Release: Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Palembang, 23 Januari 2014: PPMAN - Penangkapan terhadap 4 (empat) orang warga komunitas adat Semende Dusun Lamo Banding Agung, Kab. Kaur Provinsi Bengkulu oleh Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan Polres Kaur dalam operasi gabungan pada tanggal 23 Desember 2013, berujung pada sidang Praperadilan di Pengadilan Negeri Klas II Bintuhan, dimana 4 (empat) orang yang ditangkap melalui kuasa hukumnya (Tim Pembela yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN)) selaku Para Pemohon mengajukan permohonan praperadilan atas tidak sahnya penangkapan dan penahanan terhadap Termohon I Menteri Kehutanan RI cq. Kepala Balai TNBBS, dan Termohon II Kepala Kepolisian RI cq. Polda Bengkulu cq. Polres Kaur. Pada bagian pendahuluan permohonan praperadilan, Tim Pembela para pemohon menguraikan fakta-fakta hukum tentang keberadaan masyarakat adat Semende Dusun Lamo Banding Agung agar ini menjadi pertimbangan sebagai unit sosial yang sah bertempat hidup di wilayah adat mereka dan dalam ruang lingkup pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bukan seperti yang selama ini diidentifikasikan sebagai masyarakat perambah hutan dan dikenakan Pasal 92 Ayat (1) huruf a dan huruf b UU Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, sehingga masyarakat diusir secara paksa, dimaki, dipukul, diancam dengan tembakan senjata api ke udara, belasan rumah dibakar, perusakan dan pengambilan paksa harta benda, hingga berujung pada tindakan penangkapan dan penahanan. Fakta selanjutnya adalah tindakan penangkapan yang dilakukan tanpa memperlihatkan surat tugas dan tidak memberikan surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka, alasan penangkapan dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan. Karenanya penangkapan tersebut telah cacat formil melanggar dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Selain itu, diurai pula fakta bahwa pihak TNBBS dan Polres Kaur telah melakukan penangkapan tanpa didasari oleh bukti permulaan yang cukup, sehingga penangkapan tersebut menjadi cacat materil bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 KUHAP. Hakim tunggal Syamsudin, SH pemeriksa perkara Praperadilan yang terdaftar di PN Klas II Bintuhan dengan Nomor: 01/Pra.Pid/2014/PN.BHT menggelar sidang ini secara maraton sejak tanggal 15 Januari 2014 dengan acara pembacaan permohonan oleh Para Pemohon. Tanggal 16 Januari 2014 acara Jawaban Para Termohon, Replik Para Pemohon, dan Duplik Para Termohon. Tanggal 17 Januari 2014 acara Pembuktian Para Pemohon, tanggal 20 Januari 2014 acara Pembuktian Para Termohon. Tanggal 21 Januari 2014 acara Kesimpulan Para Pemohon dan Termohon dan diakhiri dengan Pembacaan Putusan pada tanggal 22 Januari 2014. Tim Pembela Para Pemohon yang menghadiri persidangan adalah Fitriansyah, SH selaku koordinator tim pembela berdomisili di Bengkulu, Yopie Bharata, SH domisili Palembang, Mualimin Pardi, SH domisili Jakarta, dan Suryadi, SH domisili Pekanbaru. Dalam putusan yang dibacakan dalam persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum pada tanggal 22 Januari 2014, hakim tunggal pemeriksa perkara praperadilan dalam amar putusannya menyatakan menolak permohonan praperadilan para pemohon dan menyatakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan Para Termohon adalah sah menurut hukum, dengan pertimbangan bahwa syarat formil penangkapan telah terpenuhi dengan adanya Surat Perintah Penangkapan yang dikeluarkan oleh Termohon II Polres Kaur, sedangkan mengenai keberadaan komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung yang hidup di wilayah adatnya tidak dipertimbangkan karena dianggap sudah masuk dalam pokok perkara pidana yang dipersangkakan. Putusan ini dirasakan telah menambah penderitaan bagi para pemohon, pertama telah dianggap sebagai perambah hutan, ditangkap, ditahan, selanjutnya hakim sama sekali telah abai terhadap keberadaan mereka sebagai satuan komunitas adat yang hidup di wilayah adat yang mereka warisi secara turun temurun. Sementara Tim Pembela para Pemohon menilai putusan ini telah menambah catatan buruk penegakan hukum yang sewenang-wenang, diluar ketentuan hukum (undue to law), dan jauh dari pemenuhan rasa keadilan. Buruknya penegakan hukum itu nampak ketika hakim tidak mempertimbangkan syarat materil penangkapan dan penahanan terhadap diri tersangka, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 KUHAP bahwa: “Perintah penangkapan dilakukan seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti pemulaan yang cukup.” Bukti permulaan yang cukup dalam ketentuan pasal inilah yang harusnya perlu menjadi perhatian pokok dalam kaitannya dengan persangkaan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana, karena ini menyangkut hak kemerdekaan seseorang untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang sebagai hak asasi yang dijamin konstitusi dan undang-undang. Sebagaimana fakta yang terungkap di persidangan bahwa 4 (empat) orang tersangka ini adalah bagian dari anggota komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung yang mewarisi wilayah dan aturan-aturan adat secara turun temurun. Hal ini dibuktikan dengan adanya Surat Pemerintah Hindia Belanda melalui Kepala Kewidanaan Kaur tentang Pengangkatan Depati Dusun Banding Agung tertanggal 22 Agustus 1891, Surat Keterangan Mengusahakan Lahan adat Dusun Banding Agung (Ulu Benullah), tertanggal 5 September 1950 yang kedua dokumen ini bentuk asli telah