Jakarta, 14 November 2013 -- Delapan orang perwakilan Masyarakat Adat Kepulauan Aru mengunjungi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melakukan diskusi dan meminta bantuan terkait sengketa wilayah di atas tanah adat mereka. Pertemuan ini disambut oleh Sekretaris Jenderal AMAN Abdon Nababan, Deputi I, dan Advokasi PB AMAN. Masyarakat Adat Kepulauan Aru melalui perwakilannya menceritakan secara singkat dan detail kronologis sengketa tanah yang terjadi di daerah mereka. Sengketa ini bermula dari masuknya PT Menara Group yang berjumlah 28 anak perusahaan ke dalam wilayah adat Kepulauan Aru. Kedatangan mereka ini disinyalir untuk melakukan investasi terhadap sumber daya alam yang ada di Kepulauan Aru, yang sudah barang tentu akan masuk sampai ke hutan-hutan adat milik masyarakat adat di Kepulauan Aru. Wilayah yang dipersengketakan seluas 626.900 hektare. Sampai pada kedatangan perwakilan masyarakat adat Kepulauan Aru di PB AMAN, belum ada perubahan positif yang terjadi di lapangan bagi mereka. Konflik dan kontak fisik sudah mulai terjadi, baik itu konflik eksternal maupun internal atau antar masyarakat adat itu sendiri. AMAN kemudian menjadi salah satu harapan terbesar sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak masyarakat adat. Setelah sebelumnya kedatangan mereka ke Jakarta ditolak dan dipermainkan oleh pihak Kementerian Kehutanan. Mereka meminta AMAN membantu mereka memperjuangkan hak-hak ulayat mereka sebagai masayarakat adat di Kepulauan Aru, yang mana keinginan itu disambut baik oleh Sekjen AMAN Abdon Nababan. Abdon menegaskan bahwa AMAN tidak bisa bekerja sendiri, namun akan mendampingi masyarakat adat Kepulauan Aru berjuang di depan untuk mempertahankan hak-hak mereka. Agustinus, seorang perwakilan warga Aru, menyampaikan keinginan mereka agar IPK perkebunan, pertambangan, HPH, dan SK pelepasan hak kehutanan dicabut dari wilayah adat Kepulauan Aru. ***Monica

Writer : |