Oleh Dirga Yandri Tandi

Komunitas Masyarakat Adat memiliki peran penting sebagai garda terdepan menjaga dan melestarikan budaya yang diwariskan nenek moyang di tengah pesatnya perkembangan zaman. Masyarakat Adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam di setiap komunitas dan wilayah adat dengan menjunjung tinggi nilai nilai sosial warisan leluhur.

Masyarakat Adat sejak dulu mengatur kebiasaan hidup mereka dengan hukum dan kelembagaan adat. Namun, hal tersebut tidak menjamin keberadaan Masyarakat Adat dari perampasan wilayah adat yang telah dijaga sejak zaman nenek moyang.

Maka diperlukan peraturan yang ditetapkan pemerintah dalam melindungi hak-hak dan wilayah Masyarakat Adat. Salah satunya Peraturan Daerah (Perda).

Hal inilah yang sementara diperjuangkan Pengurus Harian Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PD AMAN) Toraya. Saat ini tengah berjuang mendorong Perda Perlindungan dan Pengakuan Hak-Hak Masyarakat di Kabupaten Tana Toraja yang memiliki 21 wilayah adat.

Landscave alam di Toraya. Dokumentasi AMAN

Toraya memang dikenal sebagai salah daerah di Indonesia yang memiliki adat istiadat dan budaya yang unik. Falsafah hidup Masyarakat Adat Toraja "Misa' Kada Dipotuo, Pantan Kada Dipomate" yang artinya "Bersatu Kita Teguh, Bercerai Kita Runtuh".

Masyarakat Adat dari 21 Wilayah Adat di Tana Toraja tengah mendorong Perda Tentang Masyarakat Adat. Perda ini sudah cukup lama didorong PD AMAN Toraya. Berbagai upaya telah ditempuh PD AMAN Toraya untuk memperjuangkan perda ini. Di antaranya, pertemuan dilaksanakan di masing-masing wilayah adat, pemetaan, dan pembuatan profil wilayah adat, Fokus Group Diskusion (FGD) dengan DPRD Tana Toraja, Penyusunan Naskah Akademik.

Naskah akdemik Perda Masyarakat Adat telah disusun secara substantif tentang apa yang akan diatur dalam perda ini, mulai dari lembaga adat, wilayah adat dan hukum adat dalam melindungi hak-hak Masyarakat Adat.

Seperti, hak atas spititualitas, hak atas wilayahnya, hak atas kelembagaan adatnya dan semua hak-haknya yang asli.

Perda ini nantinya akan mengurai 7 krisis yang sedang dialami berdasarkan Toraya Ma'kombongan (Toraja Bermusyawarah) pada tahun 2012 lalu, salah satunya krisis budaya.

Bertolak dari 2012 lalu, Toraya sudah mengalami krisis budaya, sehingga dengan terbitnya perda perlindungan dan pengakuan Masyarakat Adat paling tidak mengurai 7 krisis yang dialami 12 tahun lalu.

Perempuan adat dari wilayah adat Bittuang, Agustina Pongmanapa mengatakan, Perda Masyarakat Adat sangat penting, sebab di situ akan mengikat aturan tentang Masyarakat Adat.  "Penetapan tentang perda Masyarakat Adat itu sangat penting," katanya.

Menurut dia, jika perda ini telah di tetapkan, maka ada pengangan untuk masyarakat tahu seperti apa adat itu sebenarnya.

"Mungkin selama ini tidak ada keterikatan, sehingga pengetahuan tentang kedisiplinan pengunaan dan perhargaan terhadap adat kita masih sangat minim. Siapa yang mau menghargai adat itu kalau bukan kita," terangnya.

Ia berharap perda ini segera ditetapkan, sehingga ada pengangan sumber pengetahuan tentang adat istiadat yang sebenaranya.

"Perda ini, bagaimana kita memahami dulu adat kita sebagai orang Toraja. Salah satu contoh berpakaian, itu harus dipahami tempat di mana, jangan sampai karena perkembangan modern jadi kita semaunya, yang penting tampil. Apaka ini sesaui dengan adat kita?" cetusnya.

Potret Masyarakat Adat di Toraya sedang melaksanakan ritual. Dokumentasi AMAN

Perda Masyarakat Adat Melindungi Ritual Adat

Rambu solo' merupakan upacara adat kematian orang Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju alam roh atau biasa disebut masyarakat Toraja 'Puya'.

Ritual pemakaman mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar sanak keluarga bagi masyarakat Toraja, terlebih bagi anggota keluarga yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. Bagi Masyarakat Adat di Toraja, 'Rambu solo' menunjukkan hubungan antar keluarga yang kekal dan tak terputus walaupun telah dipisahkan oleh kematian.

Ritual ini dapat dijumpai di semua wilayah adat yang ada di Tana Toraja. Rambu Solo' menjadi momentum bagi keluarga untuk mempererat kembali hubungang kekeluargaan.

Ma'badong merupakan salah satu bagian dari acara rambu solo'. Ma'badong sendiri adalah sebuah bentuk tradisional yang hanya boleh ditarikan dalam ritual pemakaman. Tarian ini berupa tarian tanpa musik yang di dalamnya berisi syair-syair pujian yang ditujukan kepada orang yang meninggal.

Tak sekadar pelantunan saja mengenai orang yang meninggal, namun lebih dari itu, Ma'badong juga menggambarkan sesuatu yang lebih dalam dari itu. Gambaran mengenai kebudayaan orang Toraja tergambar dalam ritual ini, antara lain nilai spiritual, nilai sosial hingga hubungan antar kelompok dalam Masyarakat Adat Toraja.

Dalam upacara adat Rambu Solo salah satu hewan yang dikorban yaitu Tedong. Tedong merupakan bahasa Toraja untuk kerbau. Kerbau merupakan hewan yang penting bagi masyarakat Toraja selain babi karena selain nilai ekonomisnya yang relatif tinggi, juga merupakan hewan yang digunakan dalam proses penyelenggaraan upacara adat.

Segala kebudayaan yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Toraja tak bisa dipisahkan dengan wilayah adat. Lestarisnya kebudayaan tersebut menjadi satu kesatuan dengan lestarinya wilayah adat. Kehadiran Perda Masyarakat Adat akan mampu melindungi wilayah adat dan melindungi kebudayaan yang dimiliki Masyarakat Adat.

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat Toraja