 
													Masyarakat Adat Kayuogu Mengalami Serangkaian Bencana Akibat Perubahan Iklim
31 Oktober 2025 Berita Imanuel KalohOleh Imanuel Kaloh
Masyarakat Adat Kayuogu di Kecamatan Pinogaluman, Kabupaten Bilang Mongondow Utara, Sulawesi Utara tengah berjuang menghadapi serangkaian bencana yang disebabkan perubahan iklim.
Serangkaian bencana, mulai dari banjir bandang, kemarau panjang , hingga krisis air bersih telah melanda komunitas adat Kayuogu sejak tahun 1990-an hingga mengancam kelangsungan hidup Masyarakat Adat.
Djarna Patilima, tetua adat di komunitas Kayuogu, belum bisa melupakan kenangan banjir dahsyat yang melanda Kayuogu pada tahun 1990. Banjir kiriman dari hulu sungai merendam perkampungan Kayuogu setinggi pusar orang dewasa. Peristiwa banjir ini masih terpatri jelas dalam ingatan para sesepuh adat.
“Sebelumnya, kami tidak pernah mengalami banjir separah itu," ungkap Djarna Patilima pada Selasa, 28 Oktober 2025.
Djarna menyatakan peristiwa banjir itu bukan hanya merendam puluhan rumah dan menghancurkan lahan pertanian, tetapi juga memaksa Masyarakat Adat untuk mengubah pola pikir dan gaya hidup mereka.
Sebelum 1990, sebagian besar Masyarakat Adat Kayuogu menggantungkan hidup pada hasil hutan dan sungai. Namun, banjir bandang telah mengubah lanskap wilayah tersebut, memaksa mereka untuk beralih profesi menjadi petani. Perubahan ini, meski membawa harapan baru, juga memicu berbagai permasalahan lingkungan, salah satunya adalah perambahan hutan untuk membuka lahan pertanian.
Selain ancaman banjir, komunitas Masyarakat Adat Kayuogu juga harus menghadapi masalah kekeringan yang semakin sering melanda. Pada tahun 2022, kemarau panjang menyebabkan bendungan yang menjadi sumber pengairan utama bagi lahan pertanian mengering.
"Saat itu, kami mengalami kesulitan air bersih hingga air sungai mengering," tutur Anhard Daud, seorang pengurus adat yang juga berprofesi sebagai petani.
Anhard menjelaskan kondisi kekeringan yang terjadi saat itu memaksa Masyarakat Adat untuk menggali sumur lebih dalam demi mendapatkan air tanah. Namun, debit air sumur pun semakin menipis, dan hanya bisa dimanfaatkan pada pagi hari. Akibatnya, krisis air bersih yang terjadi di komunitas berdampak pada kesehatan Masyarakat Adat, terutama anak-anak dan lansia.
Masyarakat Adat bisa bernafas lega, ditengah situasi yang sulit datang bantuan dari pemerintah. Pemerintah menyalurkan bantuan berupa air PDAM dan sumur bor, sehingga sebagian besar Masyarakat Adat kini memiliki akses terhadap air bersih.
"Sekarang sudah mudah mendapatkan air karena sudah ada air PDAM milik pemerintah," ujar Amran Lahilote, seorang tokoh Masyarakat Adat yang aktif dalam kegiatan sosial.
Amran mengakui bantuan tersebut belum sepenuhnya mengatasi masalah kekeringan. Masih banyak Masyarakat Adat yang kesulitan mendapatkan air bersih, terutama pada musim kemarau. Selain itu, imbuhnya, kualitas air PDAM juga menjadi perhatian karena sebagian masyarakat mengeluhkan air yang keruh dan berbau.
Hutan Sudah Tidak Ada
Santi Abasi, seorang ibu rumah tangga, mengatakan salah satu faktor utama yang memperparah krisis air di komunitas Masyarakat Adat Kayuogu adalah hilangnya hutan. Menurut Santi, hutan di sekitar Kayuogu sudah tidak ada sejak awal 2000-an.
"Hutan dibuka untuk lahan pertanian secara komunal," jelasnya.
Santi juga menerangkan perambahan hutan telah menyebabkan erosi tanah, berkurangnya resapan air, dan perubahan iklim mikro yang semakin ekstrem. Dampaknya, banjir dan kekeringan menjadi lebih sering terjadi, dan suhu udara semakin panas.
Pencemaran Lingkungan
Selain masalah air, komunitas Masyarakat Adat Kayuogu juga menghadapi tantangan terkait pencemaran lingkungan. Sebagian besar rumah tangga sudah memiliki WC dari bantuan pemerintah. Namun, masih ada sekitar 30 kepala keluarga yang belum memiliki fasilitas sanitasi yang layak.
"Warga yang memiliki WC, juga memiliki penampungan septiktank tapi tidak langsung dialiri ke sungai," kata Maskun Usman, seorang petani di Kayuogu.
Dikatakannya, sejauh ini pencemaran air sungai akibat limbah domestik dan pertanian masih menjadi masalah serius bagi mereka. Hal ini berdampak pada kesehatan masyarakat, terutama anak-anak yang rentan terhadap penyakit diare dan infeksi kulit.
Mencari Solusi
Masyarakat Adat Kayuogu menyadari bahwa masalah air dan lingkungan yang mereka hadapi membutuhkan solusi yang komprehensif dan berkelanjutan. Mereka berharap pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta dapat berkolaborasi untuk mengatasi masalah ini.
Selain itu, peningkatan kesadaran Masyarakat Adat tentang pentingnya menjaga lingkungan juga menjadi kunci utama. Masyarakat Adat perlu diedukasi tentang cara mengelola sumber daya air secara bijak, mengurangi penggunaan bahan kimia dalam pertanian, dan menjaga kebersihan lingkungan.
Maskun menyatakan kearifan lokal dapat menjadi solusi yang efektif. Masyarakat Adat Kayuogu memiliki pengetahuan tradisional tentang cara mengelola hutan dan sumber daya air secara berkelanjutan. Menurutnya, pengetahuan ini perlu dilestarikan dan diintegrasikan dalam upaya pelestarian lingkungan.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Maskun mengakui bahwa Masyarakat Adat Kayuogu memiliki harapan besar untuk masa depan yang lebih baik. Mereka ingin melihat Kayuogu menjadi sebuah komunitas yang lestari, di mana air bersih tersedia untuk semua, hutan kembali hijau, dan Masyarakat Adat hidup sehat dan sejahtera. Namun, akunya, tantangan yang dihadapi untuk mewujdukan hal itu tidaklah mudah.
“Perubahan iklim yang semakin ekstrem, tekanan ekonomi yang semakin meningkat, dan kurangnya kesadaran lingkungan menjadi hambatan utama,” pungkasnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Utara
 
		 
				.jpeg) 
				 
				.jpeg) 
				