Oleh Alfa Gumilang

Meski matahari begitu terik, suasana siang hari itu tak membuat saya mengeluh kepanasan. Angin hanya berhembus tipis. Saya berada di tengah-tengah danau yang tampak bagai lautan selama sekitar 30 menit. Danau Sentani yang berlokasi di Jayapura, Papua, dikelilingi oleh pegunungan dan dihiasi oleh hamburan pulau-pulau kecil. Langit tak malu untuk menampakkan birunya. Namun, lingkungan sekitar yang asri, terasa bagai meredam hawa panas yang menerpa. 

Itu jauh berbeda dari siang yang sama di Jakarta, di mana kurang dari 30 menit saja berada di jalan, saya sudah akan mengeluh panas dan badan pun terasa lengket. Terik di Jakarta berpadu dengan polusi, gedung-gedung berkaca pencakar langit yang memantulkan panas dan menghambat angin, serta langit yang kelabu penuh dengan asap kendaraan bermotor. 

Tak pantas mungkin membandingkan perjalanan di Danau Sentani dengan ibu kota. Tapi, sulit juga rasanya untuk tidak membandingkannya mengingat hampir sepanjang hidup saya dihabiskan di Jakarta. Suguhan di Danau Sentani, Papua, menjadi semacam pelipur lara dan kerinduan saya pada keindahan bentang alam. 

Sekolah adat yang berlokasi di salah satu pulau di Danau Sentani. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Anak-anak adat di sekolah adat di Danau Sentani.Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Perjalanan saya bersama rombongan AMAN menuju Kampung Hobong, terhenti sejenak di sebuah sekolah adat yang berada di sebuah pulau. Anak-anak kecil bernyanyi dengan ceria di pinggir dermaga kayu yang mengungil untuk menyambut kapal berlabuh. Sontak saya pun turut mengabadikan momen tersebut dengan kamera.

Berbincang dengan anak-anak adat di sana terasa menyenangkan. Mereka tak henti-henti melontarkan senyum ramah dan hangat kepada kami di sela-sela obrolan singkat. Satu pertanyaan yang saya lempar, dijawab mereka secara bersahutan. Jawaban yang keliru lantas dibenarkan oleh anak-anak adat lainnya. Mereka sempat berdebat kecil untuk menegaskan siapa yang benar sebelum akhirnya sepakat pada satu hal. 

Potret anak adat di Tanah Tabi, Danau Sentani. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Di sekolah adat itu, anak-anak adat belajar ilmu pengetahuan umum yang ada di sekolah-sekolah, seperti Bahasa Indonesia, Matematika, dan lainnya. Namun, di sana anak-anak adat juga belajar bahasa ibu, kuliner lokal, kesenian, hingga nilai-nilai yang selama ini telah diwariskan oleh leluhur.

Mengingat apa yang dulu saya pelajari di sekolah saat masik kecil, tentu saya tak mendapatkan pelajaran seperti yang mereka pelajari. Kota dan pembangunan modern memang telah menafikkan sejarah. Perpaduan kultur dan budaya yang dibawa oleh berbagai masyarakat dan bertumpuk di kota, tidak menjadikan Jakarta memiliki keberagaman kebudayaan. Saya justru merasa pembangunan di Jakarta telah menghilangkan keberagaman kebudayaan itu sendiri. 

Kaki melangkah kembali ke speed boat untuk kami menuju ke tempat berikutnya. Anak-anak adat itu kembali bernyanyi sembari melambaikan tangan pertanda perpisahan. 

Dermaga di Kampung Hobong. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Selamat datang di Kampung Hobong. Plang kecil berdiri di ujung dermaga kecil. Di bawah plang itu, tampak seorang lelaki paruh baya berdiri sedang membakar ikan. Di depannya, ada sebuah lapangan dan sekolah dasar, sedangkan di sebelah kirinya ada sebuah gereja berwarna biru. 

Saya bilang padanya, “Bapak, saya minta izin untuk mengambil foto. Boleh?” 

“Ya, silahkan!” 

Beberapa jepretan foto cukup rasanya. Ikan-ikan di atas arang itu besar dengan ukuran melebihi piring makan dan mereka menggoda perut saya yang lapar. 

“Ikan apa ini, Pak?” tanya saya. 

“Ikan mujair,” jawabnya singkat. 

“Mujair?” Saya kaget. “Besar juga, ya mujair di sini.” 

Ia berkata kalau ikan yang dibakarnya itu masih relatif kecil. Lalu, ia menengok ke kanan dan kiri untuk mencari sebuah benda yang ingin ia bandingkan dengan mujair yang berukuran besar. Ia menunjuk satu papan yang menjadi landasan dermaga.  “Kalau yang besar, bisa seukuran ini kira-kira.” 

Seandainya membandingkan mujair di Danau Sentani dengan yang saya makan di Jakarta, sudah pasti yang ini sudah menang skor 2-0. Pastinya, kalah telak. 

Seorang lelaki sedang membakar ikan mujair. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Babi kecil yang dipelihara dan berkeliaran di sekitar kampung. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Sayangnya, saya lupa berkenalan dengannya ketika telah berpamitan. Saya pun melanjutkan langkah menuju satu rumah adat di Kampung Hobong yang disebut obe dengan melewati sekumpulan babi kecil yang sibuk bermain. 