diajukan ke muka persidangan, berikut keterangan saksi-saksi di muka persidangan yang menerangkan sejarah asal usul masyarakat adat Dusun Lamo Banding Agung yang ditandai pula dengan keberadaan makam leluhur mereka yakni Makam Puyang Dago, Makam Puyang Sri Dewi, Makam Puyang Depati Mance Negara, dan Makam Puyang Puyang H. Rahman. Terungkap pula fakta bahwa persengketaan wilayah adat dan klaim kawasan hutan TNBBS yang didasari SK Menhut telah berlangsung sejak lama, bahkan pada sekira tahun 2006 Pemerintah Kabupaten memfasilitasi musyawarah dengan dihadiri pihak perwakilan masyarakat adat, Sekda kabupaten, anggota DPRD, Dinas Kehutanan dan Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, yang membahas adanya silang sengketa antara wilayah adat Dusun Lamo Banding Agung dengan kawasan hutan TNBBS. Pertemuan tersebut tidak menghasilkan jalan penyelesaian, dan fakta pula bahwa hingga dengan hari ini belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan wilayah tersebut sebagai wilayah adat atau kawasan hutan TNBBS. Artinya, belum dapat dikatakan bahwa wilayah hidup masyarakat adat Dusun Lamo Banding Agung tersebut adalah kawasan hutan TNBBS atau sebaliknya, sehingga dengan status kawasan yang masih bersengketa tidaklah terpenuhi bukti permulaan yang cukup adanya tindak pidana melawan hak yang dipersangkakan kepada 4 (empat) warga komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung, yang diduga keras melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri dalam kawasan hutan sebagaimana ketentuan Pasal 92 Ayat (1) huruf a dan huruf b UU Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Kesewenangan lainnya adalah fakta pemaksaan penerapan hukum Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang mengatur ketentuan pengecualian bagi komunitas masyarakat adat yang telah hidup secara turun temurun dan melakukan kegiatan perladangan secara tradisional. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 angka 5 dan angka 6 Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang berbunyi: Pasal 1 Angka 5: Penggunaan kawasan hutan secara tidak sah adalah kegiatan terorganisasi yang dilakukan di dalam kawasan hutan untuk perkebunan dan/atau pertambangan tanpa izin Menteri. Angka 6: Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok terstruktur, yang terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial. Ketentuan Pasal tersebut diatas, ditegaskan pula dalam Penjelasan Undang-Undang RI Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, pada Ketentuan Umum alinea ke-10 yang menyatakan: “Undang-undang ini dititikberatkan pada pemberantasan perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, terdiri atas 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada suatu waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tetapi tidak termasuk kelompok masyarakat yang melakukan perladangan tradisional. Pengecualian terhadap kegiatan perladangan tradisional diberikan kepada masyarakat yang telah hidup secara turun temurun di dalam wilayah hutan tersebut dan telah melakukan kegiatan perladangan dengan mengikuti tradisi rotasi yang telah ditetapkan oleh kelompoknya.” Berdasarkan pada fakta-fakta tersebut diatas, maka secara sekaligus kami selaku pembela yang tergabung dalam Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyatakan :

  1. Bahwa Menteri Kehutanan RI melalui Balai Taman Nasional Bukit Barisan Selatan telah secara nyata-nyata merendahkan martabat dan kedaulatan masyarakat adat atas wilayahnya, tidak memiliki kepatuhan hukum sebagaimana Negara telah menjamin dan memberikan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat berdasarkan UUD 1945;
  2. Bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia melalui Kepolisian Resort Kaur tidaklah tunduk dan taat kepada prinsip the right of due process, dan tidak menghormati asas praduga tidak bersalah dalam menggunakan hak dan kewenangan istimewa (privilese) yang dimilikinya. Dimana tata cara penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan telah menyimpang dari ketentuan hukum acara, merendahkan harkat martabat dan memperkosa hak-hak asasi yang melekat pada tiap diri manusia, dalam hal ini masyarakat adat Dusun Lamo Banding Agung;
  3. Bahwa hakim tunggal pemeriksa perkara praperadilan di Pengadilan Negeri Klas II Bintuhan dalam putusannya sama sekali telah mengabaikan syarat materil penangkapan dan penahanan sebagai hal pokok yang perlu dipertimbangkan, sehingga ini telah merampas hak kemerdekaan 4 (empat) orang warga komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung untuk tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Bahwa betapa kepercayaan publik akan semakin buruk jika penangkapan disahkan cukup hanya dengan terpebuhinya syarat formil adanya surat perintah penangkapan;
  4. Bahwa terhadap 4 (empat) warga komunitas adat Dusun Lamo Banding Agung yang saat ini masih mendekam di rumah tahanan Polres Kaur, dan kepada masyarakat adat di seluruh pelosok Nusantara untuk tetap merasa terhormat dan percaya diri memperjuangkan hak, martabat, dan kedaulatan konstitusionalnya sebagai satuan-satuan masyarakat hukum adat yang telah hidup secara turun menurun dan berada dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Demikian hal ini kami sampaikan sebagai bagian dari bentuk tanggungjawab kami selaku Pembela Masyarakat Adat Nusantara. Hormat Kami, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara Badan Pelaksana, Mualimin Pardi Dahlan, SH Ketua

Writer : |