Oleh Munira bersama Fadiyah Alaidrus

Nama saya Munira, biasa dipanggil Mira. Saya adalah seorang anak, ibu, istri, dan guru Taman Kanak-kanak (TK). Saat menuliskan kisah ini, saya dalam keadaan hamil anak kedua saya yang diperkirakan akan lahir pada awal September 2021. Namun, di tengah kondisi pandemi, masalah ekonomi selalu menjadi kecemasan tersendiri. Saya kerap merasa takut apabila membayangkan tak ada makanan untuk anak saya. Terlebih, saat saya harus berhenti bekerja sebagai guru TK untuk sementara karena kehamilan yang sudah besar.

Masalah ekonomi tak hanya muncul di rumah tangga saya, melainkan juga sebagian besar masyarakat di tempat tinggal saya, yakni Montomisan, desa tertua di Pesisir Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah. Kepala desa kami, Pak Tole Latani, juga menyampaikan hal serupa.

“Kalau melihat dampak pandemi, ya, cukup besar. Dampaknya, dalam hal pelibatan ekonomi, termasuk mengganggu ekonomi juga. Tahun-tahun sebelumnya, saat Covid belum masuk ke daerah kita, pemasaran rumput laut itu luas, sampai-sampai pembeli dari luar negeri bisa masuk. Namun, dengan adanya Covid, rumput laut ini agak menurun harganya,” ujar Pak Tole saat saya temui sekitar Juni 2021.

Sementara, jujur saja, jika berharap mendapatkan bantuan dari pemerintah pun rasanya sia-sia. Akhirnya, selama pandemi, kami lebih banyak bekerja keras sendiri.

Mayoritas Masyarakat Adat Montomisan memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan mengelola rumput laut. Secara khusus, rumput laut termasuk salah satu komoditas yang menjadi penggerak ekonomi kami. Rumput laut pertama kali masuk ke Montomisan sekitar 1989 pada masa pemerintahan Soeharto. 

Suludani, seorang tokoh di Masyarakat Adat kami, menjadi salah satu orang yang melihat bagaimana rumput laut mulai masuk ke Montomisan. Ia mengisahkan awalnya baru beberapa orang yang mencoba. Itu pun mereka perlu mengambil bibitnya ke Pulau Bangkurung yang terletak di selatan Montomisan. 

“Masih terbilang langka dan masih banyak dari kami yang meragukan rumput laut karena kami masih awam dengan hal itu. Bagaimana tidak? Saat itu, belum ada kapal pengangkut ke kota dan juga belum ada pembeli,” ujar Suludani. 

Rumput laut baru mulai banyak dibudidayakan di Montomisan setelah 1990. Perangkat dan fasilitas untuk pembudidayaannya pun mulai dikembangkan. Tak ada yang menyangka bahwa perkembangan budi daya rumput laut berlangsung dengan pesat, bahkan berhasil menjadi sumber penghasilan terbesar Masyarakat Adat Montomisan.

Sebelum masuknya rumput laut di Desa Montomisan, kami biasa berkebun ubi banggai, keladi, dan umbi-umbian lainnya. Hasil perkebunan tersebut kami gunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok sehari-hari. Jika ada ubi banggai yang berlebih, biasanya akan kami tukar ke nelayan dengan makanan dari laut, seperti ikan kering.

Namun, sejak sekitar tahun 2000, tradisi pertukaran makanan tersebut sudah tak lagi dijalankan. Makanan pokok pun menjadi semakin beragam, mulai dari nasi, ubi banggai, serta singkong. Olahan singkong parut dan kukus menjadi makanan tambahan yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat selain ubi-ubian. 

Hingga kini, mayoritas kami, khususnya perempuan adat, tetap melakukan kegiatan berkebun. Kami berkebun agar tetap dapat memenuhi kebutuhan makan, sehingga apabila rumput laut sedang gagal panen, kami bisa tetap makan.

Penegak Tonggak Ekonomi
Berbicara soal perkembangan rumput laut di Montomisan, tentu tak lepas dari peran para perempuan adat. Sekitar 70 persen dari pengelolaan rumput laut yang ada, dilakukan oleh perempuan adat. Mayoritas kami melakukan berbagai pekerjaan, seperti pembersihan tali sebelum digunakan untuk berlayar, pengambilan air bersih, dan sebagainya. Sementara itu, kaum laki-laki turun berlayar untuk menaburkan bibit rumput laut.

