Oleh Antonius Yesnath

Oktovianus Yeum hanya bisa mengelus dada ketika melihat kondisi kampungnya yang terpencil tanpa perhatian dari pemerintah. Akses menuju kampung memiliki jarak yang jauh dengan melewati pegunungan dan sungai. Butuh perjuangan keras untuk bisa sampai ke rumahnya di Distrik Tinggouw, Kabupaten Tambrauw, Papua Barat.

Oktovianus mengatakan bahwa selama ini kehidupan Masyarakat Adat di sana menderita karena tinggal di daerah yang terpencil. Pria yang dipercaya Masyarakat Adat setempat sebagai Kepala Kampung Tinggouw itu mengaku sulit menjangkau daerah lain karena, selain jarak yang jauh, kondisi jalan pun jelek.  

“Jarak jalan yang jauh melewati pegunungan dan sungai, membuat warga di sini tidak bisa terus-menerus ke sana (kampung lain),” kata Oktovianus pada Senin (20/12/2021).

Ia menyatakan bahwa sampai saat ini di kampung mereka, belum ada fasilitas pendidikan dan kesehatan. Banyak warga yang harus meninggalkan kampung untuk sekadar menyekolahkan anak. Jika ada warga yang sakit, warga juga harus menempuh perjalanan berhari-hari untuk berobat ke kampung lain yang telah memiliki fasilitas kesehatan.

“Inilah potret kehidupan kami sehari-hari di Tinggouw, serba kekurangan dan menderita sekali,” kata Oktovianus.

Oktovianus menjelaskan kalau cara hidup Masyarakat Adat di Tinggouw, masih sangat tradisional. Masyarakat Adat menggunakan sungai sebagai sumber air untuk mandi, makan, minum, serta mencuci pakaian dan perlengkapan rumah tangga lainnya. Masyarakat Adat juga menjadikan sungai sebagai tempat mencari ikan untuk dijadikan lauk-pauk serta hutan sebagai tempat mendapatkan sayur-mayur dan buah-buahan sehari-hari.

Masyarakat Adat di sana memiliki hubungan spritual, budaya, sosial, dan ekonomi dengan wilayah adatnya. Berbagai hukum adat, tradisi, dan praktik yang dilakukan di sana, menggambarkan keterikatan Masyarakat Adat atas wilayah adatnya, di mana Masyarakat Adat pun memiliki tanggung jawab dan peran dalam melestarikan lingkungan untuk generasi selanjutnya.

Masyarakat Adat di Tinggouw menganggap tanah dan hutan selayaknya ATM, pasar, dan apotek hidup. Masyarakat Adat, baik laki-laki maupun perempuan, saling bahu-membahu dalam memenuhi kebutuhan pangan. Artinya, cara berkebun, berburu, dan mengolah (menokok) sagu, dilakukan secara kolektif atau gotong-royong.

Perempuan adat biasanya bertugas memasak untuk menyajikan makanan bagi keluarga dan sebagian tinggal di rumah untuk merawat anak-anak. Selepas anak-anak mampu mandiri, barulah perempuan adat akan kembali ikut berkebun. Masyarakat Adat di Tinggouw menggarap lahan secara lestari sebagai pengingat dan penanda, di mana bertani dan aktivitas lain di wilayah adat itu seluruhnya dilakukan secara tradisional sesuai kearifan lokal. Lahan pertanian terletak tidak jauh dari permukiman.

Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Adat di sana hanya berpikir untuk bagaimana bisa hidup berdaulat, mandiri, dan bermartabat.

Masyarakat Adat di Tinggouw tinggal di permukiman yang berjajar dengan pinggir sungai. Mata pencaharian utama adalah dengan menjadi petani. Namun, sejak tahun 2009-2015, dilakukan pemekaran di wilayah adat, sehingga kini terbagi ke dalam empat kampung. Pemekaran itu menjadi dasar untuk kemudian menjadikannya satu distrik.

Dari tahun 2015 sampai sekarang, masing-masing kampung hanya mampu membangun rumah sebanyak 25 unit dengan modal yang berasal dari anggaran Dana Desa. Selain itu, masih ada rumah adat dengan corak seperti umumnya rumah Masyarakat Adat yang tinggal di pegunungan. Setiap rumah yang dibangun, terbuat dari kayu dengan atap dari daun sagu. Bangunan-bangunan itu kini dijadikan tempat tidur rusa dan babi karena Masyarakat Adat di sana sering membawa anak keluar kampung untuk bisa pergi ke sekolah, berobat ke rumah sakit, dan berjualan ke tempat lain untuk mencari uang bagi biaya pendidikan anak.

“Masyarakat Adat Tinggouw sudah letih dengan kondisi seperti itu. Kami ingin bebas, mandiri sendiri, kami ingin mendapatkan perhatian segera dari pemerintah,” ucap Oktovianus.

Ia mengatakan bahwa sejak tahun 2009-2021, Masyarakat Adat di sana belum mendapatkan sentuhan pembangunan dari pemerintah. Distrik Tinggouw memiliki 303 kepala keluarga dan jumlah daftar pemilih tetap mencapai 716 penduduk.

***

Penulis adalah pemuda adat sekaligus Kader AMAN di Papua Barat

Tag : Masyarakat Adat Tinggouw Antonius Yesnath Papua Barat