
Ritual Wulla Poddu Terancam Batal Usai Kampung Adat Ketoka Terbakar
28 Mei 2025 Berita Umbu Remu Ch. Nusa MesaOleh Umbu Remu Ch. Nusa Mesa
Kampung adat Ketoka di Desa Tana Rara, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur dilanda kebakaran hebat menyebabkan lima rumah adat hangus terbakar pada Jum’at, 23 Mei 2025.
Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa kebakaran ini, namun 22 orang Masyarakat Adat yang tinggal di kampung adat Ketoka terdampak. Mereka kehilangan tempat tinggal, pakaian, dan bahan makanan. Saat ini, mereka bertahan di tenda-tenda darurat (kawarung) yang dibangun seadanya.
Masyarakat Adat tidak hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga diliputi kecemasan akan terganggunya pelaksanaan ritual Wulla Poddu. Mereka khawatir tidak bisa melaksanakan ritual tersebut.
Bagi Masyarakat Adat Marapu, ritual Wulla Poddu bukan hanya tradisi, melainkan juga cara hidup. Ia menjadi fondasi moral, spiritual, dan ekologis yang menjaga keterhubungan manusia dengan dunia yang lebih luas—termasuk roh leluhur dan semesta.
Wawo Lugu, seorang Rato (tetua adat) menuturkan kampung adat Ketoka adalah pusat pelaksanaan ritual Wulla Poddu. Wawo mengatakan jika rumah-rumah adat tidak segera dibangun pasca kebakaran, mereka khawatir ritual tidak bisa dijalankan tahun ini. Menurutnya, ini bukan sekadar permasalahan rumah adat yang terbakar, tetapi lebih sebagai tempat perjumpaan mereka dengan leluhur.
“Tanpa itu (rumah adat), kami seperti kehilangan arah,” ujarnya.
Kampung Adat Ketoka
Kampung Ketoka adalah salah satu kampung adat yang terletak di Komunitas Tagaka, Desa Tana Rara, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat. “Tagaka” merupakan gabungan dari tiga kampung adat yang membentuknya: TA dari Tana Rara, GA dari Gelakoko, dan KA dari Ketoka.
Ketiga kampung ini sejak awal dihuni oleh para Kabissu—tokoh adat yang mengemban peran penting dalam kehidupan spiritual dan sosial komunitas. Kabissu Pawu Kuta dan Rago Wino bermukim di Tana Rara, Kabissu Katutu Doungu dan Kapada Wula di Gelakoko, sementara Kabissu Ledo Maba tinggal di Ketoka. Masing-masing memiliki peran dalam pelaksanaan ritual adat: dari menghitung waktu bulan pamali, menyiapkan struktur rumah adat, hingga mengatur prosesi dan pembacaan kisah asal-usul manusia.
Menurut cerita turun-temurun, para Kabissu ini datang dari seberang laut bersama rombongan Koda Laiya Bili dan Lota Lara Seingu, mendarat di Tanjung Sasar di Sumba Timur, sebelum menempuh perjalanan darat menuju Tana Righu dan akhirnya bermukim di Tana Rara. Dibawah lindungan Koda dan Lota, mereka menjalankan peran sebagai penjaga pengetahuan dan penghubung antara manusia, leluhur, dan alam.
Salah satu ritual penting yang masih dilestarikan hingga kini adalah Wulla Poddu—ritual suci Masyarakat Adat Marapu di Sumba Barat. Ritual ini dilangsungkan setiap tahun antara bulan Oktober dan November. Dalam bahasa lokal, Wulla berarti bulan dan Poddu berarti pahit. Maka, Wulla Poddu dapat dimaknai sebagai “bulan pahit”—periode sakral yang dilalui dengan menuruti pantangan, doa, dan perenungan.
Disebut "pahit" karena sepanjang bulan itu masyarakat menjalani berbagai larangan serta ritual, sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, refleksi terhadap kehidupan, dan usaha menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ada ritual yang ditujukan untuk memohon berkat, ada pula sebagai bentuk syukur, mengenang asal-usul nenek moyang, bahkan menggambarkan proses penciptaan manusia.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sumba, Nusa Tenggara Timur