Namun, ada sejumlah perempuan yang melakukan segala proses pengelolaan rumput laut sendirian, salah satunya adalah Haji Jia. Saya biasa memanggilnya Tata Haji. Ia berusia 58 tahun serta lahir dan besar di Montomisan. Begitu pun dengan kedua orangtuanya. Tata Haji sudah mulai bekerja untuk mengembangkan rumput laut sejak 1999 saat berusia 36 tahun.

“Kalau macam saya ‘kan, ya, saya semua yang mengerjakan. Tapi, bagi yang punya suami, laki-laki cuma ambil bibit, sementara kalau perempuan ‘kan masak, yang mengurus dan mengikat tali (untuk rumput laut). Apalagi, kalau ada anak, urus anak sekolah,” ungkap Tata Haji saat mengisahkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan di Montomisan.

Tata Haji merupakan salah satu perempuan tangguh yang saya kagumi di sini. Ia hidup seorang diri dan bekerja keras hingga mampu menjalankan ibadah naik haji. Tata Haji menjadi perempuan pertama dari Desa Montomisan yang berangkat haji. Hal itu mendorong saya untuk berbincang lebih jauh dengan Tata Haji. 

Jika pada musimnya atau cuaca sedang mendukung, Tata Haji bisa menjual rumput laut sekitar 800 kilogram (kg) hingga satu ton setiap musim. Saat itu, ia menjualnya dengan harga Rp4.500 per kg. 

Harga jual rumput laut di Montomisan memang fluktuatif, tetapi kecenderungannya naik terus. Saat awal-awal rumput laut masuk ke Montomisan, harga jual masih berkisar Rp3.000 per kg. Harga terus naik dan mencapai titik tertinggi pada 2018, yakni Rp21.000 per kg. Selepas itu, harga turun hingga berkisar Rp14.000 di titik ini.

Segala uang yang dihasilkan dari panen rumput laut, ia tabung untuk kehidupan selama beberapa bulan. “Kalau ada kelebihan, saya simpan untuk naik haji,” ujarnya.

Umumnya, perempuan di sini akan berlayar ke laut saat masa panen untuk mengambil hasil rumput lautnya. Kemudian, kami akan menjemurnya di daratan. Selepas dijemur, kami memikul hasil panen untuk ditimbang dan dibawa ke tengkulak untuk dijual. Perjalanan menuju tengkulak, menuruni bukit sekitar satu kilometer dari perumahan warga. Biasanya, dalam satu kali perjalanan, perempuan di sini memikul sekitar 25-30 kg. Mereka akan bolak-balik menaiki dan menuruni bukit dalam proses dari panen hingga penjualan rumput laut.

Saat cuaca sedang mendukung, kami bisa panen dua sampai tiga kali dalam satu tahun. Sementara, jika cuaca sedang tak mendukung, kami bisa gagal panen sepanjang tahun dan mengalami kerugian karena modal yang keluar lebih besar daripada rumput laut yang dihasilkan sebagaimana yang terjadi sejak tahun 2018.

Jika dipikir-pikir, peran rumput laut begitu besar bagi para perempuan adat dan secara luas bagi Masyarakat Adat Montomisan. Mengutip yang disampaikan salah satu teman saya, Arbia (37 tahun), “Kalau bukan agar (rumput laut), ya, orang-orang di Desa Montomisan mungkin ngga bisa membiayai anak sekolah, tidak bisa punya rumah.”

Para perempuan adat sedang memanen rumput laut.Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Dari Dapur ke Laut
Suatu siang di awal Juli 2021, saya, Arbia, dan Hasrawati berkumpul di rumah tantenya Hasrawati. Jarak rumah kami tak begitu jauh. Awalnya, kami berkumpul untuk memasak ubi banggai dan ikan kuah, lalu membahas rumput laut. Namun, karena ternyata ikan sedang tak ada, kami memakan ubi dan mi kuah. Selepas makan, kami saling menceritakan pengalaman mengenai pengelolaan rumput laut di Montomisan.

Hasrawati, seorang ibu dari tiga anak, sudah mengelola rumput laut sejak 11 tahun lalu. Ia lahir dan tumbuh di Montomisan, sementara suaminya merantau untuk bekerja di Morowali, Sulawesi Tengah. 

Sebelum mengelola rumput laut, Hasrawati sudah bekerja selepas lulus dari Sekolah Dasar (SD). Ia sempat bekerja untuk perusahaan sawit sebagai buruh harian dengan upah Rp7.500 per hari. Kemudian, ia merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Tengah untuk menjadi pekerja rumah tangga. 