Di obe, sudah berkumpul rombongan kami dari Pengurus Besar (PB) AMAN yang lantas disambut oleh para tetua adat dan perempuan adat di Kampung Hobong. 

Seorang perempuan adat yang tampak berusia lebih muda, berdiri di tengah untuk membuka pertemuan yang dimulai dengan doa yang dilontarkan kepada Tuhan, leluhur, dan alam serta ucapan terima kasih karena kami bisa dipertemukan. 

Seorang perempuan adat menghantarkan proses pertemuan. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Kampung Hobong akan menjadi salah satu tempat utama digelarnya Kongres Masyarakat Adat Nusantara (KMAN) pada Oktober 2022 nanti. Imajinasi saya tak sanggup membayangkan bagaimana meriahnya kelak acara itu. Sekitar lima ribu Masyarakat Adat dari seluruh Nusantara akan berkumpul di Kampung Hobong dan kampung-kampung lain di Danau Sentani. Tak terbayangkan kesibukan Masyarakat Adat di Tanah Tabi dalam mempersiapkan dan menyambut ribuan orang dengan keberagaman kebudayaannya. 

Tentu tak seperti Jakarta, keberagaman kebudayaan yang akan melebur di KMAN tersebut tak akan menghancurkan kebudayaan lain. Masyarakat Adat berkumpul jutru untuk merayakan keberagaman kebudayaan, mempererat persaudaraan, serta memastikan Masyarakat Adat dengan nilai-nilai luhurnya dan wilayah adatnya tetap utuh, terjaga, dan lestari. 

Perempuan adat dari Tanah Tabi. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Dua sosok kepala adat dari Tanah Tabi. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Saya tak ingin melewatkan kesempatan untuk memotret satu per satu tuan rumah. Saya mengawalinya dengan meminta izin. Tak ada pose bermacam-macam ala selebgram, biasa saja. Tapi, entah mengapa karakter yang muncul di kamera, tampak begitu kuat. Bukan, ini bukan idiom the man behind the camera karena saya hanyalah seorang amatir, tapi the people in front of the camera saja. Bulu kuduk saya merinding ketika melihat dan mengingat kembali mengapa foto-foto tersebut menjadi istimewa.

Hidangan tersaji usai seremoni. Ikan bumbu sambal balado dimakan bersama papeda yang disuap dengan sendok garpu panjang dari kayu. Ada lingkaran-lingkaran bubur pati sagu dalam ukuran kecil. Kami begitu menikmati hidangan mewah itu di siang yang terik. Sementara semua orang tengah menikmati lapar yang beradu dengan ikan dan papeda, saya masih tetap ingin sibuk mengambil gambar. 

“Sudah, Abang makan dulu,” bisik seorang lelaki di belakang saya. “Jangan foto-foto terus. Nanti ikannya habis.” 

“Iya, terima kasih. Sebentar saya pasti makan,” jawab saya sembari menoleh ke belakang. Rupanya laki-laki yang berbisik itu adalah laki-laki yang tadi membakar ikan di dermaga.

Makan bersama di rumah adat atau obe. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Kamera saya letakkan, sedangkan sendok dan piring saya angkat. Di hadapan saya, ada dua ikan besar untuk disantap bersama tiga teman lain. Tentu, mereka tak menunggu saya untuk makan bersama karena satu ikan sudah tinggal tulang. 

Tak lama kemudian, lelaki itu datang menghampiri saya, memberikan satu piring berisi mujair yang tadi dibakarnya. Saya menundukan kepala sebagai ucapan terima kasih. Itu membuat saya merasa sangat spesial karena diberikan ikan oleh lelaki itu. Tak pikir panjang, saya langsung menyantapnya sambil menengok sedikit mencari lelaki itu. Ternyata, ia sudah berdiri di halaman rumah untuk menikmati rokok dan mengamati kenikmatan orang-orang menyantap ikan. 

“Mari makan, Pak!” Saya berbasa-basi. 

“Sudah, silahkan!” Ketika melihat saya yang kesulitan memasukkan papeda ke mulut, ia berkata, “Dayung!” Maksudnya, gulung papeda dengan garpu. Istilahnya, bubur pati papeda itu didayung sebelum dilahap. 

Ia kemudian ikut duduk melingkar bersama keluarganya sembari memangku anak kecil. Saya menyapanya dan memotretnya kembali. Sambil memangku, ia mendayung papeda ke si bocah yang lantas bertepuk tangan senang. Siapa saja pasti gemas menyaksikan bocah yang tengah riang itu. 

Potret permukiman di pesisir pulau di Danau Sentani. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Perut yang kenyang memang menyenangkan. Tetiba, saya teringat kutipan dari puisi Wiji Thukul berjudul “Dalam Kamar 6 x 7 Meter” yang berbunyi: “Lapar memang memalukan!” 

Angin mulai terasa muncul beriringan dengan matahari sore. Kami pun berpamitan pulang untuk kelak kembali lagi pada Oktober tahun depan. Kami berucap terima kasih pada tetua dan warga, leluhur, dan alam semesta karena telah diberikan kesempatan mengunjungi Danau Sentani di Tanah Tabi, Papua. 

***