Oleh Odih Kustiandi bersama Zulyani Evi

“Kalau semua gagal, maka pertanian adalah kuncinya”. Nasihat yang saya dapatkan dari salah seorang Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN), mengembalikan keyakinan saya untuk pulang, kembali ke kampung untuk menggarap sawah dan kebun. Kini, tak ada satu hari pun saya lewatkan dengan tidak pergi ke kebun.

Kebun cabai yang saya rawat.

Bertani merupakan mata pencaharian utama Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya. Cara mengelola lahan, mulai dari persiapan awal (beberes) hingga pesta panen (Serentaun), tercantum jelas dalam hukum adat yang masih dilakukan hingga saat ini.

Kasepuhan Ciptamulya secara administratif terletak di Desa Sinaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Orang Kasepuhan atau kaolotan adalah orang-orang yang masih menganut aturan adat, mulai dari kehidupan sehari-hari sampai tata cara pengelolaan lahan. Kepercayaan asal kami, yaitu Islam Pangandika Gusti Rasul.

Mata pencaharian Masyarakat Adat adalah bertani (sawah dan huma) serta memanfaatkan hasil hutan. Berbeda dengan praktik pertanian pada umumnya, orang Kasepuhan hanya bertani sebanyak satu kali dalam setahun. Di balik itu, kami percaya bertani satu kali dalam setahun dapat menjaga zat hara yang terkandung dalam tanah agar tidak habis, sehingga tanah akan tetap subur.

Pada masa istirahat setelah panen padi, kami biasanya akan melakukan pekerjaan sampingan, yakni menanam tanaman jangka pendek, seperti tomat, jagung, cabai, dan sayuran lainnya. Selain untuk dikonsumsi sendiri, kami juga menjualnya ke pasar-pasar terdekat.

Guru pertanian saya adalah sosok yang konsisten menggeluti pertanian selama 13 tahun terakhir. Ia adalah Kang Epul. Tanpa hadirnya sosok mentor seperti Epul, - akrab saya panggil Kang Epul - barang tentu sulit bagi anak muda untuk terjun ke dalam pertanian.

“Sudah sekitar tiga orang anak muda yang menjadi anak didik saya, yang awalnya pengangguran sampai sekarang menggeluti pertanian. Sudah banyak anak muda lainnya yang juga bergabung dan dididik oleh teman saya,” kata Kang Epul.

Dia menerapkan aturan adat dalam setiap proses bertaninya, mulai dari menanam hingga memanen. Pertama-tama ia akan mencari hari, tanggal, dan jam yang bagus ketika hendak menanam. Ritual lain seperti syukuran juga akan dilakukan sebelum menanam dan sebelum masa panen (mipit).

Serentaun

Padi dipanen ketika sudah menguning. Namun tidak sembarangan, dalam budaya Kasepuhan, ada tata cara yang harus dilakukan sebelum padi dipanen. Pertama adalah ritual kepada nenek moyang, meminta agar hasil panen melimpah dan bermanfaat. Ritual ini dilakukan masing-masing keluarga di kediamannya, bisa di rumah atau di saung sawah (huma). Setelah ritual selesai dan hari baik sudah ditentukan, barulah padi bisa dipanen.

Padi yang sudah dipanen, tidak langsung dibawa ke rumah, melainkan dijemur terlebih dahulu di lantayan selama 30 hari. Setelah padi kering, baru padi dipikul atau ngunyal dengan bergotong royong. Saling membantu adalah tradisi warga Kasepuhan yang masih dijaga dan dipertahankan sampai sekarang.

Sebelum dimasukkan ke lumbung (leuit), ada ritual khusus yang disebut Nganyaran. Nganyaran dilakukan dengan membagi-bagikan nasi yang baru dipanen kepada tetangga dan orang sekampung. Orang lain juga melakukan hal demikian, sama-sama saling memberi. Hal ini dilakukan agar rasa persatuan dan kesatuan tetap terjaga. Setelah ritual Nganyaran selesai dilakukan, barulah padi yang sudah dirapikan di masukan ke dalam leuit.

Bukan Kasepuhan namanya kalau tidak ada upacara adat Serentaun. Upacara adat serentaun merupakan upacara adat terbesar yang dilakukan satu tahun sekali setelah masa panen.

Serentaun bisa disebut juga ampih pare ka leuit. Hasil panen Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya sebagian dikumpulkan di Lumbung Besar yang diberi nama Leuit si Jimat. Lumbung ini digunakan untuk membantu Masyarakat Adat yang kurang mampu, apabila mereka kekurangan pangan dapat meminjam dari Leuit si Jimat.

Imah Gede.

Leuit si Jimat paling besar yang berada di dekat Imah Gede (rumah ketua adat) dalam acara Serentaun bertuliskan ‘’Nyoreang alam katukang nyawang alam anu bakal datang.’’ Artinya, mengevaluasi yang telah berlalu dan menyambut masa yang akan datang. Serentaun dilakukan selama tiga hari tiga malam dengan berbagai hiburan, seperti permainan angklung, rengkong, jipeng, topeng, wayang golek tari, debus, laes, dan lain-lain.