“Bertemu jodoh pun di perantauan. Terus kawin umur 20 tahun,” ucapnya.

Selepas pulang dari perantauan, Hasrawati tertarik untuk mengembangkan rumput laut. Ia belajar dengan melihat cara pengelolaan yang dilakukan oleh teman-teman sesama perempuan adat. 

“Saya mendayung sendiri ke tengah laut. Panas, hujan seharian, kadang bisa berhari-hari,” kisahnya.

Kemudian, Hasrawati mengisahkan bagaimana keseharian yang kini dijalaninya dengan bekerja sebagai ibu rumah tangga, berkebun, dan mengelola rumput laut. 

Hasrawati biasa bangun tidur sekitar pukul 04.30 pagi. Selepas bangun tidur, ia merapikan rumah, memasak untuk sarapan keluarga, serta menjalankan ibadah salat Subuh. Apabila sedang musim panas, maka di sela-sela paginya tersebut, ia menyempatkan diri menuruni bukit sekitar satu kilometer untuk mengambil air agar bisa masak, mandi, dan sebagainya. 

Pada saat anak-anaknya telah berangkat sekolah, Hasrawati akan kembali memasak. “Jadi kalau mereka pulang sekolah, makanan sudah siap.”

Sekitar pukul delapan pagi, Hasrawati akan kembali menuruni bukit untuk berangkat melaut dan mengurus rumput laut. Perjalanan melaut biasanya menghabiskan waktu sekitar delapan sampai sepuluh jam dalam sehari, bergantung dari seberapa banyak bibit yang ia tanam. Dalam perjalanan ke laut, ia juga membawa sejumlah pakaian kotor, sehingga apabila ia selesai melaut sebelum malam tiba, maka ia bisa menyempatkan diri untuk mencuci pakaian di penampungan air yang ada di pantai. 

“Pulang capek-capek dari rumput laut, masih perlu capek-capek cari air lagi, cuci piring, memasak, apalagi kalau mati lampu. Belum lagi kalau minyak tanah tidak ada,” ujar Hasrawati sembari tertawa. 

Mendengar jadwal keseharian Hasrawati yang sangat padat, saya refleks berkata, “Capek juga, ya, perempuan”.

“Capek sekali, ya Allah,” balas Hasrawati sembari menghela napas. “Tapi, sudah terbiasa, toh.”

Masalah keterbatasan akses terhadap air, menjadi masalah yang membuat perempuan adat memiliki beban yang semakin berat. Saat musim panas atau kering, kami harus berjalan naik-turun bukit untuk sekadar memenuhi kebutuhan domestik sehari-hari, seperti mandi, masak, cuci piring, cuci baju, dan sebagainya.

“Kalau ada air, jadi ngga terlalu capek memikul. Itu prioritas nomor satu untuk perempuan adat di Montomisan. Jadi, kalau pulang capek-capek, itu bisa langsung masak dan sebagainya. Ngga perlu bolak-balik ambil air lagi ke laut,” ungkap Hasrawati. “Kebutuhan nomor satu itu air.” 


Pembibitan rumput laut.Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Terpukul Hama dan Cuaca
Keletihan yang dialami Hasrawati selama beberapa tahun ke belakang, tak tergantikan dengan keuntungan yang setimpal. Hasrawati justru mengalami kerugian dalam pengelolaan rumput laut. Padahal, apabila mengingat kondisi beberapa tahun yang lalu, ia sempat mengalami panen sukses. 

“Dalam satu kali panen, bisa mendapatkan sampai Rp20 juta lebih, hampir satu ton. Tiga tahun kemarin, 2018 itu. Tapi, tahun kemarin, ngga mencukupi. Sampai sekarang ini, belum ada hasil,” ungkapnya.
 
Kegagalan rumput laut bisa terjadi karena beberapa faktor. Pertama, ketika ada lumut yang menjadi hama dan mengganggu perkembangan rumput laut. Namun, lumut yang tak terlalu parah masih bisa diatasi dengan cara dibawa ke dekat pondok warga dan dibentangkan di sana. Rumput laut akan didiamkan di sana agar lumut itu dimakan oleh ikan. Apabila lumutnya sudah berkurang atau tidak ada, maka akan dikembalikan ke lokasi pembibitan.

Faktor kedua, yang paling sulit dikendalikan, adalah cuaca. Perubahan iklim membuat cuaca semakin tak menentu dan tak bisa ditebak. Hal tersebut sangat berdampak pada kondisi perkembangan rumput laut di Montomisan.

