
Masyarakat Adat Langagedha di Flores Masih Menjaga Tradisi Leluhur
30 September 2025 Berita Simon WelanoOleh Simon Welano
Rumah adat berbentuk joglo berdiri kokoh di kampung adat Langagedha. Tidak banyak kendaraan yang melintas di perkampungan ini karena jaraknya yang jauh sekira 8 km dari pusat kota Kabupaten Ngada di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Kampung yang terletak di selatan Kota Bajawa ini masih menjaga tradisi dan merawat semua kekayaan warisan leluhur. Masuk ke perkampungan Langagedha ini serasa memasuki sebuah peradaban kuno yang berada di zaman modern.
Masyarakat Adat di perkampungan Langagedha sangat ramah dan miliki wilayah adat yang sangat luas mencakup tiga desa yakni Langagedha, Bomari dan Borani. Ketiga desa ini berada dalam wilayah adat Suku Keli, yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani dan peternak.
Kepala Suku Keli, Andreas Ruwe mengatakan semua tanah ulayat yang ada di wilayah adat sudah dikuasai oleh kepala suku sesuai dengan pembagian yang telah diwariskan oleh para leluhur. Karenanya, Masyarakat Adat tidak boleh melakukan aktivitas apa pun di atas tanah ulayat tanpa persetujuan dari kepala suku.
“Semua Masyarakat Adat diwajibkan untuk mentaati aturan adat yang ada, termasuk semua ritual adat yang dilakukan dalam satu tahun berjalan sesuai dengan kalender adat yang belaku,” kata Andreas pekan lalu.
Disebutkan, dalam kalender Masyarakat Adat Langagedha menganut 13 bulan dalam satu tahun. Ke-13 bulan tersebut adalah: Reba (Januari), Loge Nguza (Februari), Loge Waja (Maret), Ipu W’te (April), Ipu T’ke (Mei), Ipu Manu (Juni), Ngede Doko (Juli), Fanga Ze’e (Agustus), Fanga Zi’a (September), Pana (Oktober), Lalo Are (November), Vo’wo (Desember), Bui (Januari).
“Dari 13 bulan ini, ada bulan tertentu yang sakral untuk pelaksanaan ritual tahunan,” ucapnya.
Ritual Tolak Bala
Ritual tolak bala merupakan salah satu ritual adat yang dilakukan oleh Masyarakat Adat Langagedha dalam menghadapi serangan penyakit, baik penyakit tanaman, hewan maupun penyakit yang mengancam kehidupan manusia. Dalam satu dekade terakhir, ancaman bahaya berbagai penyakit yang datang menyerang komunitas Masyarakat Adat Langagedha hampir tidak pernah terjadi. Namun ada beberapa perubahan iklim yang mempengaruhi kehidupan Masyarakat Adat dan alam sekitarnya.
Menurut Fransiskus Wogha, sesepuh dan tokoh adat Langagedha, dalam 10 tahun terakhir tidak ada perubahan iklim yang berarti di dalam kehidupan Masyarakat Adat Langagedha. Namun perubahan iklim yang bersifat umum akibat dari Badai Seroja, wabah Covid-19 atau hama tanaman yang pernah menyerang petani kopi maupun petani sayur pernah terjadi.
“Kalau 10 tahun terakhir, perubahan iklim itu tidak ada. Kejadian yang diakibatkan oleh alam hanya terjadi pada tahun 1972. Itu karena hujan lebat sampai beberapa hari sehingga terjadi banjir,” terangnya.
Fransiskus menambahkan pada tahun 1969 juga terjadi gempa bumi akibat meletusnya Gunung Iya di Ende. Kemudian di 1992 terjadi lagi gempa bumi di seluruh Flores yang memakan korban cukup banyak.
Fransiskus mengatakan selain gempa bumi, tanaman milik Masyarakat Adat pernah diserang hama pada tahun 2018.
“Tanaman dadap yang menjadi pelindung kopi diserang hama jenis ulat yang mengakibatkan matinya dadap tersebut,” ujarnya.
Fransiskus melanjutkan saat ini pohon pelindung kopi atau dadap itu sudah tidak ada lagi di Langa. Para petani kopi telah menggantikan jenis tanaman pelindung kopi tersebut dengan menanam pohon sengon.
