Oleh Fransiska Riski Varini

Masyarakat Adat Dayak Bakati' di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat (Kalbar)  mengadakan ritual Ngabahu Tiak atau Mantagut Tiak Bahu. Ritual tersebut dilakukan untuk memperbaiki tiak atau kayu belian (ulin) yang sudah diamplas dengan bentuk memanjang. Tiak kemudian ditanamkan di dalam tanah dan dipercaya sebagai tangga bagi naik dan turunnya nenek buyut dari kayangan ke bumi.

Ritual Ngabahu Tiak dilakukan oleh salah satu keluarga di Desa Balai Gemuruh, Kecamatan Subah pada 31 Juli 2022 lalu. Ritual itu dilaksanakan di rumah Pak Dalang yang merupakan cicit dari buyut terdahulu.

Tiak merupakan kayu belian yang tingginya kira-kira lebih dari dua meter dan ditanamkan ke tanah dengan bagian atas yang menjulang ke atas. Kayu itu juga diberi cat putih serta dipercaya sebagai sarana untuk naik dan turunnya buyut dari kayangan ke bumi.

Ritual tersebut dilakukan oleh anak dan cucu sebagai bukti bakti kepada buyut di kayangan dengan cara mengadakan ritual dan memperbaiki (memperbarui) tiak-nya. Seiring dengan berjalannya waktu, tiak lama dapat rapuh dan patah karena berbagai hal, misalnya angin kencang. Maka, pihak keluarga, yaitu dalam hal ini adalah Pak Dalang, melakukan perbaikan tiak dengan harapan mendapat berkat (tuah aji) yang diberikan kepada anak dan cucu seperti masa kejayaan mereka dahulu.

Menurut cerita, dahulu terdapat Kek Dawan dan Nek Tampuak yang merupakan orang terpilih yang menikah dengan orang kayangan. Yang menikah dengan Kek Dawan adalah Nek Timah Gantar, sedangkan Nek Tampuak menikah dengan Kek Takum Bauk. Nek Timah Gantar dan Kek Takum Bauk merupakan orang dari kayangan yang kemudian menikahi manusia di bumi. Oleh karena itu, mereka menjadi nenek moyang dari Pak Dalang dan keluarga.

Saat menikah di kayangan, Kek Dawan menjadi suami dari Nek Timah Gantar, sedangkan Nek Tampuak menjadi istri dari Kek Takum Bauk. Namun, saat di bumi, Nek Tampuak dan Kek Dawan merupakan pasangan suami dan istri. Oleh karena itu, Nek Tampuak dan Kek Dawan menjadi pasangan terkaya pada masanya di Kampung Ganeng, Dusun Sondong, Desa Balai Gemuruh, Kecamatan Subah, Kabupaten Sambas.

Mereka mendapat berkat dari kayangan berupa kekayaan yang tidak bisa habis atau disebut dengan barini'. Selain itu, ada pula hasil padi yang sangat melimpah, sehingga bisa menjadi pemasok atau penyedia padi terbesar untuk sebagian dari wilayah adat di Bengkayang (sebagian Sambas) sampai ke perbatasan Malaysia. Mereka pun berhasil membangkitkan kejayaan Kampung Ganeng kala itu. Bahkan, pada masa penjajahan, konon kedua pasangan tersebut menjadi salah satu pasangan yang dihormati dan disegani oleh para penjajah.

Zaman dahulu, penjajah (dari Jepang) pernah melakukan percobaan perampasan hasil padi. Namun, itu tidak pernah berhasil karena mereka tidak menemukan Kampung Ganeng yang menjadi tempat tinggal kakek dan nenek moyang. Upaya perampasan itu telah dilakukan berkali-kali, tetapi selalu gagal.

Pembagian daging babi (yang darahnya telah diambil untuk ritual) dan lemang usai ritual oleh pematek (kepala adat) kepada pihak keluarga dan lainnya. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Setelah melakukan ritual, seluruh keluarga yang ada di dalam rumah melakukan pantangan selama tiga hari dan samsam selama satu hari. Pantangan itu yaitu tidak boleh makan sayur hasil hutan, seperti pakis, jamur, pakis hijau, dan rebung. Sedangkan samsam, adalah melakukan keheningan dan tidak melakukan keributan di dalam rumah, termasuk tidak boleh membuka pintu atau menerima tamu dalam satu hari itu.

Pihak keluarga pun berharap semoga setelah melakukan ritual adat tersebut, mereka bisa mendapatkan berkat, rezeki, kesehatan, dan lainnya. Semoga anak dan cucu nanti juga bisa menjaga dan merawat tiak agar tidak rusak, sehingga berkat turun sampai anak dan cucu maupun generasi penerus keluarga.

***

Penulis adalah pemuda adat dari Komunitas Masyarakat Adat Dayak Bakati’ Subah sekaligus jurnalis rakyat dari Kalbar