Pernyataan Sikap Aliansi Masyarakat Adat Nusantara terhadap Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/MENHUT-11/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/MENHUT-II/2012 tentang PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN

A. Pengantar Pada tanggal 15 November 2013 yang lalu Menteri Kehutanan Republik Indonesia menetapkan Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.62/Menhut-II/2013 - yang selanjutnya dalam Pernyataan Sikap ini disebut dengan P.62 - tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.44/Menhut-II/2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Pemerintah kemudian mengundangkan P.62 pada tanggal 19 November 2013. Harus diakui bahwa response hukum pemerintah berupa kebijakan semacam ini memang ditunggu-tunggu oleh masyarakat terutama setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan kata "negara" dalam Pasal 1 angka 6 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan) karena dipandang sebagai sebuah ketentuan yang bersifat bertentangan dengan konstitusi dan karenanya pasal 1 angka 6 UU Kehutanan tersebut harus dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Namun, apa yang terjadi? P.62 ini malah menjauhkan masyarakat adat dari harapan atas pelaksanaan putusan MK 35/2012 yang lebih menjanjikan kesejahteraan bagi mereka. P.62 ini bahkan semakin menunjukkan arogansi pemerintah yang dengan begitu gamblang hendak menelikung putusan MK 35/2012 dengan beberapa kekeliruan yang tidak akan mudah terbaca oleh orang yang awam dengan masalah-masalah hukum. Di samping itu, P.62 tersebut semakin menunjukkan bahwa pada dasarnya pemerintah dalam hal ini Kementerian Kehutanan tidak akan patuh pada koreksi apapun yang berdampak pada pengurangan hak dan kewenangannya dalam sektor kehutanan. Pernyataan sikap ini dibuat untuk menyikapi P.62 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan. Oleh karenanya, selain putusan MK 35/2012 mengenai hutan adat, pernyataan sikap ini juga akan melihat putusan MK 45/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan sebagai alat untuk melihat di mana saja kekeliruan dan kesalahan dari P.62 tersebut. Penggunaan dua putusan MK tersebut disebabkan karena keduanya sangat berhubungan. B. Kesalahan-kesalahan fatal yang terkandung di dalam P.62 1. Mengingkari status masyarakat adat sebagai subjek hukum Pasal 1 ayat (17) dalam P.62 menyebutkan bahwa inventarisasi dan identifikasi hak-hak pihak ketiga adalah pengumpulan data kepemilikan dan penguasaan atas tanah oleh orang perorangan atau badan hukum yang sebagian atau seluruhnya berada di dalam kawasan hutan dan kegiatan orientasi/peninjauan lapangan untuk mengetahui adanya hak-hak pihak ketiga yang berada di sepanjang rencana proyeksi batas. Selanjutnya, Pasal 1 ayat (18) P. 62 menyatakan sebagai berikut: "Hak-hak pihak ketiga atau hak-hak atas lahan/tanah adalah hak-hak yang dimiliki oleh orang perorangan atau badan hukum berupa pemilikan atau penguasaan atas tanah yang diperoleh atau dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan". Kedua ketentuan tersebut dengan jelas tidak mencantumkan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum dalam kategori "pihak ketiga". Hal ini tentu saja melanggar putusan MK 35/2012. Mengenai legalitas masyarakat adat sebagai subjek hukum atas hutan adat dinayatakan oleh MK dalam pertimbangan hukumnya sebagai berikut: " …Dalam ketentuan konstitusional tersebut, terdapat satu hal penting dan fundamental dalam lalu-lintas hubungan hukum. Hal penting dan fundamental tersebut adalah masyarakat hukum adat tersebut secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai ―penyandang hak yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum….Kedua ketentuan tersebut hanya mencantumkan individu dan badan hukum. Ini jelas pengingkaran yang luar biasa terhadap putusan MK 35/2012 terkait dengan status masyarakat adat sebagai subjek hukum yang menyandang hak atas hutan adat di dalam kawasan hutan. Padahal dengan putusan MK 35/2012, individu, badan hukum dan masyarakat adat merupakan subjek hukum-subjek hukum yang memiliki hak atas bagian tertentu dari kawasan hutan yang oleh UU Kehutanan dikategorikan sebagai "hutan hak". Masuknya masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak atas hutan adat di dalam kawasan hutan disebabkan karena "hutan hak" melalui putusan MK 35/2012 sebagaimana disebutkan di atas telah dikeluarkan dari kategori hutan negara dan masuk ke dalam hutan hak. Oleh karena itu, kedudukan hutan adat, hutan miliki individu dan hutan yang dimiliki oleh badan hukum adalah sejajar. Dan karenanya maka mengecualikan masyarakat adat dari pengaturan pasal 1 ayat (17) dan pasal 1 ayat (18) dari P.62 adalah ketentuan yang tidak dapat diterima secara hukum. 