
Menjaga Warisan Budaya Sumba: Antara Kerajinan, Regenerasi dan Harapan
24 May 2025 Umbu Remu Ch. Nusa MesaOleh Umbu Remu Ch. Nusa Mesa
Lanskap Sumba yang mempesona—dari bukit-bukit savana hingga pantai berpasir putih—berpadu dengan kehidupan Masyarakat Adat yang masih memegang erat tradisi leluhur, membuat daerah yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Timur ini menjadi salah satu pulau terindah di dunia.
Mengunjungi Sumba seolah menembus jendela waktu, di mana megalitikum dan gaya hidup sederhana masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Namun, keindahan Sumba tak hanya terpancar dari alam dan arsitektur rumah adatnya. Seni dan budaya juga menjadi denyut nadi pulau ini. Tarian tradisional, alat musik, hingga berbagai kerajinan tangan mencerminkan kekayaan identitas yang diwariskan secara turun-temurun.
Salah satunya adalah Tari Kataga, tarian kemenangan yang dulunya ditampilkan setelah peperangan. Tarian ini tak bisa dilepaskan dari atribut khas seperti laba (ikat kepala berbentuk tanduk), toda (tameng), keleli wihi (giring-giring di kaki), parang, serta kain tradisional. Tarian ini juga diiringi oleh bunyi gong dan laba (tambur dari kulit hewan). Semua dibuat dengan tangan oleh para pengrajin tradisional.
Tidak Ada Penerus
Sayangnya, ada kekhawatiran yang terus menghantui: para pengrajin ini kian menua, sementara penerus dari kalangan muda nyaris tak ada. Jika tak ada yang melanjutkan, budaya ini bisa perlahan menghilang—bukan karena dilupakan, tetapi karena tak lagi dipraktikkan.
Salah satu pengrajin yang masih aktif menjaga warisan ini adalah Opa Ngadang, yang akrab disapa Nenga. Ia adalah Masyarakat Adat dari komunitas Makatakeri yang tinggal di kampung Kabondok, Desa Makatakeri, Kecamatan Katikutana, Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur.
Sehari-harinya, Nenga membuat toda, tameng tradisional yang terbuat dari kulit kerbau kering dan dilingkari rotan hutan. Proses pembuatannya tergantung cuaca mengingat semua prosesnya masih dilakukan secara alami. Jika cuaca cerah, proses ini memakan waktu sekitar satu minggu. Namun, saat hujan, bisa jauh lebih lama.
Potret tangan Nenga mengajarkan anak-anak menganyam. Dokumentasi AMAN
Nenga adalah satu-satunya pengrajin yang masih membuat perlengkapan tari dan alat musik tradisional. Ia menyadari betul bahwa perjuangannya menjaga budaya tidak bisa dilakukan seorang diri. Namun, tantangan terbesarnya adalah ketidaktertarikan generasi muda.
“Sekarang anak muda lebih tertarik mempublikasikan budaya di media sosial. Tapi, mencintai budaya tidak cukup hanya dikenalkan lewat foto atau video. Budaya harus dipelajari, diajarkan, dan dilanjutkan,” ungkapnya.
Nenga menambahkan, meskipun ia sering mengajak anak-anak muda belajar membuat toda, sebagian besar menyerah di tengah jalan. Padahal, menurutnya, selain menjaga warisan leluhur, keterampilan ini bisa menjadi sumber penghasilan karena masih banyak yang mencari atau memesan perlengkapan tradisional.
Hal serupa juga dirasakan oleh Rambu Bangi, seorang nenek pengrajin anyaman bola padaungu pamama, tempat sirih pinang khas Sumba. Anyaman buatannya dikenal karena motif dan ketelatenannya. Banyak orang datang ke rumahnya untuk memesan bentuk dan pola tertentu. Namun, ia menghadapi dua masalah besar: tidak ada penerus, dan bahan baku makin sulit didapat.
“Saya suka membuat anyaman, sudah seperti hobi,” ujarnya. “Tapi kadang saya berhenti karena bahannya habis. Kami sekarang dilarang masuk hutan, katanya itu kawasan Taman Nasional. Mau tidak mau saya beli dari pedagang, tapi kualitasnya beda,” lanjutnya.
Rambu pun menyimpan kekhawatiran serupa dengan Nenga. “Kadang saya sedih. Saya bertanya-tanya, nanti siapa yang bisa meneruskan? Siapa yang bisa mempelajari teknik anyaman saya?,” katanya bertanya dengan nada lirih.
Berharap Ada Regenerasi
Nenga dan Rambu berharap agar generasi muda menaruh minat terhadap kerajinan tradisional. Sebab, jika bukan anak muda dari tanah sendiri, siapa lagi yang akan menjaga budaya ini?
Masalah regenerasi pengrajin adalah persoalan mendesak yang kerap luput dari perhatian. Padahal, kelestarian budaya bukan hanya soal mempertahankan tarian dan lagu, tetapi juga keberlangsungan tangan-tangan yang menciptakan instrumen dan perlengkapannya.
Permasalahan yang dihadapi Masyarakat Adat saat ini bukan semata tentang perampasan wilayah atau kriminalisasi, tetapi budayanya juga terancam punah karena tidak ada yang meneruskan.
Modernisasi adalah keniscayaan. Tapi yang lebih penting, regenerasi harus menjadi bagian dari gerakan pelestarian. Jika tidak, suatu saat generasi muda akan menjadi turis di kampungnya sendiri, asing terhadap budaya yang seharusnya diwarisi.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sumba, Nusa Tenggara Timur