
Kisah Masyarakat Adat Tereksklusi dari Tanah Leluhurnya
01 July 2025 Thata Debora AgnessiaSeorang pria paruh baya duduk bersimpuh disamping istrinya. Ia mengenakan baju koko putih yang bersih berpadu sarung kotak-kotak, dan kopiah putih menutupi rambutnya yang telah menipis. Sementara, istrinya tampil dalam balutan mukena biru langit.
Wajah keduanya telah keriput, namun masih memancarkan teduh dengan senyumnya yang tak pernah pudar. Namun, siapa sangka dibalik ketenangan itu ada kisah panjang perjuangan penuh luka yang tak pernah lekang oleh waktu.
Kisah pria berusia 57 tahun itu bernama Sarwani dari Desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Sarwani berasal dari komunitas Masyarakat Adat Rungun, anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN).
Sarwani dahulunya adalah seorang petani yang mengelola wilayah adatnya. Namun pada 2019, Sarwani dikriminalisasi atas kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) bersama Gusti Maulidin (69), tetangga sekampungnya saat mempraktikan sistem berladang tradisional yakni membakar lahan dengan api dijaga bersama-sama hingga padam. Sarwani dan Gusti saat itu harus merasakan dinginnya jeruji penjara.
Sarwani belum bisa melupakan peristiwa saat dirinya ditangkap polisi di ladangnya sendiri. Polisi datang ke ladangnya, sembari menuding Sarwani telah membakar lahan seluas dua hektar. Padahal, menurut suami dari Utin Sarpinawati ini yang dibakar tak lebih dari satu hektar. Itu pun dijaga ketat agar apinya tidak merambat kemana-mana. Sarwani berani bersumpah atas pengakuannya itu. Tapi, tetap saja polisi bersikukuh menyatakan Sarwani dan Gusti bersalah.
Sarwani tak pernah membayangkan bahwa dari praktik berladang turun-temurun, langkahnya justru berakhir di balik jeruji besi. Ia dihukum enam bulan penjara karena dituding membakar lahan. Hari demi hari dijalaninya hukuman itu dari balik jeruji penjara, sekaligus menjadi bayang-bayang kelam yang terus membekas hingga kini.
Sarwani yang ditemui di kediamannya baru-baru ini bercerita ketika masih aktif berladang. Ia terbiasa menyantap nasi dari beras hasil tanam sendiri yang pulen dan harum. Namun, di penjara tak ada pilihan. Ia harus menelan beras yang membuat perutnya sering menolak.
Selama di penjara, Sarwani tak hanya harus menelan makanan yang tak cocok dengan perutnya, tapi ketika sedang sakit pun hanya diberi obat paracetamol.
“Dalam penjara, obat dari segala penyakit adalah paracetamol,” tuturnya dengan nada getir. Di balik jeruji penjara, sambungnya, rasa sakit harus ditahan sebab yang datang hanya perawatan seadanya. “Sekadarnya hidup, sekadarnya sembuh,” ucapnya.
Sarwani dan Utin Sarpinawati saat di wanwancara di rumahnya. Dokumentasi AMAN
Terasing di Tanah Sendiri
Selepas dari penjara, Sarwani juga bukan bebas sepenuhnya. Sarwani merasa terasing di tanahnya sendiri. Lahan yang dahulu ia garap kini tak lagi bisa disentuh sebebas dulu, rasa takut masih menghantuinya. Ia pun memilih untuk tidak berladang lagi.
“Sekarang tidak berladang lagi, saya sudah tidak berani,” keluhnya.
Kini, Sarwani hanya menangkap ikan di sungai, menebas semak di lahan sawit tetangga atau sesekali membersihkan bekas ladangnya yang kini dibiarkan kosong. Ketakutan itu tak hanya membungkam seorang yang bernama Sarwani, tapi menjalar ke seluruh kampung. Masyarakat Adat Rungun yang dulu hidup dengan ketahanan pangan melalui berladang secara tradisional pun perlahan berhenti.
Sekarang, sebagian besar warga desa Rungun memilih menjadi nelayan, buruh lepas penebas semak, menanam sawit di lahan pribadi atau bekerja di perusahaan.
Di penghujung ceritanya, suara Sarwani mulai bergetar. Ia seperti menahan marah yang lama dipendam, mengalir pelan dalam bentuk kekecewaan yang mendalam.
“Kami ini bukan pembuat kebakaran, tapi kenapa kami yang dipenjara ? Sementara yang benar-benar merusak lingkungan dibiarkan saja,” ucapnya dengan suara tinggi.
Sarwani mengatakan negara seharusnya hadir untuk melindungi rakyatnya, bukan justru menghukum hingga rakyatnya harus kehilangan pekerjaaan.
“Saya sungguh kecewa dengan aturan yang membuat kami harus dipenjara. Hari ini, saya tak lagi punya pekerjaan tetap. Saya hidup dengan kerja serabutan,” ujarnya lirih.
Dengan nada getir, Sarwani sempat melontarkan pernyataan yang terasa lebih menyakitkan daripada lucu. “Kami sekarang terlempar dari tanah sendiri,” ucapnya yang puluhan tahun menggantungkan hidupnya dari tanah sendiri, kini harus terlempar dari tanah leluhur tersebut.
Sarwani kini memang telah kembali ke rumahnya. Tapi, ia tereksklusi pasca dikriminalisasi hingga mendekam enam bulan di penjara. Sarwani tidak pada kehidupan yang sama. Ia kembali sebagai orang asing di tanah sendiri. Ladang yang dulu menjadi ruang hidup, kini kosong, tak ada yang berani menjamah, ilalang tumbuh liar menggantikan jejak kaki yang dulu saban hari menanam, menjaga, dan merawat.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah