
Larangan Adat Efektif Melindungi Hutan Dari Krisis Iklim
17 September 2025 Berita Thata Debora AgnessiaOleh Thata Debora Agnessia
Sepetak hutan terhampar di tengah perkebunan sawit yang mendominasi lanskap Desa Tempayung, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.
Hutan yang masih lestari tersebut dipercaya masyarakat memiliki kekuatan magis. Tak ada yang berani merusaknya karena dikenal angker. Kepercayaan terhadap hal-hal yang mistis ini membuat hutan tetap lestari tanpa perlu campur tangan pemerintah atau regulasi formal.
Lencong, salah seorang pengurus adat Tempayung menyebut siapa yang berani merusak hutan akan mengalami musibah : nyawanya bisa melayang. Pria berusia 65 tahun itu menegaskan hutan tersebut sangat angker.
“Hutannya angker, siapa pun tidak boleh merusaknya. Kalau dilanggar, jiwa kita habis. Sudah banyak orang meninggal karena berani melawan pantangan itu,” ujar Lencong di Desa Tempayung pada Senin, 14 Juli 2025.
Meski terdengar mistis, larangan adat ini justru menjadi benteng terakhir keberlangsungan hutan. Ketika hampir seluruh lanskap Tempayung berubah menjadi hamparan sawit yang dikuasai perusahaan, hutan angker tetap berdiri tegak. Bagi Masyarakat Adat, keberadaan hutan bukan sekadar warisan leluhur, tetapi juga sumber air, kayu, dan keanekaragaman hayati.
Lencong menuturkan beragam aneka pepohonan masih tumbuh subur di hutan angker tersebut seperti bajakah, yang dikenal sebagai tumbuhan obat. Selain itu, ada juga sedikit rotan dan satwa burung punai, dandang, hingga tupai. Namun, satwa lain seperti kijang, pelanduk, dan landak nyaris hilang akibat menyempitnya ruang hidup.
Lencong mengatakan hutan di Tempayung ini masih terjaga dengan baik. Luasnya sekitar dua hektar. Kita bisa ambil kayu dalam jumlah terbatas dari hutan adat ini jika untuk tujuan yang baik, misalnya untuk membuat rumah dan berdoa.
“Tapi kalau niatnya merusak hutan, pasti ada akibatnya,” tandasnya.
Seorang perempuan sedang mendatangi lumbung padi di sekitar kawasan hutan Tempayung, Kalimantan Tengah. Dokumentasi AMAN
Kepatuhan Pada Larangan Adat
Lencong menyebut hutan yang ada di Tempayung bukanlah satu-satunya yang angker. Masih ada dua hutan lainnya yang angker seperti hutan Padang Bakan Mayang seluas 13 hektare dan hutan Mangkau seluas 5 hektare.
“Ada tiga hutan di Tempayung, semuanya angker. Ketiga hutan itu tidak pernah ada yang berani menggarapnya, meski disekelilingnya ada perusahaan sawit yang terus meluas,” ungkap Lencong.
Dikatakannya, kearifan adat menjaga hutan sesungguhnya memberi pelajaran berharga ditengah krisis iklim saat ini. Pada situasi ini, imbuhnya, kepatuhan pada larangan adat membuat hutan tetap lestari tanpa perlu aparat atau regulasi formal.
Menurut Lencong, pantangan itu telah diwariskan sejak nenek moyang mendirikan Tempayung. Disebutnya, kepercayaan pada hal yang gaib menjadi mekanisme sosial yang efektif untuk menjaga hutan tetap lestari, tanpa perlu regulasi formal.
“Takut pada pantangan sama artinya dengan menjaga keseimbangan hidup,” tukasnya.
Lencong menerangkan bagi Masyarakat Adat Dayak Darat di Tempayung, cerita tentang hutan angker bisa menjadi pintu masuk untuk memahami bagaimana tradisi leluhur sesungguhnya sejalan dengan agenda iklim global yakni melawan perubahan iklim.
“Saat dunia bicara soal reforestasi dan konservasi, Masyarakat Adat di pedalaman Kalimantan telah lama melakukannya lewat keyakinan, adat, dan rasa takut akan melanggar tabu,” ujarnya.
Lencong menambahkan melawan perubahan iklim tidak selalu harus dengan teknologi canggih. Kadang, yang dibutuhkan hanya mendengar, menghormati yang tak kasat mata, dan menjaga keseimbangan hutan sebagaimana yang diwariskan leluhur.
“Kalau tidak ada hutan disini, mungkin kampung kami sudah tenggelam oleh sawit,” kata Lencong.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Tengah