2. Mengabaikan putusan MK 45/2011 yang mengkoreksi aturan tentang Pengukuhan Kawasan Hutan dalam UU Kehutanan P. 62 sudah sejak dini menyatakan bahwa pada tahap penunjukan kawasan hutan, status kawasan hutan sudahlah pasti sehingga tidak boleh lagi diakses maupun diklaim tanpa persetujuan Kementerian Kehutanan. Hal ini berarti status kawasan hutan sebagai obyek hutan negara sudah dianggap sah pada tahap penunjukan kawasan. Kementerian Kehutanan memanipulasi makna Pasal 81 UU No. 41/1999 yang berbunyi bahwa: “Kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum berlakunya undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku berdasarkan undang-undang ini.” Kementerian Kehutanan beranggapan bahwa semua tanah-tanah yang telah ditunjuk untuk dijadikan sebagai kawasan hutan sebelum Putusan MK45 hendak dipersamakan sebagai kawasan hutan definitif yang telah ditetapkan. Bila upaya manipulasi ini diterima, maka tidak lagi diperlukan proses pengukuhan kawasan hutan sampai pemerintah membuat penunjukan baru terhadap tanah-tanah yang akan dijadikan sebagai kawasan hutan. Artinya, sama sekali tidak ada peluang bagi hutan adat. 3. P. 62 Membatasi Bukti Klaim atas Hak P 62 menyatakan bahwa pihak ketiga yang mengklaim hak harus menunjukan tiga bukti yakni adanya permukiman, fasilitas umum (fasum), fasilitas sosial (fasos) yang berdasarkan sejarah keberadaannya sudah ada sebelum penunjukan kawasan hutan maupun sesudah penunjukan kawasan hutan. Namun tidak begitu jelas apakah keberadaan tiga kategori bukti ini dengan sendirinya berimplikasi pada pengakuan atas bundelan hak yang tidak tertulis. Misalnya, pengakuan atas adanya bukti permukiman, fasum dan fasos dengan sendirinya merupakan pengakuan atas hak-hak lainnya, antara lain hak atas sawah, ladang, pohon, buah-buahan, dan seterusnya. Ketidakjelasan ini bisa saja menimbulkan kemungkinan lain, yakni pengakuan atas ketiga bukti hak di atas tidak dengan sendirinya berarti pengakuan atas kumpulan hak lainnya. Di samping itu, pembatasan bukti klaim hak hanya pada tiga kategori di atas sudah mengurangi klaim hak dari kelompok masyarakat adat yang tidak selalu mempunyai ketiga kategori tersebut. 4. Syarat Berganda Pengakuan Hutan Adat Kriteria pengakuan atas penguasaan fisik hutan adat pasca penunjukan kawasan hutan ditetapkan dengan menggunakan tiga syarat kumulatif, yakni: (1) telah ditetapkan dalam Perda, dan (2) tercatat pada statistik Desa/Kecamatan, dan (3) penduduk di atas 10 (sepuluh) Kepala Keluarga dan terdiri dari minimal 10 (sepuluh) rumah. Penggunaan kata “dan” menunjukan syarat pengakuan hutan adat merupakan syarat kumulatif. Hal ini berarti P. 62 mengingkari Putusan MK yang hanya menetapkan syarat konstitusional sebagai basis pengakuan hutan adat. P. 62 juga menggunakan syarat teknis untuk membatasi hak. Pembatasan ini melanggar prinsip dasar hak asasi manusia yang diakui dalam UUD 1945 bahwa pembatasan terhadap hak hanya mungkin terjadi bila berkaitan dengan hak pihak lain. 5. P.62 Melestarikan Cara Pandang Yang Salah Mengenai Kawasan dan Hutan Negara dengan Mempersamakan Keduanya P. 62 menegaskan sikap pemerintah yang tidak paham dengan konstruksi hukum mengenai kawasan hutan apalagi konstruksi hak atas kawasan hutan dalam UU Kehutanan pasca putusan MK 35/2012. Perlu dijelaskan bahwa setelah beberapa ketentuan dalam UU Kehutanan dinyatakan batal karena inkonstitusional maka sejak saat itu membaca UU Kehutanan tidaklah sama lagi, meskipun UU Kehutanan itu sendiri belum direvisi. Ketidakpahaman pemerintah mengenai hal itu terlihat jelas dari P. 62 yang menyamakan kawasan hutan dengan hutan negara. Hal itu tergambar pada Pasal 24 A angka 3 P.62 yang menyatakan bahwa "Dalam hal sebagian atau seluruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, dikeluarkan dari kawasan hutan". Ketentuan ini menggambarkan ketidakpahaman pemerintah dalam hal ini kementerian kehutanan itu sendiri mengenai apa yang dimaksud dengan kawasan hutan dan apa saja kategori hak di atas kawasan hutan tersebut berdasarkan UU Kehutanan pasca putusan MK 35/2012. Putusan MK 35/2012 jelas menunjukan bahwa terdapat dua kategori hutan dalam kawasan hutan, yaitu hutan negara dan hutan hak. Jika sebelumnya hutan adat dimasukkan ke dalam kategori hutan negara maka setelah putusan MK 35/2012 hutan adat tersebut dikeluarkan dari hutan negara dan dimasukkan ke dalam kategori hutan yang lain, yaitu hutan hak, tetapi tetap dalam kawasan hutan. 