
Nai Sinta Tutup Usia, Perjuangannya Menginspirasi Pergerakan Masyarakat Adat
30 April 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Ompu Sarma boru Sibarani, perempuan tangguh dari Tano Batak, Sumatera Utara tutup usia di Rumah Sakit Tarutung pada Senin, 28 April 2025.
Pejuang tanah adat yang dikenal luas sebagai Nai Sinta ini wafat dalam usia 89 tahun. Kepergiannya ditangisi banyak orang, karena jejak perjuangannya dalam membela hak atas tanah leluhur, keadilan dan martabat sebagai Masyarakat Adat sangat menginspirasi bagi pergerakan Masyarakat Adat.
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyampaikan rasa duka yang mendalam atas kepergian Nai Sinta. Rukka mengenang Nai Sinta sebagai salah seorang sosok pejuang gerakan Masyarakat Adat yang tangguh di masa Orde Baru. Nai Sinta berani melawan rezim Soeharto kala itu dan perusahaan PT Inti Indorayon Utama yang ingin merampas tanah adat.
“Nai Sinta, perempuan tangguh yang menginspirasi perjuangan Masyarakat Adat. Ia mengorganisir perempuan adat untuk berdiri di garis depan ketika aparat menggunakan kekerasan,” kenang Rukka usai mendapat kabar meninggalnya Nai Sinta.
Rukka menyebut Nai Sinta telah membuka jalan bagi kesetaraan dalam kepemimpinan Masyarakat Adat. Dalam Kongres Masyarakat Adat Nusntara (KMAN) tahun 1999, imbuhnya, Nai Sinta bersama perempuan lainnya memperjuangkan agar perempuan adat berhak untuk memimpin.
“AMAN mewarisi nilai itu. Perempuan adat bukan hanya pendukung, mereka adalah pemimpin perjuangan,” tegasnya.
Dalam suasana duka ini, Rukka mengajak seluruh Masyarakat Adat untuk meneladani semangat Nai Sinta.
“Kita beruntung punya panutan sekuat beliau. Kita harus melanjutkan perjuangannya, khususnya di Tano Batak, untuk merebut kembali tanah leluhur dari tangan PT Toba Pulp Lestari. Tidak boleh ada kata menyerah,” katanya penuh semangat.
Pemimpin Perlawanan
Hal senada disampaikan Abdon Nababan, tokoh Masyarakat Adat dari Tano Batak. Pria yang pernah menjabat Sekjen AMAN dua periode tahun 2007 - 2012 dan 2012 - 2017 ini mengenang Nai Sinta sebagai sosok yang sangat melekat dalam sejarah lahirnya organisasi AMAN. Disebutnya, perjuangan kaum perempuan dari Sugapa yang dipimpin Nai Sinta menjadi salah satu api semangat yang melatarbelakangi terbentuknya organisasi AMAN.
“Keberanian dan keteguhan hatinya dalam mempertahankan tanah adat menginspirasi banyak pemimpin dan aktivis untuk bersatu,” ungkap Abdon.
Nai Sinta tercatat sebagai peserta Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pertama di Jakarta pada Maret 1999, sebuah peristiwa bersejarah yang melahirkan AMAN. Nai Sinta datang bersama Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) ke KMAN sebagai perwakilan Masyarakat Adat dari Tano Batak. Sejak itu, Nai Sinta tercatat sebagai salah satu pendiri AMAN.
Abdon mengatakan di Tano Batak, Nai Sinta mendapat label sebagai pemimpin perlawanan karena kharismanya sangat kuat. Nai Sinta tidak pernah goyah dalam memperjuangkan hak-hak Masyarakat Adat hingga usia lanjut.
“Sikap kritis, keberanian, dan konsistensi perjuangan menjadi warisan Nai Sinta yang harus dilanjutkan oleh generasi muda mendatang,” tuturnya.
Suasana rumah duka Nai Sinta. Dokumentasi AMAN
Simbol Perjuangan Perempuan Adat
Direktur KSPPM Rocky Pasaribu juga mengenang Nai Sinta sebagai sosok teladan sekaligus guru pergerakan.
“Ia mengajarkan kami arti keberanian, konsistensi, dan kemampuan mengorganisir rakyat. Strateginya masih menjadi inspirasi dalam setiap advokasi kami,” ujarnya.
Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran menyebut Nai Sinta sebagai simbol perjuangan perempuan adat yang tidak tergantikan. Sejak tahun 1988, sebutnya, Nai Sinta pernah memimpin perlawanan bersama sembilan orang perempuan melawan perusahaan Indorayon (kini namanya Toba Pulp Lestari).
“Sampai akhir hayatnya, semangat Nai Sinta tidak pernah padam. Ia adalah pelita perjuangan Masyarakat Adat Nusantara,” jelasnya.
Pdt. Jurito Sirait, tokoh gereja di Tano Batak turut menyampaikan penghormatan atas meninggalnya Nai Sinta. Menurutnya, Nai Sinta adalah suara kenabian di tengah masyarakat. Suara perempuan yang tidak gentar menyuarakan kebenaran, keadilan, dan cinta tanah leluhur. Dalam perjuangan ini, sebutnya, Nai Sinta menjadi teladan iman yang hidup - iman yang membela ciptaan Tuhan dari keserakahan dan ketidakadilan.
“Kepergiannya adalah kehilangan besar, tapi warisannya akan terus hidup dalam setiap langkah perlawanan kita,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara