Oleh Tim Biro OKK AMAN Bali

Tenganan Pegringsingan  merupakan desa adat yang terletak di bagian Timur Pulau Bali. Desa adat seluas 917,2 hektar ini konon menurut cerita legenda merupakan pemberian Dewa Indra atas kesetiaan dan kepandaian Wong Peneges, leluhur orang Tenganan yang berasal dari satu wilayah di daerah Bedahulu, Gianyar Bali.

Ceritanya bermula dari kemenangan Dewa Indra atas pemerintahan otoriter Raja Mayadenawa yang menganggap dirinya sebagai Tuhan. Akibat peperangan yang terjadi, dunia dianggap leteh, kotor, sehingga perlu dilakukan upacara penyucian yang disebut Asvameda Yadnya.

Asvameda mengandung makna ‘kurban kuda’. Ketika itu, kuda yang akan dijadikan kurban persembahan adalah Oncesrawa milik Dewa Indra yang digambarkan sebagai kuda sakti berwarna putih dengan ekor hitam sampai menyentuh tanah, bertelinga panjang, dan muncul dari laut.

Namun, Oncesrawa melarikan diri ketika tahu dirinya akan dijadikan kurban. Dewa Indra kemudian mengutus Wong Peneges, prajurit kerajaan di daerah tersebut untuk mencari Oncesrawa. Rombongan dibagi dua, ke arah Singaraja dan Karangasem. Dari hasil pencarian, Oncesrawa ditemukan oleh rombongan Karangasem, namun sudah menjadi bangkai.

Kemudian, mereka memohon kepada Dewa Indra supaya diizinkan tinggal disekitar bangkai kuda karena kecintaan mereka pada Oncesrawa. Permohonan mereka dikabulkan, bahkan ditambah hadiah atas keberhasilan mereka menemukan Oncesrawa meski sudah mati. Hadiahnya wilayah seluas bau bangkai kuda tercium.

Selanjutnya, Wong Peneges memotong-motong bangkai kuda dan membawanya sejauh mungkin karena menginginkan wilayah yang luas. ‘Kecerdikan’ mereka diketahui Dewa Indra yang kemudian ‘turun’ untuk melambaikan tangan, sebagai tanda bahwa wilayah yang mereka inginkan sudah cukup luas. Wilayah itulah yang sekarang disebut Tenganan Pegringsingan.

Tenganan sendiri berasal dari kata “Tengen” yang berarti tangan kanan yang bersifat baik dan merupakan orang kepercayaan. Sama seperti Wong Peneges yang berasal dari kata “Wong” yang bermakna orang. Sementara, kata Peneges atau Penengen berarti pasti atau tangan kanan.

Penengen juga bisa diartikan dengan ilmu baik-baik. Sampai saat ini masih banyak yang menyebut Tenganan dengan ‘Tengenan’.

Versi lain mengatakan bahwa Tenganan berasal dari kata Ngetengahang yang artinya bergerak ke tengah dan semakin ke dalam. Menurut Usana Bali, Tenganan dulu berada di daerah pesisir pantai ujung. Namun karena terdesak oleh ikan pasut, rakyat Tenganan terus ke tengah sampai di desa Tenganan sekarang.

Sementara, Pegringsingan berasal dari kata Gringsing yaitu kain tenun ikat ganda khas Tenganan. Gringsing sendiri asalna dari kata Gring berarti sakit dan Sing berarti tidak diyakini dapat mengantisipasi dan menyembuhkan penyakit.

Tercatat Sejak Abad ke-11

Dalam Prasasti Ujung, keberadaan Tenganan sudah tercatat sejak abad ke-11. Prasasti ini dikeluarkan pada hari Sukra (Jumat) Umanis, Wara (pekan) Kelawu atau dua hari setelah purnama bulan Kartika (Kapat = Oktober) tahun Isaka 962 (1004 Masehi).

Desa adat Tenganan tidak dikenakan denda (dosa), termasuk dibebaskan dari kewajiban mengeluarkan ayam jago saat digelar Tajen, diluputkan dari kewajiban mempersembahkan banten penyucian (prayascitta) serta runtutannya untuk upacara pemujaan di bulan Magha.

Desa adat Tenganan Pegringsingan pernah mengalami kebakaran besar pada tahun 1841 (Isaka 1763). Bale Agung dan harta kekayaan desa yang tersimpan di dalamnya terbakar habis, termasuk awig-awig (aturan) desa. Awig-awig desa kemudian dituliskan kembali pada tahun 1842 (Isaka 1764), dan mulai diberlakukan kembali tahun 1925 (Isaka 1847).

Peristiwa terbakarnya Desa adat Tenganan Pegringsingan ini dicatat dalam awig-awig atau aturan desa adat Tenganan Pegringsingan pasal 24 dan pasal 25:

Pasal 24

“Dan saat terbakarnya desa di Tenganan Pegringsingan, termasuk tempat suci seperti Puseh, Bale Agung, sampai dengan surat awig-awig desa dan surat riwayat desa yang dipegang, dilaksanakan oleh orang desa di Tenganan Pegringsingan, semua habis terbakar pada hari Wrespati-Kliwon, wara Warigadian, pada hari titi panglong ping 7, sasih ka-10, rah 3, tenggek 6, Isaka 1763 (tahun Masehi 1841).”

Pasal 25

“Dan oleh karena habis terbakar surat awig-awig desa itu serta surat riwayat orang desa itu, oleh karena itu orang desa Tenganan Pegringsingan lalu menghadap ke Karangasem kepada I Gusti Made Karangasem, juga menghadap mohon restu kepada Ida Anake Agung (Raja Karangasem), I Gusti Gde Anglurah Karangasem, karena orang desa di Tenganan Pegringsingan perlu mohon izin ke Klungkung, kembali orang desa Tenganan Pegringsingan memohon surat awig-awig Desa Tenganan Pegringsingan kepada Ida Tjokorda (Raja Klungkung), I Dewa Agung Putra.

Hukum Adat

Hukum adat Masyarakat Tenganan Pegringsingan terdokumentasikan dalam awig-awig yang terdiri dari 61 pasal. Awig-awig yang ada saat ini dituliskan kembali oleh I Gde Gurit dari Klungkung karena dokumen aslinya terbakar tahun 1841 Masehi.

Awig-awig Tenganan Pegringsingan merupakan aturan yang sebagian besar isinya ditujukan untuk menjaga kelestarian alam dan kehidupan yang ada di dalamnya.

Kawasan Hutan

Kawasan hutan masyarakat Tenganan Pegringsingan, selain dilindungi juga dimanfaatkan sebagai daerah perkebunan atau tegalan masyarakat. Sebagian besar dikerjakan oleh penyakap (penggarap).

Luas kawasan hutan Tenganan Pegringsingan mencapai 583,035 hektar, yang berada di dataran tinggi dari permukiman. Perbukitan memiliki kemiringan rata-rata 40 persen sehingga dipandang perlu untuk dilindungi dan dimanfaatkan secara arif.

Kawasan hutan ini sejak adanya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) ada beberapa yang telah disertifikasi oleh pemilik pribadi dan ada juga yang dimiliki negara. Masyarakat Adat Tenganan Pegringsingan menyebutnya tanah GG (Government Ground). Padahal sejak dulu tanah yang ada di Tenganan Pegringsingan sebagian adalah milik pribadi dan sebagiannya lagi milik kelompok yang dibedakan atas druwen desa (milik desa adat), laba pura, dan milik sekeha (kelompok). Kesemuanya merupakan tanah ulayat di bawah kekuasaan desa adat dan kewajiban hukum adat