Oleh Albertha Siska

Masyarakat Adat Ga’ai Kung Kemul di Desa Long Beluah dan Long Sam, Kecamatan Tanjung Palas Barat, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara harus menghadapi derasnya arus perubahan iklim. Masyarakat Adat ini bertahan dari dampak cuaca ekstrem, kekeringan hingga permasalahan sumber pangan dan air. Mereka juga dihadapkan pada maraknya perizinan eksploitasi hutan di wilayah adat.   

Izin yang diberikan untuk menggunduli hutan, membuka lahan, dan mengekstraksi hasil hutan, perlahan merampas ruang hidup Masyarakat Adat. Padahal, hutan yang selama ini dijaga secara turun temurun menjadi penyangga kehidupan, sekaligus sumber identitas, pangan, obatan-obatan dan spritualitas.

Hilangnya hutan akibat perizinan semakin memperparah kehidupan Masyarakat Adat Ga’ai Kung Kemul. Suara Masyarakat Adat kerap berusaha mempertahankan haknya, namun  sering kali tenggelam ditengah kepentingan besar yang mengatasnamakan pembangunan.

Didimus,  seorang tokoh Masyarakat Adat Ga’ai Kung Kemul turut merasakan perubahan yang menyesakkan dadanya saat ini.

Dikatakannya, Masyarakat Adat dulu hidup makmur jauh sebelum ada perusahaan. Semua kebutuhan Masyarakat Adat tersedia di alam, baik daging, ikan, buah-buahan, obat-obatan, rotan, akar, daun untuk kebutuhan lain.

“Itu semua gratis tidak perlu beli, sekarang setelah masuknya perusahaan dan aktivitasnya membuat sumber daya yang ada di hutan semakin berkurang dan habis,” keluh Didimus saat ditemui di kediamannya pada 4 Agustus 2025.

Berada di Persimpangan Jalan

Didimus mengatakan Masyarakat Adat kini berada pada persimpangan jalan, bertahan menjaga hutan demi kelangsungan hidup dan budaya atau tersingkir dari tanah leluhur akibat eksploitasi yang dilegalkan oleh perizinan.

“Kondisi ini semakin menegaskan bahwa krisis iklim bukan hanya persoalan lingkungan, tetapi juga persoalan keadilan dan hak asasi,” imbuhnya.

Didimus menambahkan hutan adat bukan hanya bentang alam hijau yang menyimpan pepohonan raksasa tetapi juga ruang hidup Masyarakat Adat yang telah berabad-abad menjaga keseimbangan alam. Didalamnya tersimpan sumber pangan, obat-obatan, satwa liar, serta nilai spiritual yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan Masyarakat Adat. Namun dalam beberapa dekade terakhir, katanya, kondisi hutan adat menghadapi ancaman serius akibat dua hal yang saling berkaitan: eksploitasi berlebihan dan perubahan iklim. 

Yohanes Lihiu, tokoh Masyarakat Adat Ga’ai Kung Kemul lainnya menyatakan pemberian izin eksploitasi hutan kepada  perusahaan seperti tambang, perkebunan, maupun industri kayu telah membawa dampak yang nyata. Pembukaan lahan berskala besar merusak ekosistem alami, mengurangi tutupan hutan, dan menghancurkan habitat berbagai satwa.

“Sumber daya alam yang sebelumnya dikelola secara bijak oleh Masyarakat Adat, kini terancam hilang atau berpindah tangan,” ujarnya.

Yohanes mengatakan di tanah leluhur yang dulu bebas mereka jelajahi, kini Masyarakat Adat berjalan dengan rasa was-was dalam hutan. Padahal, hutan sejak lama telah menjadi ruang hidup bagi Masyarakat Adat, kini perlahan berubah menjadi wilayah yang penuh batas, larangan dan ancaman.

Disebutnya, Masyarakat Adat saat ini ingin melakukan kegiatan di hutan sudah harus lebih berhati-hati terhadap kawasan perizinan tadi

“Sekarang jika masuk ke hutan untuk membuka lahan dan mengambil hasilnya, jadi merasa khawatir dan berhati-hati karena takut melanggar batas kawasan izin perusahaan itu tadi. Sebab, kita sendiri tidak tahu sampai dimana dan seluas apa batas kawasan perizinan perusahaan di wilayah adat,” tuturnya pada 28 Agustus 2025.

Yohanes mengatakan rasa aman Masyarakat Adat untuk beraktivitas di ruang hidupnya terkikis sedikit demi sedikit. Ketakutan itu bukan hanya soal kehilangan akses, tetapi juga soal hilangnya martabat dan identitas.

“Hutan sebagai ruang hidup yang seharusnya memberi rasa dan keberlanjutan justru menghadirkan rasa takut dan keterasingan,” keluhnya.

Ditambahkannya, dari hutan Masyarakat Adat mendapatkan pangan, obat-obatan, bahan untuk ritual, hingga tanda-tanda alam yang menjadi penunjuk musim. Semua itu diwariskan secara turun-temurun sebagai tradisi yang meneguhkan identitas dan jati diri. Namun, imbuhnya, perubahan iklim yang kian nyata dengan keadaan eksploitasi melalui perizinan mengguncang dan memperparah keseimbangan itu.

“Keadaan ini menjadi batasan bagi Masyarakat Adat untuk meneruskan keberlangsungan tradisi budaya leluhur,” ungkapnya.

Kayu gelondongan dari hasil penebangan hutan menumpuk di camp tampungan, dekat dengan ladang dan persawahan Masyarakat Adat. Dokumentasi AMAN

Benteng Terakhir Menghadapi Krisis Iklim

Suria, salah seorang perempuan adat mengaku untuk mendapatkan rotan, daun silat, obat-obatan di hutan sebenarnya masih bias.  Hanya saja sekarang sudah sangat jarang dan untuk mendapatkannya harus berjalan jauh ke hutan. Akibatnya, orang berpikir mau mencarinya.

“Makanya, sekarang banyak yang beli jadi saja, sudah jarang ada yang tahu cara mengelola  hasil  alami dari hutan,” ujarnya.

Bagi Masyarakat Adat, sebut Suria, hilangnya hutan dan berubahnya iklim berarti juga hilangnya tradisi. Ia mengatakan perlindungan terhadap hutan adat harus menjadi prioritas dalam menghadapi krisis iklim. Menurutnya,  sumber daya alam dan keberagaman hayati di hutan adat yang mulai hilang bukan hanya ancaman bagi Masyarakat Adat tetapi juga bagi keberlangsungan kehidupan manusia secara keseluruhan.

“Hutan adat adalah benteng terakhir dalam menghadapi krisis iklim, hentikan eksploitasi berlebihan,” tandasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Utara

Writer : Albertha Siska | Kalimantan Utara
Tag : Masyarakat Adat Ga’ai Kung Kemul Bertahan di Tengah Krisis Iklim