Oleh Nurdiyansah Dalidjo

Masyarakat Adat Dayak Simpang’k di Kalimantan Barat, punya ritual unik dalam melindungi komunitas dari wabah, yaitu Baangko. Upacara tersebut tampak selayaknya aktivitas pemanggilan roh leluhur dan pemberlakuan pantangan. Namun, lewat Baangko, Masyarakat Adat sedang menguatkan identitas asal-usul dan keterhubungannya dengan wilayah adat.

Kisah Leluhur dan Wabah

Dayak Simpang’k merupakan Masyarakat Adat yang tinggal Kecamatan Simpang Hulu dan Simpang Dua di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Mereka punya kisah terkait sejarah asal-usul yang terkait dengan situasi wabah di masa lalu. Cerita itu dikabarkan oleh Plorentina Dessy Elma Thyana. Pemuda adat yang akrab disapa Dessy itu berasal dari Desa Balai Pinang.

“Sebenarnya, asalnya bukan dari sini, tapi dulu itu Tamak Rawang, sekarang Kabupaten Kayong Utara, dekat Kabupaten Ketapang,” tutur Dessy melalui wawancara lewat sambungan telepon. “Dulu itu terjadi pandemi. Kemudian, pindah ke Gemuroh. Lalu, di sana juga terkena wabah cacar, kemudian pindah lagi. Orang kami dari Kabupaten Ketapang itu, pindah ke Bukit Pandong. Arwah hutan atau roh leluhur di hutan itu marah ada masyarakat yang melakukan kesalahan, sehingga terjadi dan kami pindah ke tempat yang sekarang.”

Dalam bahasa setempat, wabah dikenal dengan sebutan tampar. Masyarakat Adat Dayak Simpang’k pun masih melakukan tradisi yang diturunkan nenek moyang mereka. Setiap terjadi wabah, mereka meminta pertolongan roh leluhur dan kekuatan alam. Mereka meyakini bahwa alam tidak pernah mati dan mempunyai kekuatan. Kekuatan itulah yang dibangunkan melalui ritual dengan tujuan untuk menjaga mereka.

Dessy menggambarkan bagaimana hamparan pohon besar, kicauan burung-burung, serta aliran sungai berair jernih, masih dapat ditemukan di kawasan pedalaman wilayah adat mereka. Namun, seiring berjalannya waktu, “pembangunan” menggerus luasan hutan adat. Meski begitu, Masyarakat Adat Dayak Simpang’k masih berusaha mempertahankan yang tersisa.

Ritual Jaga Kampung dari Wabah

Ketika Covid-19 melanda, Masyarakat Adat Dayak Simpang’k ada yang justru mengungsi dengan tinggal sementara di ladang. Tanpa ada wabah, sesungguhnya berladang di sekitar hutan memang menjadi keseharian mereka. Tapi, dengan tinggal sejenak di ladang, mereka merasa lebih aman karena tidak berinteraksi dengan orang lain dan dikelilingi oleh obat-obatan dan makanan, baik itu yang mereka tanam sendiri maupun yang tumbuh liar di hutan yang mereka jaga.

Selain mengungsi ke ladang-ladang, mereka juga segera melakukan musyawarah bersama para tetua untuk lekas melakukan ritual membangunkan leluhur dan kekuatan alam.

“Sejak zaman nenek moyang, ketika terjadi wabah, kita pasti lakukan hal yang sama, yaitu ritual Baangko,” kata Dessy.

Perempuan yang di kampungnya aktif mengelola Sekolah Adat Arus Kualan itu menjelaskan secara detail tentang Baangko yang telah dilakukan Masyarakat Adat sejak awal pandemi terjadi tahun lalu.

“Kita membutuhkan roh leluhur, kekuatan alam, kekuatan spiritual di sekitar kita. Kita memanggil mereka untuk menjaga.” Dessy berkata kalau ritual tidak dilakukan di rumah, melainkan di Bukit Pandong, di mana terdapat bebatuan dan pepohonan yang dianggap sakral. “Di situ, kita bangunkan semuanya. Saya juga bertanya kepada tetua adat yang melakukan ritual itu apa arti dan makna ucapan yang mereka ucapkan ketika ritual. Tetua adat bilang, apa yang mereka katakan itu adalah doa dan cerita. Cerita dari awal bumi ini jadi sampai sekarang, diceritakan kembali agar mengingat bagaimana pohon-pohon ada spiritnya. Mereka akan dengarkan dulu kita punya koneksi dengan manusia. Jadi, ketika manusia sakit atau membutuhkan kita, kita harus membantu mereka.”

Baangko dipraktikkan secara bersama di hutan adat. Para tetua mempersiapkan ayam, beras, dan perlengkapan ritual lainnya. Selama ritual berlangsung, mereka sekaligus menetapkan pantangan yang harus dijalankan oleh masyarakat pada batas waktu tertentu. Selama Baangko diterapkan, atau selama wabah belum reda, warga mematuhi serangkaian larangan, seperti tidak boleh menggangu hutan, tidak membunuh beberapa binatang tertentu, atau tidak menyantap jenis tumbuhan dan hewan yang ditetapkan.

“Para tetua adat juga mengucapkan janji seandainya masyarakat tidak ada yang terjangkit penyakit, maka mereka akan memberikan balasan berupa makanan lengkap dengan tujuh ekor ayam,” ungkap Dessy. “Itu merupakan ucapan syukur yang kelak akan mereka haturkan. Selama wabah berlangsung, ritual untuk membangunkan leluhur pun dilakukan setiap seminggu sekali. Ritual Baangko sekaligus menjadi pengingat bagi Masyarakat Adat untuk mengenang kejadian bersejarah di masa lalu yang terhubung dengan asal-usul, di mana kepindahan Masyarakat Adat dahulu terjadi akibat wabah. Dan mereka punya pembelajaran untuk mengantisipasi masuknya wabah.”

Sebagai generasi muda, Dessy merasa ritual memiliki relevansi yang kuat dalam menangkal masuknya Covid-19 ke wilayah adat mereka. Sejumlah pantangan berhubungan erat dengan himbauan yang dianjurkan pemerintah maupun AMAN, termasuk menutup kampung. Melalui ritual tersebut, Dessy dan anak-anak muda lainnya pun belajar memahami sejarah leluhur mereka.

“Kita lihat ada juga kerja sama untuk menangkal pencegahan virus atau pandemi,” tambah Dessy.

***

Obrolan lebih lanjut dengan Plorentina Dessy Elma Thyana pada artikel ini, juga dapat didengar lewat siniar (podcast) Jelajah Nusantara edisi “Ritual Jaga Kampung dari Wabah” pada kanal Radio Gaung AMAN melalui website maupun Spotify