Pilar Lingkungan Hidup Jakarta 25 April 2013. Pembahasan menyoal buku Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) sebelum diserahkan pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 5 Juni mendatang, diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup, (KLH)-Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas. Mengambil tempat di Grand Sahid Jaya Hotel, Jln Jend Sudirman 86, Jakarta. Dalam pertemuan tersebut perwakilan Walhi menyampaikan tanggapannya, bahwa buku tersebut tidak akan membawa dampak perubahan besar, karena perusak lingkungan itu adalah pengusaha dan negara sendiri. Baik itu lembaga legislatif maupun eksekutif, bukan masyarakat di desa-desa. Kementerian Lingkungan Hidup hanyalah pemain pinggiran atas kue pembangunan, oleh karenanya Walhi lebih baik lakukan kampanye bersih-bersih parlemen dari perusak lingkungan, karena mereka kumpulan aktorpaling besar berkontribusi merusak lingkungan di republik ini. KLH hanya seperti sebuah LSM saja. Wahli kecewa, kenapa dalam situasi seperti sekarang ini tidak mempersoalkan ancaman ekologis terbesar yaitu MP3I? tanya utusan Walhi. Sementara itu Longgena Ginting (Green Peace) lebih mempertanyakan analisis terhadap kapasitas yang ada pada KLH, dan apa tujuannya? Bagaimana pengelolaan lingkungan hidup kita di wilayah negara yang besar ini, itu seperti apa?. Barangkali sebuah evaluasi juga nanti, apakah memadai, apakah mencukupi dan apakah cukup kapasitas kita. Krusial sekali sebetulnya laporan ini. Persoalannya apakah KLH ini sebagai kementerian lingkungan hidup apakah otoritasnya cukup?, powernya cukup untuk melaksanakan?. Mari kita lihat, mudah-mudahan jadi mendorong ke sana. Bagaimana ke depan, kapasitas ini akan dilakukan. Apakah kita akan begini-begini terus dalam melihat permasalahan lingkungan?. Kita tahu masalahnya tapi kita tak bisa berbuat apa-apa, baik secara kapasitas, maupun secara kelembagaan. Darurat Lingkungan “Melihat paparan laporan yang disampaikan sebetulnya, beberapa hal sudah sangat mengkhawatirkan, menyangkut kerusakan luasan DAS yang semakin kritis, ada danau-danau yang semakin kritis, ada bencana alam yang semakin meningkat. Bukankah situasi seperti ini waktunya kita untuk membuat semacam deklarasi bersama?, bahwa lingkungan kita sebetulnya sudah semakin mengkhawatirkan. Sehingga menimbulkan sense of crisis,” pungkas Longgena Ginting. Perwakilan HUMA, Sesil, menyampaikan rasa herannya. Mengapa dalam lembar-lembar SLHI itu sedikit sekali mengulas masyarakat perdesaan dan masyarakat adat? Sebab menurut catatannya ada puluhan ribu masyarakat pedesaan dan masyarakat adat hidup berdampingan dengan alam. Bahkan masyarakat di perdesaan ikut melestarikan lingkungan. Deputi KLH Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas, DR Henry Bastaman. MES. Memberi penjelasan bahwa buku ini tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan masalah lingkungan, ini hanya status lingkungan hidup Indonesia. Mau dianggap kurang baik, ya itu memang keadaan yang sesungguhnya. Begitu juga dengan kesulitan-kesulitan medan yang di hadapi di lapangan saat mengambil sample air di Papua misalnya, memerlukan dana yang besar dan waktu yang cepat agar sample tersebut tidak rusak. Sementara perjalanan ke lokasi memakan waktu berminggu-minggu. Henry Bastaman mengakui juga bahwa KLH bukan kementerian klas satu, yang power full, tapi nomor tiga. Saat ditanya koordinasi antar kementerian terkait gerakan lingkungan hidup ini. ***JLG

Writer : |