
AMAN Soroti Cacat Formil Undang-Undang Konservasi : Tidak Ada Partisipasi Masyarakat Adat
08 Mei 2025 Berita Infokom AMANOleh Tim Infokom AMAN
Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat dan Koalisi Konservasi Berkeadilan menggelar acara media briefing bertajuk “Uji Formil UU KSDAHE & Pentingnya Pengakuan serta Perlindungan Masyarakat Adat” di rumah AMAN, Jakarta pada Rabu, 7 Mei 2025.
Acara yang merupakan bagian dari rangkaian advokasi ini bertujuan untuk mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) melalui uji formil.
Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan Hak Asasi Manusia AMAN Muhammad Arman mengatakan pembentukan Undang-Undang Konservasi ini melanggar tiga prinsip utama dalam perundang-undangan yakni asas kejelasan tujuan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, serta asas keterbukaan.
“Faktanya, hanya dua dari dua puluh proses pembahasan yang terbuka menunjukkan pelanggaran serius terhadap partisipasi publik yang bermakna,” kata Arman saat membuka acara media briefing di rumah AMAN Jakarta.
Arman menekankan bahwa sejak awal, harapan Masyarakat Adat adalah agar Undang-Undang ini bisa mengubah pendekatan konservasi di Indonesia menjadi lebih manusiawi dan berkeadilan.
“Alih-alih berubah, pendekatannya tetap sama: konservasi tanpa manusia - apalagi tanpa Masyarakat Adat,” ujarnya.
Arman mencatat bahwa lebih dari 35 persen wilayah adat kini berada di dalam kawasan konservasi, sebuah situasi yang sering kali berujung pada kriminalisasi. Mikael Ane adalah salah satu contohnya—dipenjara karena dituduh mendiami kawasan konservasi, padahal tanah itu adalah wilayah adatnya sendiri.
Lebih lanjut, Arman juga menyinggung terkait kesaksian Putu Ardana dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan DPR RI, di mana keterlibatan Masyarakat Adat hanya bersifat simbolik.
“Tak ada satu pun usulan yang diakomodasi, bahkan alur prosesnya tidak diberitahukan kembali kepada Masyarakat Adat,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini memperlihatkan bahwa proses legislasi tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam penyusunan Undang-Undang.
Di akhir acara, Arman menyatakan paradigma konservasi di Indonesia tidak pernah bergeser sejak Orde Baru. Kita bicara soal pelestarian, tapi menutup mata terhadap manusia yang hidup dan menjaga kawasan itu.
“Kami menggugat bukan hanya untuk membatalkan UU Konservasi ini, tapi untuk membongkar cara pandang negara terhadap konservasi,” tegasnya.
AMAN bersama WALHI, KIARA, dan seorang Masyarakat Adat dari Nusa Tenggara Timur bernama Mikael Ane mengajukan judicial review sebagai respons terhadap pola konservasi yang eksklusioner.
“Kalau negara mau bicara konservasi, maka mulailah dari pengakuan terhadap Masyarakat Adat. Bukan, justru mengusir Masyarakat Adat dari wilayahnya sendiri,” imbuhnya.
Pemerintah Tidak Pernah Membagikan Naskah Akademik
Viktor Santoso Tandiasa dari Tim Hukum Pengujian Formil UU KSDAHE menambahkan bahwa uji formil ini berlangsung dalam kerangka speedy trial, dengan batas waktu 60 hari sejak diterimanya keterangan Presiden (pemerintah).
“Hingga kini, pemerintah belum dapat menunjukkan daftar hadir pembahasan RUU. Bahkan, naskah akademik tidak pernah dibagikan kepada para ahli yang diundang,” ungkapnya.
Viktor juga menyoroti pernyataan pemerintah yang menyatakan pembentukan Undang-Undang bisa dilakukan secara tertutup, sebuah pandangan yang dinilainya bertentangan dengan prinsip demokrasi.
Lasti Fardilla Noor dari Working Group ICCAs Indonesia menilai Undang-Undang Konservasi ini sebagai kelanjutan dari UU No. 5 Tahun 1990 yang sejak awal tidak mengakui peran Masyarakat Adat sebagai pelaku konservasi.
“Masukan kritis kami tidak diakomodasi secara substansi, hanya dicatat. Free , Prior and Informed Consent (FPIC) juga tidak ada,” ujarnya sembari menambahkan tidak adanya prinsip Free, Prior and Informed Consent membuka peluang perampasan wilayah adat atas nama konservasi dan proyek-proyek berbasis karbon.
Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia (FWI), yang juga Ketua Tim Kampanye Kawal RUU Masyarakat Adat, dalam acara ini menyoroti sejumlah pasal dalam UU KSDAHE yang membuka ruang bagi pengambilalihan tanah adat.
Anggi mencontohkan Pasal 9 ayat 2, memungkinkan negara mengambil tanah dengan dalih ganti rugi jika Masyarakat Adat tidak setuju.
“Ini bukan hanya eksklusi tapi penghilangan hak hidup,” tegasnya.