Oleh Muhammad Alfath

Perubahan iklim telah mengubah pola hidup Masyarakat Adat Cawangan di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Masyarakat Adat ini menunjukkan caranya beradaptasi dengan alam ketika terjadi perubahan iklim melalui pengetahuan lokal yang diwariskan leluhur.

Dalam dua dekade terakhir, perubahan iklim membawa tantangan baru di komunitas Masyarakat Adat Cawangan : suhu meningkat, musim hujan menjadi tidak menentu, serangan hama semakin sering terjadi. Tanaman sayur yang dulunya mudah tumbuh kini sering gagal panen karena layu, busuk, atau terserang penyakit.

Kondisi ini mendorong Masyarakat Adat untuk beradaptasi dengan mengubah jenis tanaman yang dibudidayakan. Kopi dan pala menjadi pilihan baru yang dianggap lebih tahan terhadap suhu panas dan fluktiasi cuaca.

Hera Lena, salah seorang perempuan adat Cawangan mengatakan kedua tanaman ini harganya lebih stabil saat terjadi perubahan iklim.  Kita tidak harus was-was seandainya gagal panen karena musim hujan dan kemarau yang tidak menentu.

Hera menambahkan dengan beralih ke tanaman kopi dan pala, Masyarakat Adat tidak hanya menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan, tetapi begitulah cara mereka menyiasati perubahan iklim di kampung.

Diakuinya, Masyarakat Adat kerap mengalami kesulitan air bersih ketika tiba musim kemarau. Namun, yang paling dirasakan oleh Masyarakat Adat Cawangan adalah ketika musim hujan dan suhu panas yang tidak menentu.

“Situasi ini menjadi ancaman bagi Masyarakat Adat yang berkebun sayuran,” ungkapnya pada Sabtu, 25 Oktober 2025.

Hera menyatakan dulunya, Masyarakat Adat Cawangan adalah petani sayur atau tanaman yang bisa dipetik hasilnya dalam hitungan bulan seperti cabe, tomat, dan jagung.  Kini, mayoritas Masyarakat Adat berganti ke tanaman kopi dan pala, karena dirasa lebih tahan terhadap suhu dan cuaca yang tak menentu.

Ishak, seorang Masyarakat Adat Cawangan lainnya menceritakan awal mula pergeseran komoditas pertanian ini dimulai. Dulu, katanya, kopi tidak banyak, hanya untuk kebutuhan konsumsi keluarga. Tapi karena dilihat aman-aman saja dan buahnya ada terus, harganya juga bagus, maka banyak  masyarakat yang  menanam kopi.

Ishak menyebut hingga 10 tahun terakhir, hampir seluruh Masyarakat Adat Cawangan beralih tanam kopi dan pala. Dipopulerkan oleh petani generasi muda.

Dikatakannya, kisah Masyarakat Adat Cawangan yang beralih dari sayur ke kopi dan pala adalah potret nyata tentang daya lenting (resistensi) Masyarakat Adat terhadap perubahan iklim.

“Adaptasi bukan sekedar bertahan hidup, tetapi juga kemampuan untuk membaca tanda-tanda alam dan mengambil keputusan bijaksana demi keberlangsungan masa depan,” jelasnya.

Masyarakat Adat Cawangan beralih ke tanaman kopi. Dokumentasi AMAN

Menanam Bambu di Hulu Sungai

Masyarakat Adat Cawangan punya kebiasaan menanami hulu sungai dengan bulei atau bambu. Penanaman bambu di hulu sungai memiliki makna ekologis yang mendalam bagi komunitas Masyarakat Adat Cawangan. Selain airnya menjadi sumber kehidupan, penanaman bambu di hulu sungai juga dapat mencegah bencana longsor, banjir, dan kekeringan di wilayah hilir.

Masyarakat Adat Cawangan memiliki cara sendiri dalam menjaga keseimbangan alam dengan manusia. Mereka tidak hanya melihat alam sebagai sumber penghidupan, tetapi juga sebagai bagian dari kehidupan yang harus dijaga dan dihormati.

Salah satu kearifan lokal yang mereka praktekkan adalah tradisi menanam bambu di kawasan hulu sungai (Ulu Bioa). Bagi Masyarakat Adat, bambu bukan sekadar tanaman biasa, melainkan simbol keseimbangan, sumber pangan, dan bahan kehidupan sehari-hari.

Ishak mengatakan dengan menanami hulu sungai menggunakan bambu, Masyarakat Adat secara tidak langsung menjaga kualitas dan ketersediaan air untuk generasi berikutnya. Tindakan ini mencerminkan hubungan yang harmonis antara manusia dan alam, sebagaimana tertanam dalam nilai-nilai adat mereka.

“Akar bambu yang kuat berfungsi menahan erosi tanah dan menyerap air hujan, membantu menjaga kejernihan air sungai,” terangnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bengkulu

Writer : Muhammad Alfath | Bengkulu
Tag : Masyarakat Adat Cawangan Beradaptasi Dengan Alam Perubahan Iklim