
Doa Bersama, Gereja dan Masyarakat Adat Minta Presiden Tutup TPL
19 Agustus 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Ribuan jemaat Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bersama tokoh lintas gereja, Masyarakat Adat dan aktivis lingkungan menggelar acara “Doa Bersama Merawat Alam Tano Batak” di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat pada Senin, 18 Agustus 2025.
Acara yang dimulai dengan long march dari kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) ini menjadi momentum spiritual sekaligus politik moral dalam menyelamatkan Danau Toba dan Tano Batak dari krisis ekologis.
Ephorus HKBP Pdt. Victor Tinambunan menerangkan kegaiatan doa bersama ini merupakan bentuk keprihatinan mendalam gereja terhadap kerusakan lingkungan di Tano Batak. Ia menyebut perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) sebagai sumber persoalan harus segera dihentikan operasinya.
Dikatakannya, mereka tidak bisa beribadah di balik tembok gereja, sementara tanah leluhur di Tano Batak terus dirusak. Victor menegaskan gereja terpanggil bersama Masyarakat Adat untuk menyerukan agar TPL ditutup.
“Kami meminta Presiden Prabowo Subianto mendengar seruan ini dan segera menghentikan operasional TPL demi menyelamatkan Danau Toba dan kehidupan Masyarakat Adat,” ujarnya di acara doa bersama.
Victor menjelaskan doa bersama ini menjadi momentum penting kolaborasi gereja dan Masyarakat Adat dalam memperjuangkan keadilan ekologis. Dikatakannya, melalui acara doa bersama ini mereka ingin menyampaikan pesan bahwa krisis lingkungan di Tano Batak, bukan hanya isu ekologis melainkan persoalan iman, identitas, dan keberlangsungan generasi.
Victor menambahkan doa bersama ini juga memperlihatkan bahwa suara gereja, melalui HKBP dan PGI, kini berdiri sejalan dengan Masyarakat Adat untuk menghadapi dominasi perusahaan ekstraktif.
“Kemerdekaan sejati bangsa harus diwujudkan dengan melindungi tanah leluhur, air, udara, dan hutan sebagai warisan bersama,” tegasnya.
Ketua Umum PGI Pdt. Jacky Manuputi juga menekankan gereja tidak boleh berdiam diri ketika alam mengalami kehancuran. Ia menegaskan mimbar gereja sejatinya ada di tengah kehidupan, bersama suara ciptaan yang terluka.
“Mimbar gereja sejatinya berada di tengah alam, di bawah langit terbuka, di antara suara burung dan gemericik air. Jika mimbar tidak berbicara tentang bumi yang terluka, ia kehilangan relevansinya,” tegasnya.
Jacky menerangkan surga adalah janji, tetapi bumi adalah panggilan. Kita dipanggil bukan untuk menaklukkan ciptaan, melainkan memeliharanya. Karena itu, kata Jacky, gereja harus berani berkata tidak kepada perusahaan yang meracuni air, membakar hutan dan mengorbankan hidup masyarakat demi keuntungan sesaat.
Ia menambahkan sejak lama PGI berdiri bersama Masyarakat Adat di Tano Batak dalam menghadapi perusahaan ekstraktif.
“Gereja dipanggil untuk menjadi kekuatan penyembuh di tengah luka ekologis,” tandasnya.
Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi sedang menandatangani seruan bersama : Tutup TPL. Dokumentasi AMAN
Sekjen AMAN Serukan Tutup TPL
Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi turut menyampaikan orasinya dalam acara doa bersama. Ia bersuara lantang di acara doa bersama tersebut dengan menyerukan pekikan : “Tutup TPL !”. Sontak, pekikan tersebut disambut gemuruh peserta doa bersama. Rukka menegaskan krisis Danau Toba yang terjadi saat ini hanya bisa dipulihkan jika tanah adat dikembalikan kepada Masyarakat Adat.
Rukka mengatakan Bona Pasogit adalah titipan leluhur, titipan yang harus kita jaga agar bisa kita wariskan kembali kepada generasi mendatang. Tanah leluhur adalah identitas Bangso Batak, yang tidak boleh dirusak. Rukka menerangkan untuk memulihkan Danau Toba yang kondisinya sedang tidak baik, tidak bisa dipulihkan hanya dengan menanam pohon. Namun pemulihannya harus dengan mengembalikan seluruh wilayah adat kepada pemilik sesungguhnya: Masyarakat Adat.
“Danau Toba hanya bisa dipulihkan jika TPL angkat kaki dari sana dan kembalikan wilayah adat kepada Masyarakat Adat,” tegasnya.
Rukka menutup orasinya dengan seruan bahwa kemerdekaan sejati Masyarakat Adat tidak akan tercapai selama TPL masih bercokol di Tano Batak.
“kita harus sepakati bahwa Masyarakat Adat baru benar-benar merdeka jika berdaulat, mandiri, dan bermartabat. Itu tidak mungkin tercapai kalau TPL masih menguasai tanah leluhur. Tutup TPL...Tutup TPL....Tutup TPL !,” serunya yang disambut pekikan peserta.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tano Batak, Sumatera Utara