Laki-laki dan perempuan adalah setara. Namun dalam perjalannya menuju tingkat kesetaraan tersebut, perempuan adat masih terus menjadi sub ordinat atau bagian ke-dua dari aspek berbangsa dan bernegara. Dalam rumah tangga hingga ranah publik perempuan seringkali hanya menjadi pelengkap, perempuan masih dianggap sebagai nomor dua, hingga akhirnya membuat kebijakan pemerintah juga kurang menghargai perempuan dan dengan demikian membuatnya tidak setara dengan laki–laki. Sementara dalam sejarahnya baik itu dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan juga dalam mempertahankan hak-hak wilayah adat, perempuan memiliki peranan yang sangat penting. Pada saat acara; “Temu Nasional Perempuan Adat Nusantara,” di bukit Doa, Tobelo, Halmahera Utara, April, tahun 2012, KOMNAS Perempuan memaparkan data sebagai berikut kekerasan terhadap perempuan tahun 2011 ada 119.000 kasus, 96% kekerasan terjadi di ranah domestik atau ranah rumah tangga, dalam 10 tahun terakhir ada 93.000 kekersan seksual dan pelakunya adalah orang-orang dekat, seperti ayah, kakak, paman, saudara, dan sebagainya, yang mematahkan asumsi bahwa rumah adalah tempat yang aman. Melihat catatan Komnas Perempuan tersebut, jelas menunjukkan betapa rentannya perlindungan terhadap perempuan juga Perempuan Adat atau PA. Dalam setiap pengambilan keputusan perempuan bisa dipastikan hanya sebagian kecil saja yang berani menyampaikan usulan. Bahkan ide–idenya dalam perjuangan maupun dalam perkembangan laju pembangunan, sedikit saja yang terekspose ke media massa. Pada kenyataannya perempuan–perempuan adat terus menerus berjuang untuk mendapatkan hak–haknya dalam memposisikan dirinya sejajar dengan laki–laki. Dalam pengambilan keputusan atau bahkan saat mempertahankan tanah serta warisan leluhurnya dari kerusakan yang disebabkan oleh perusahaan, mereka mengalami tindak diskriminasi dan kriminalisasi. Perjuangan itu mulai dilakukan tahun 1990-an, dimana pada masa itu masyarakat adat utamanya perempuan adat mendapatkan perlakuan–perlakuan yang jauh dari rasa kemanusiaan, juga adanya indikasi pelanggaran HAM. Maka pada tanggal 17 Maret 1999 semua perwakilan masyarakat adat berkumpul di Hotel Indonesia, melahirkan organisasi AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) juga disebut Kongres Masyarakat Adat Nusantara I juga disebut KMAN I. Saat itu hadir perwakilan beberapa perempuan adat, yang kemudian hari melahirkan organisasi APAN (Aliansi Perempuan Adat Nusantara) pada tahun 2001 di Bali. Namun selama perjalanannya organisasi APAN tidak terdengar gaungnya, baru kemudian pada tahun 2007, tepatnya KMAN III dalam organisasi AMAN ada Direktorat yang mengurusi Perempuan adat DPPA ( Direktorat Pemberdayaan Perempuan Adat ). Pada Kongres Masyarakat Adat Nusantara III di Pontianak dimandatkan juga untuk membentuk organisasi sayap Perempuan Adat serta Pemuda Adat, diharapkan sayap organisasi ini bisa menjadi organisasi yang membantu organisasi induknya yaitu AMAN (Aliansi Masyarakata Adat Nusantara) untuk mengkader dan membangun kapasitas perempuan adat serta pemuda–pemudi adat di seluruh Nusantara. Berawal pada pertemuan pertama, Delegasi Perempuan Adat berkumpul di Hotel Medina, Bogor pada 22 Mei 2012. (Perempuan Adat adalah bagian (kelompok) dari komunitas adat (yang posisinya setara) yang memiliki peran dan fungsi menjaga ketahanan hidup komunitasnya yang hidup berdasarkan asal usul leluhur secara turun temurun di atas suatu wilayah adat yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga yang mengelola keberlangsungan kehidupan ) . Dua tahun terakhir Perempuan Adat mulai melakukan pertemuan yang cukup intensif untuk mengkaji ulang seluruh proses keterlibatan PA di AMAN. Pertemuan ini membangun kesadaran PA bahwa mereka membutuhkan wadah lain sebagai tempat belajar dan mengkonsolidasikan diri mereka untuk mengejar banyak ketertinggalan selama ini. Kesadaran membangun cita-cita bersama sebagai PA yang memegang fungsi dan peran menjaga ketahanan hidup komunitasnya tidaklah cukup bagi PA hanya melalui proses-proses berorganisasi di AMAN terutama untuk membangun kesetaraan posisi di dalam organisasi AMAN. Temu Perempuan Adat di Hotel Medina, 2011 yang dihadiri oleh PA dari 7 wilayah regional AMAN telah menyepakati dibentuknya Organisasi sayap PA yang otonom di bawah AMAN. ( Term Of Referrance Temu Nasional Perempuan Adat ) Tanggal 15–16 April 2012 diadakan Temu Nasional Perempuan Adat di Bukit Doa, Tobelo Halmahera Utara, yang di hadiri oleh delegasi perempuan Adat dari 7 Region Anggota AMAN, dan disanalah terbentuk organisasi sayap perempuan Adat dengan nama PEREMPUAN ADAT (Persekutuan Perempuan Adat Nusantara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara). Hingga kini perempuan adat terus menerus berjuang untuk mempertahankan hak atas wilayah adatnya, perjuangan yang mereka lakukan sejak lama menguras banyak tenaga di sela – sela para pejuang, perempuan adat harus tetap memperhatikan dan mengabdi sebagai seorang istri namun dalam perjuangan tersebut mereka tetap mendapat dukungan dari suami mereka, diantara para pejuang perempuan adat di seluruh Nusantara ada yang berasal dari Molo, Timur Tengah Selatan ( Mama Aleta Ba’un ), dari Tano Batak, Sumatra Utara (Lungguk br Sibarani (Nai Sinta), Dari Toraja ,Sulawesi Selatan ( Ibu Den Upa Rombelayuk ) dari Tana Luwu, Sulawesi Selatan ( Mama Werima ), Dari Kalimantan Tengah ( Ibu Mardiana ) dari Halmahera Utara ( Ibu Afrida Erna Ngato ) dan Dari Papua ( Mama Yosefa ). Beberapa pejuang perempuan adat ini sudah lanjut usai namun semangat mereka tetap menjadi motivasi bagi perempuan adat di seluruh Nusantara, dan hingga saat ini perempuan adat masih terus berjuang mempertahankan wilayah adatnya dengan berbagai strategi. Seringkali mereka mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari pihak aparat dan bahkan oleh Pemegang kebijakan negara. Ada banyak contoh yang dialami oleh pejuang perempuan adat, diantaranya Intimadasi dari aparat seperti yang dialami oleh Sangaji Pagu (Ibu Afrida Erna Ngato) Ibu Afrida ditangkap saat memimpin masyarakat adat yang saat itu melakukan aksi menutup pintu masuk ke area Tambang emas PT NHM tepatnya 24 November 2012. Dia bersama 31 orang Masyarakat Adat Pagu mendapat perlakuan kasar dari aparat dalam artian mereka dibentak serta alat komunikasi mereka dirampas, sebelum akhirnya mereka dibawa ke Polres Halmahera Utara dengan menggunakan truk, justru oleh para aparat yang menjaga aksi damai yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Pagu, Halmahera Utara itu, meskipun kemudian mereka dilepaskan. Sampai sekarang Masyarakat Adat Pagu tetap melawan dan teguh pada pendiriannya. Perempuan adat masih terus menerus berjuang untuk mempertahankan wilayah adatnya, berjuang untuk menyetarakan posisinya dalam pengambilan keputusan dan berjuang dalam kemandirian perekonomiannya, dimana semua itu tidak pernah lepas dari restu leluhur dan juga semangat yang tetap terjaga di setiap jiwa dan raga perempuan adat di seluruh Nusantara. ( TETAP SEMANGAT PEREMPUAN ADAT ) Surti handayani ( Sekretaris pelaksana PEREMPUAN AMAN )

Writer : |