Menggarap Tanah Sengketa

Lahan yang kami kerjakan dibagi menjadi tiga, yakni hutan titipan, hutan tutupan, dan hutan garapan. Hutan titipan merupakan daerah yang tidak boleh dimasuki atau hutan larangan. Sedangkan hutan tutupan, adalah hutan yang boleh digarap dengan seizin pemangku adat.

Wilayah ini biasanya dimanfaatkan untuk keperluan membangun rumah. Lalu, ada hutan garapan atau hutan yang menjadi mata pencaharian sehari-hari Masyarakat Adat, berupa pesawahan, ladang, dan kebun.

Tanah yang kami gunakan adalah tanah adat. Namun, tanah adat ini diklaim oleh pemerintah melalui penetapan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada 2004. Ketika itu keluar, Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan tentang Pengalihan Fungsi dari Perum Perhutani menjadi milik TNGHS.

Sejak tanah adat diklaim oleh TNGHS, warga Kasepuhan mulai terusik. Tidak hanya lahan yang berupa hutan yang terganggu, tetapi juga seluruh lahan yang berupa persawahan dan pemukiman Masyarakat Adat. Pemerintah membagi lahan menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan, dan zona rehabilitasi. Patok larangan dipasang oleh pihak TNGHS yang bertuliskan sederetan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran.

“Meskipun tanah tersebut masih dalam sengketa, tapi jarang terjadi konflik. Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya bebas menggarap lahan dengan syarat tidak boleh membuka hutan,” tutur Kang Epul.

Peran Perempuan Adat dan Pemuda Adat

Di Kasepuhan Ciptamulya, tak hanya pada tetua adat yang berperan. Pemuda adat dan perempuan adat pun turut ambil bagian. Mereka berperan aktif, baik dalam pelestarian adat ataupun aktivitas pertanian. Apalagi, di tengah krisis pandemi Covid-19 saat ini, tidak ada yang lebih bisa bertahan (resilien) dibanding dengan aktivitas bertani.

Saya sendiri demikian termotivasi untuk membentuk kelompok tani bersama beberapa pemuda adat di kampung, salah satunya adalah Liga. Liga adalah pemuda adat yang tegar, tak mudah menyerah.

Jalan yang sempit, sulit, berlumpur, dan juga berbahaya karena berada di sisi tebing, adalah satu-satunya akses jalan yang harus dilalui. Liga yang merangkap menjadi ojek gunung tidak gentar melalui rute sulit dan berbahaya itu. Sudah 10 tahun, Liga menghidupi keluarganya dari pekerjaan sebagai ojek gunung, mengantar alat atau kebutuhan kebun.


Liga di atas sepeda motornya.

Namun, kini menjadi ojek gunung hanyalah pekerjaan sampingan saja. Saat ini, Liga fokus bertani. Cabai adalah tanaman yang saat ini dirawatnya. Bagi Liga, pertanian bukan hanya menjadi pekerjaan orang-orang tua saja, tetapi juga anak-anak muda.

Liga mengatakan, “Awalnya anak muda di Kasepuhan Ciptamulya tidak peduli dengan pertanian. Kebanyakan anak muda hanya peduli dengan gadget-nya, tapi sekarang mereka mulai mengurangi ketergantungan terhadap gadget dan mulai terlibat dalam pertanian. Dari tahun ke tahun, jumlah anak muda yang terlibat dalam pertanian semakin bertambah.”

Bertani, bukan berarti lepas dari tantangan. Berbagai hal seperti kurangnya perhatian pemerintah, naik-turun harga, minimnya modal, dan mahalnya harga pupuk, menjadi kendala yang mesti ditelan. Meski begitu, harapan Liga agar lebih banyak lagi anak muda yang terlibat dalam pertanian, tidak pernah meredup.

“Dulu anak muda berpikir bahwa bertani hanya sebatas memegang cangkul. Sekarang ini, ketika orangtua mereka pergi ke kebun atau ladang, maka mereka akan membantu orangtuanya dan bekerja bersama. Melihat itu, saya merasa sangat senang,” ujar Liga.

Bertani bukan hanya dilakukan oleh laki-laki. Para perempuan adat di komunitas adat kami juga berperan penting dalam pertanian. Teh Nengsih salah satunya. (“Teh” adalah sapaan kami untuk kakak perempuan.) Ia berbagi peran dengan suaminya dalam merawat kebun yang mereka garap.

“Dalam bidang pertanian, saya dan suami mempunyai tugas masing-masing, tugas suami menyiapkan lahan dan melakukan penyemprotan, tugas saya membersihkan rumput liar. Suami saya fokus di tanaman cabai dan saya fokus di tanaman sayuran,” tutur Teh Nengsih.

Teh Nengsih di kebun garapannya.

Bukan hanya dalam proses bertani, dalam setiap ritual yang dilakukan, juga tidak lepas dari peran perempuan adat. Teh Nengsih terlibat aktif dalam berbagai ritual, seperti Serentaun, Pongokan, dan Ngayaran.

***

Penulis adalah warga dari Masyarakat Adat Kasepuhan Ciptamulya. Artikel ini merupakan bagian dari tulisan yang ditulis untuk Kisah dari Kampung - gerakan penulisan buku yang digagas oleh AMAN dalam upaya menghadirkan profil berupa kisah dari berbagai kampung di penjuru Nusantara dan ditulis oleh para Kader AMAN bersama pasangan jurnalis.