Oleh Umbu Remu CH Nusa Mesa

Bentangan wilayah adat Waimanu di Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur cukup luas. Perkiraan sekitar 4.254,10 hektar. Sebagian besar wilayahnya dataran dan perbukitan.  

Secara geografis, wilayah adat Waimanu yang berpenduduk 3.025 jiwa ini terdiri dari dua desa : Waimanu dan Manurara. Sementara secara demografis, wilayah adatnya miliki  empat kabihu/kabisu (marga) yaitu Taupopo, Wairasa, Anabura, Kabelawuntu.

Tetua adat Komunitas Waimanu Umbu Manukona menyatakan kehidupan Masyarakat Adat Waimanu dalam 20 tahun terakhir ini telah berubah. Buah dan berbagai jenis umbi-umbian yang biasanya mudah ditemukan di hutan, sekarang sudah susah. Rumah adat yang dulunya menggunakan alang sebagai atap, sekarang semuanya sudah beralih ke seng sebagai atap. Dulunya, bahan untuk mengikat tiang-tiang rumah masih menggunakan tali hutan, sekarang sudah tidak lagi karena telah menggunakan paku.

Umbu Manukona juga menambahkan penyakit yang dirasakan oleh Masyarakat Adat juga sudah banyak yang aneh-aneh. Dulu, penyakit hanya batuk, pilek dan demam, tapi sekarang diabetes, kolestrol, asam urat dan lain-lain. Menurutnya, semua ini pengaruh dari makanan yang sudah terkontaminasi dengan zat-zat kimia dan serba instan.

“Makanan sekarang banyak yang instan. Gampang pula mendapatkannya di pasaran. Beda di masa dulu, makanan serba alami tanpa zat kimia dan melalui proses yang lama untuk sampai dihidangkan ke meja makan karena harus dimasak,” katanya pada Senin, 8 September 2025.

Umbu Manukona tidak menampik terjadinya perubahan ini semua karena dampak dari perubahan iklim. Umbu mencontohkan di tahun 1968,  wilayah adat Waimanu salah satu tempat yang dikenal subur dan cocok untuk lokasi pertanian.  Namun, wilayah adat yang awalnya bernama Loku Laika Sowi Tana Laika Nyall yang bermakna sungai yang besar dan tanah yang berisi, berubah seiring menjadi wilayah adat Waimanu.

Adaptasi Masyarakat Adat

Umbu menerangkan perubahan tidak hanya terjadi pada nama, tapi juga pola hidup masyarakatnya.  Pada tahun 1990-an, perubahan signifikan terjadi dalam pembangunan rumah di kampung Padabar dan sekitarnya. Atap rumah yang sebelumnya menggunakan alang, digantikan dengan seng. Menurut penuturan Masyarakat Adat Waimanu, pergantian ini terjadi karena alang yang semakin sulit didapatkan, sehingga seng menjadi pilihan yang lebih praktis dan tahan lama untuk menanggulangi tantangan tersebut.

“Perubahan ini menandakan adaptasi Masyarakat Adat terhadap kondisi lingkungan yang terus berkembang,” terang Umbu Manukona.

Arnold, salah seorang pemuda adat Waimanu menyakui bahwa komunitasnya telah mengalami banyak perubahan yang besar. Baginya, kehidupan Masyarakat Adat Waimanu 15 tahun yang lalu berbeda dengan sekarang.  

Arnold menyebut gaya hidup Masyarakat  Adat saat ini pelan-pelan mulai berubah. Ia merasakan perubahan juga terjadi di kampungnya. Bahan yang digunakan untuk membangun rumah adat menjadi langka, seperti alang untuk membuat atap rumah adat.

Disebutnya, akibat perubahan iklim, jumlah alang semakin berkurang karena jarang turun hujan sehingga pertumbuhannya lambat.  Akibatnya, alang digantikan seng untuk atap rumah.

“Sejak atap rumah berganti dari alang ke seng, rumah menjadi tidak sejuk dan panas. Dampaknya, Masyarakat Adat mulai mengkonsumsi es secara berlebihan, akibatnya muncul penyakit di sana sini,” ucapnya.

Arnold mengatakan berbicara terkait perubahan iklim, bukan hanya soal cuaca tapi juga dampaknya kepada pola hidup dan aktivitas masyarakat sehari-hari.  Oleh karena itu, menurutnya, perubahan iklim ini terjadi bukan hanya karena alam tapi juga akibat ulah manusia yang membakar hutan dan ladang menyebabkan polusi hingga merusak ozon yang ada di bumi.

“Untungnya, Masyarakat Adat memiliki tradisi yang tidak berubah dan pengelolaannya terstruktur sehingga zona pemanfaatannya menjadi terjaga. Walau tidak bisa dipungkiri ada saja oknum yang melakukan hal yang tidak baik demi keuntungan sepihak,” paparnya.

Hutan Matayangu masih terjaga di komunitas Masyarakat Adat Waimuna. Dokumentasi AMAN

Komitmen Terhadap Alam

Arnold menjelaskan Masyarakat adat Waimanu telah memanfaatkan dan mengelola hutan dan lahan serta seisinya secara turun temurun berdasarkan adat dan tradisinya. Mereka telah memliki dan membagi kriteria dan manfaat serta pengelolaan dari masing-masing wilayah adatnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menata wilayah-wilayah penting, hal ini merupakan sebagai salah satu bentuk baku dan tradisi yang melekat secara turun-temurun di Masyarakat Adat Waimanu.

“Ini merupakan komitmen Masyarakat Adat Waimanu dalam menjaga, melindungi, melestarikan, dan mengelola sumber daya alam dan seisinya,” tegas Arnold.

Sejak dahulu, katanya, Masyarakat Adat Waimanu telah memanfaatkan dan mengelola hutan, lahan, dan seisinya secara turun-temurun berdasarkan aturan adat. Mereka memiliki kriteria, pembagian wilayah, serta aturan pengelolaan yang jelas, untuk memastikan keberlanjutan sumber daya.

“Tata kelola ini merupakan tradisi yang diwariskan lintas generasi dan menjadi komitmen bersama untuk menjaga, melindungi, serta melestarikan alam yang menjadi sumber kehidupan mereka,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sumba, Nusa Tenggara Timur

Writer : Umbu Remu Ch.Nusa Mesa | Sumba, Nusa Tenggara Timur
Tag : Sumba Masyarakat Adat Waimanu Komitmen Menjaga