, Ndora, dan Lambo. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Di Rendu, Ndora, dan Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), para perempuan adat juga tidak tinggal diam dalam memperjuangkan penolakan atas lokasi pembangunan Waduk Lambo. Tetapi, berbeda dengan aksi protes dan perlawanan yang umum dilakukan di banyak tempat. Di sana, para perempuan adat membangun pos jaga yang menjadi tempat bagi mama-mama menenun dan menganyam untuk menegaskan keterhubungan dengan wilayah adat sebagai sumber penghidupan. Dengan aktivitas yang seringkali dianggap sederhana itulah, perempuan adat sesungguhnya sedang menegaskan bagaimana wilayah adat telah memenuhi kebutuhan dasar Masyarakat Adat, mulai dari makanan hingga material tenun dan anyaman yang diperoleh dari wilayah adatnya.

Modesta Wisa.

Ada juga Modesta Wisa, perempuan adat dari Menjalin, Landak, Kalimantan Barat, yang berjuang lewat jalur budaya dan pendidikan. Di sana, Wisa bersama para pemuda adat dan tetua adat - lelaki maupun perempuan - turut mendirikan dan mengelola Sekolah Adat Samabue. Di tengah-tengah pandemi, sekolah adat itulah yang kemudian punya peran penting dalam menjaga kelangsungan kebudayaan dan wilayah adat antar-generasi.

“Aktivitas sekolah adat terus berjalan di tengah Covid-19 ini karena di rumah mereka (anak-anak adat) melakukan pendidikan adat dan mereka pergi beraktivitas ke ladang bersama orangtua,” ungkap Wisa.    

Di berbagai penjuru Nusantara, perempuan adat terus bergerak dan memperkuat diri melalui kerja-kerja bersama PEREMPUAN AMAN yang kini telah memiliki 65 wilayah pengorganisasian. Kerja-kerja para perempuan adat pun kian melampaui banyak persinggungan untuk menyadari lapis identitas yang beragam dari perempuan adat, di mana ada di antara perempuan adat itu adalah juga pemuda, buruh, petani atau peladang, nelayan, ibu, pelajar atau mahasiswa, dan lain-lain.

Selamat Hari Perempuan Sedunia 2022. Berkeadilan, setara, setara, semangat!

***

Tag : Perempuan Adat IWD 2022 Hari Perempuan Sedunia