6. P.62 Berpotensi pada Semakin Menguatnya Ego Sektor Kehutanan dalam Penyusunan Legislasi Daerah Pasal 24A dari P. 62 menyatakan bahwa keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Ketentuan ini memang merupakan konsekuensi dari putusan MK yang menolak permohonan untuk membatalkan keberadaan Peraturan Daerah sebagai syarat hukum dari keberadaan masyarakat adat. Namun demikian, permasalahan akut terkait dengan hal ini adalah kapasitas pemahaman sebagian besar dari Pemerintah Daerah (bahkan Pemerintah Pusat) mengenai bagaimana seharusnya pengaturan masyarakat adat sangat minim. Itulah sebabnya, saat ini di beberapa daerah sedang digagas legislasi daerah yang keliru memahami arah pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Kekeliruan tersebut sangat kentara dari cara pandang yang melihat UU Kehutanan sebagai satu-satunya dasar hukum dari penyusunan Peraturan Daerah tentang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat. Cara pandang ini keliru karena melihat masyarakat adat dari satu aspek, yaitu aspek kehutanan. Padahal secara nasional Indonesia sudah memiliki beberapa undang-undang terkait masyarakat adat yang bersama-sama dengan UU Kehutanan harus dijadikan sebagai dasar hukum dalam penyusunan Peraturan Daerah ini. Sebut saja UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Hak Asasi Manusia, UU Pesisir dan Pulau-Pulai Kecil, dan UU Pemerintahan Daerah. Jika salah pandang ini diteruskan maka pengaturan masyarakat adat dalam hukum tidak akan pernah keluar dari persoalan lama, yaitu persoalan pengaturan yang parsial dan karenanya pelaksanaan hukum juga akan sangat bias sektoral. C. Tuntutan AMAN Dengan berbagai permasalahan hukum sebagaimana diuraikan di atas, kami, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), yang merupakan organisasi tempat berhimpunnya 2253 komunitas masyarakat adat di seluruh nusantara, mengambil sikap sebagai berikut:
  1. Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk mengambil langkah-langkah yang konstruktif, baik secara hukum maupun politik untuk segera menjalankan putusan MK 35/2012 yang memberikan jaminan kepada masyarakat adat untuk menikmati hak-hak mereka atas wilayah adat termasuk hutan adat,
  2. Mendesak Presiden untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka menghentikan aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat adat yang sedang menuntut hak-hak nya atas wilayah adat termasuk hutan adat,
  3. Mendesak Presiden untuk memerintahkan kementerian dan lembaga terkait dengan urusan masyarakat adat (Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Lingkungan Hidup, Badan Pertanahan Nasional dan Kementerian Kehutanan) untuk segera berkoordinasi dalam rangka menyusun kerangka hukum yang benar yang mencerminkan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat,
  4. Mendesak Pemerintah dalam hal ini Menteri Kehutanan untuk segera mencabut P. 62 karena dibuat dengan tidak memperhatikan putusan MK 35/2012 tentang Hutan Adat dan putusan MK 45/2011 tentang Pengukuhan Kawasan Hutan,
  5. Mendesak Kementerian Kehutanan dan Badan Negara terkait membuat suatu panduan mengenai pelaksanaan putusan MK 35/2012. Desakan ini penting karena di lapangan putusan MK 35/2012 dimaknai secara berbeda-beda di tiap-tiap daerah.
  6. Mendesak Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia untuk segera menyusun peraturan daerah dalam rangka mengakui dan melindungi masyarakat adat yang meletakkan UU HAM, UU Pemerintah Daerah, UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya sebagai dasar hukum dari Peraturan Daerah yang harus disusun tersebut.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan agar menjadi perhatian serius Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagai bagian dari usaha kita bersama dalam mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera. Jakarta, 21 Januari 2014 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ____

Writer : |