“Kalau angin terlalu kencang, rumput laut banyak jatuh, dan dimakan ikan. Kalau terlalu banyak curah hujan, dia jatuh dan rusak juga. Jadi, dia pasnya di musim yang sedang-sedang saja, angin sepoi-sepoi, tidak terlalu hujan, tidak terlalu panas. Kalau terlalu panas, juga bisa bermasalah,” jelas Hasrawati.

Cuaca yang tak menentu dan kerap kali datang secara ekstrim, seperti hujan deras, atau mendadak sangat kering, berpengaruh bagi pendapatan kami. Akibatnya, beberapa tahun belakangan, pendapatan kami turun. Terlebih, dengan kondisi pandemi, kami semakin sulit pergi ke mana-mana untuk mencari penghasilan lain.

“Tiga tahun ini macet dan tidak ada modal,” ungkap Hasrawati. “Kalau ada modal, mungkin jadi. Terus mau mencari modal untuk keluar, juga susah karena Covid.”

Tak hanya Hasrawati, Arbia juga menyampaikan permasalahan yang serupa. “Sekarang masalahnya modal tidak ada,” tuturnya.

Berbeda dari Hasrawati, Arbia tinggal seorang diri di Montomisan. Ia memang asli dari Montomisan, begitu pun dengan ayah dan ibunya. Arbia sudah menghabiskan sekitar 20 tahun mengelola rumput laut, sejak 17 tahun. 

“Sekarang tidak ada rumput laut. Mau mendapatkan uang di mana? Kalau laki-laki kerja di bangunan (menjadi buruh harian), kalau perempuan di pasar atau apa?”

Arbia merasa semakin sulit mencari uang di tengah kondisi pandemi dan rumput laut yang terus gagal selama beberapa tahun ini. Kondisi Arbia jelas menggambarkan masalah yang kami hadapi di Montomisan. Kini, Arbia berusaha mencari cara lain untuk mendapat uang, salah satunya dengan menjadi buruh harian di Kabupaten Banggai untuk membersihkan kebun. Upah yang didapatnya beragam, mulai dari Rp50.000-70.000 per hari. Selain itu, Arbia juga tetap berkebun.

“Kalau berkebun memang rutin, biarpun tidak ada uang. Tapi, yang penting ada makanan, ada ubi,” kata Arbia. 

Solidaritas Perempuan Adat
Saya bukan asli dari Montomisan, melainkan baru tinggal di sini sejak 2019. Kampung asal saya berjarak sekitar 75 kilometer dari Montomisan. Saya pindah ke sini mengikuti suami. Namun, kini Montomisan juga telah menjadi rumah saya.

Saat pindah ke Montomisan, saya merasa disambut dengan baik oleh Masyarakat Adat di sini, terutama para perempuan adat. Bersama mereka, saya banyak belajar untuk memahami proses pengembangan rumput laut. Tak jarang pula mereka memberikan bibit rumput laut untuk saya. Saat berbicara dengan Arbia, saya semakin memahami mengapa hubungan sesama perempuan adat sangat erat.

“Kalau saya ngga punya agar, terus ada yang punya, ‘kan gampang. Bisa saling kasih bibit, saling membantu. Saya juga begitu, semisal ada yang ngga punya bibit dan saya ada, saya kasih atau teman yang lain kasih,” jelas Arbia.

Kami, para perempuan adat di Montomisan, juga kerap kali bertemu satu sama lain atau berkumpul. Biasanya, kami saling bertukar pikiran dan pengalaman dalam pengelolaan rumput laut, termasuk perihal dari mana bibit yang bagus, bagaimana kondisi cuaca belakangan ini, bagaimana trik agar rumput laut tetap berhasil dipanen, dan bagaimana cara mendapatkan uang apabila rumput laut gagal.

Tak terasa, percakapan saya dengan Arbia dan Hasrawati di hari itu telah memakan waktu beberapa jam. Tak terasa hari sudah sore. Selepas bercakap dan bertukaran pikiran dengan mereka, saya menyadari bahwa perempuan adat adalah perempuan-perempuan yang luar biasa kuat, lincah, dan tekun. Kami menghabiskan banyak waktu, mulai dari bekerja di dapur, di kebun, hingga di laut. Di tangan kamilah, sebetulnya denyut kehidupan terus terjaga.

***

Penulis adalah warga dari Masyarakat Adat Montomisan. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.