Oleh Tim Infokom

Mahkamah Konstitusi (MK) mempertanyakan bukti adanya keterlibatan publik dalam sidang lanjutan Uji Formil Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) pada Selasa, 6 Mei 2025.

Pertanyaan ini disampaikan oleh Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra saat menanggapi keterangan saksi dari pemerintah yang menyebut masukan publik sudah dihimpun dan keberadaan Masyarakat Adat sudah dimasukkan dalam penjelasan umum UU KSDAHE. Saldi menilai keterangan saksi tersebut tidak disertai bukti yang cukup.

“Apakah naskah akademik itu pernah diberikan kepada para ahli ? Di mana buktinya ? Apakah ada risalah atau dokumen resmi ?,” tanya Saldi saat memimpin sidang lanjutan Uji Formil UU KSDAHE di Mahkamah Konstitusi, Selasa (6/5/2025).

Dalam sidang lanjutan ini,  MK mendengarkan keterangan saksi dari pemerintah yakni Bambang Hendroyono, yang saat proses legislasi berlangsung menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Bambang mengklaim bahwa pemerintah telah menjalankan proses legislasi secara terbuka dan akuntabel, termasuk dalam menyusun Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan membahas pasal-pasal penting seperti ketentuan pidana dalam Pasal 40. Ia menyebut bahwa masukan publik sudah dihimpun dan keberadaan Masyarakat Adat sudah dimasukkan dalam penjelasan umum UU KSDAHE.

Namun, pernyataan Bambang ini berbeda dengan kesaksian dari saksi ahli pemerintah yang lain yaitu Rinekso Soekmadi. Ia menyatakan hanya menerima naskah akademik dari DPD.

Sontak saja, keterangan yang berbeda ini menimbulkan pertanyaan dari Mahkamah Konstitusi, sembari menegaskan bahwa keterangan saksi dari pemerintah tidak disertai bukti yang cukup. .

“Pemerintah belum memenuhi pembuktian materiil,” tegas Saldi Isra.

Pemohon dalam sidang MK Uji Formil UU KSDAHE. DOkumentasi AMAN

Hakim Konstitusi Kritik Sikap Pemerintah

Dalam sidang  sebelumnya yang digelar 2 Mei 2025, Saldi juga mengkritik sikap pemerintah yang seolah menganggap proses legislasi telah selesai tanpa pembuktian cukup.

“Susahnya pemerintah ini, kita minta dilengkapi, ditambah-tambahkan, rupanya sudah selesai saja Undang-Undang-nya,” ujarnya.

Dalam sidang lanjutan pada 2 Mei kemarin,  Mahkamah Konstitusi mendengarkan kesaksian dari pihak pemohon, yakni Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Dua orang saksi yang dihadirkan adalah Putu Ardana dari Masyarakat Adat Tamblingan, Bali dan Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC).

Putu Ardana dalam kesaksiannya menceritakan pengalamannya saat hadir dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan anggota DPR RI pada 10 April 2023.

Putu mengaku kecewa sebab saat itu hanya diberi waktu sepuluh menit untuk paparan, dan tidak ada satu pun tanggapan dari mereka.

“Sedihnya lagi, setelah Rapat Dengar Pendapat tersebut tidak pernah ada informasi lanjutan hingga akhirnya UU KSDAHE disahkan,” paparnya.

Sementara,  saksi Arif Adiputro menyoroti buruknya transparansi DPR dalam proses penyusunan Undang-Undang.

“Draft naskah akademik dan masukan publik tidak diumumkan di website DPR. Dari total 48 rapat, hanya ada empat laporan singkat yang dipublikasikan. Catatan rapat dan risalah sama sekali tidak tersedia,” jelasnya.

Arif menambahkan bahwa hal ini bertentangan dengan prinsip partisipasi bermakna:  hak untuk tahu, didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan.

Sekjen AMAN dalam sidang MK uji formil UU KSDAHE. Dokumentasi AMAN

Kritik Dari Sekjen AMAN

Kritik yang sama disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi. Ia mengatakan ada 20 lebih sidang yang diagendakan dengan 3 sidang terbuka dan 18 sidang tertutup dalam persidangan uji formil UU KSDAHE di Mahkamah Konstitusi. Namun, dari persidangan terungkap nyatanya tidak ada keterlibatan penuh dan efektif dari Masyarakat Adat.

“Undang-Undang ini tentang nasib kita Masyarakat Adat, maka kita perlu ikut memutuskannya,” tegasnya.

Rukka menambahkan bahwa UU KSDAHE jelas-jelas gagal menjamin prinsip partisipasi penuh dan efektif. Padahal,  Masyarakat Adat adalah garda terdepan dalam upaya konservasi.

Menanggapi kritik ini, Direktur Jenderal KSDAHE Satyawan Pujiatmoko menyebut bahwa pemerintah telah mengikuti sejumlah diskusi publik yang diinisiasi DPR. Ia juga menyebut telah melakukan diskusi informal dengan akademisi, pengusaha konservasi, dan lembaga konservasi. Namun, akunya, penjelasan pemerintah tersebut masih dianggap belum cukup menjawab pertanyaan mendasar dari Hakim Konstitusi, terutama terkait akses dokumen dan pelibatan publik secara formal.

Writer : Infokom AMAN | Jakarta
Tag : UU KSDAHE MK