Tak hanya kopi yang diserang hama, sayuran juga. Akibatnya, tanaman sayur milik Masyarakat Adat Langagedha tidak berproduksi dengan baik.
“Para petani sayur mengalami gagal panen karena tanaman sayurnya diserang hama kutu yang membuat daun sayur kerdil dan membusuk. Hasil produksi sayur menurun dan petani mengalami kerugian besar saat itu,” tutur Wogha.
Untuk bisa menghentikan serangan hama dan penyakit tanaman ini, sebut Fransiskus, para petani melakukan ritual tolak bala. Mereka membuat sebuah perahu kecil, lalu didorong ke laut mengikuti aliran sungai untuk mengusir hama dan penyakit tanaman tersebut. Atau, bisa juga perahu kecil tadi dilarung ke dalam sebuah kolam sungai yang besar lalu dilempar dengan menggunakan tongkol jagung untuk larut bersama aliran sungai.
“Mendorong perahu kecil untuk larut bersama aliran sungai ini menunjukan bahwa semua hama penyakit tanaman telah diusir pergi bersama perahu yang membawanya hingga ke laut lepas dan tidak boleh datang kembali di kebun para petani yang ada di Langagedha,” jelas Wogha.
Masyarakat Adat sedang mengikuti ritual adat Reba di Langagedha. Dokumentasi AMAN
Pesta Adat Reba
Bagi Masyarakat Adat Langagedha, bulan Desember hingga Februari merupakan bulan yang sacral. Sebab, pelaksanaan ritual adat Reba akan dimulai dari bulan Desember dan berakhir pada puncaknya di Januari. Sedangkan pada bulan Februari, biasanya dilaksanakan tahapan akhir sebagai penutup dari semua pelaksanaan ritual Reba.
Seluruh Masyarakat Adat Langagedha, termasuk yang tinggal jauh di perantauan sudah mengetahui tentang pelaksanaan pesta adat Reba ini. Pada bulan yang telah ditetapkan untuk pelaksanaan pesta adat Reba, Masyarakat Adat telah mempersiapkan diri untuk turut hadir dalam pelaksanaan pesta adat tahunan tersebut.
Arnold Seragera selaku pemerhati adat dan budaya Langagedha, menerangkan pesta adat Reba dilaksanakan sebagai bentuk ucapan syukur Masyarakat Adat kepada Sang Pencipta Semesta Raya dan alam raya beserta isinya. Bentuk ucapan syukur itu diwujudkan dalam keharmonisan, keseimbangan, keselarasan dan kedamaian dalam hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan alam dan Leluhur, serta manusia dengan manusia yang ada di sekitarnya.
Arnold mengungkapkan didalam pelaksanaan pesta adat Reba; orang-orang akan melakukan silahtuhrami, kunjung mengunjungi keluarga dan kerabat maupun kenalan sambil menikmati semua hidangan makanan yang telah disajikan. Setiap orang yang datang mengikuti pesta adat ini, dapat berkunjung dari rumah ke rumah dan diwajibkan untuk menyantap makanan dan minuman yang telah disiapkan oleh tuan rumah sebagai simbol kebersamaan, pengucapan syukur atas panen yang dihasilkan dari tanah warisan leluhur. Selain itu, sebagai wujud penghargaan terhadap makanan dan minuman yang telah disiapkan dan penghormatan terhadap Sang Pencipta, Alam dan Leluhur yang telah memberikan kelimpahan hasil panen dalam waktu setahun.
“Pesta Adat Reba memiliki kekuatan yang besar untuk menggerakkan hati setiap orang Bajawa maupun Langagedha untuk mengingatkan kembali kampung halamannya. Orang- orang Bajawa yang jauh dari kampung halamannya atau di perantauan dapat pulang ke kampung halamannya untuk secara bersama-sama merayakan pesta adat ini,” tuturnya.
Arnold mengatakan pesta Reba merupakan momentum adat yang diselenggarakan setahun sekali sehingga anggota Masyarakat Adat yang berada di tanah rantau pun akan segera pulang untuk merayakan kebersamaan ini sebagai tanda kecintaan seseorang terhadap kampung halamannya.
“Karena kecintaan kita terhadap kampung halaman, maka dengan sendirinya nurani kita tergerak untuk segera kembali ke kampung agar bisa berkumpul bersama merayakan pesta adat Reba ini,” tutupnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Nusa Tenggara Timur