
Perusahaan Toba Pulp Lestari Intimidasi Masyarakat Adat Dolok Parmonangan di Tano Batak
23 Juni 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Sepekan pasca Mahkamah Agung membebaskan Sorbatua Siallagan dari segala dakwaan pidana, perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) memobilisasi karyawannya memasuki wilayah adat Dolok Parmonangan di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Sekitar 100 orang karyawan dan petugas keamanan TPL melakukan penanaman pohon eukaliptus secara paksa hingga merusak tanaman produktif milik Masyarakat Adat keturunan Ompu Umbak Siallagan.
Masyarakat Adat Dolok Parmonangan resah dengan tindakan karyawan TPL yang merusak tanaman produktif, yang selama ini menjadi sumber utama ekonomi Masyarakat Adat di kawasan itu.
"Pagi ini, tanah kami diinjak-injak, tanaman kami dihancurkan,” kata Marinir Siallagan, warga Dolok Parmonangan, yang menyaksikan langsung peristiwa memilukan tersebut pada Sabtu, 21 Juni 2025.
Marinir mengaku terkejut melihat aksi brutal karyawan TPL yang merusak tanaman milik Masyarakat Adat. Menurutnya, cara-cara kekerasan ini merupakan bentuk intimidasi yang dilakukan TPL terhadap Masyarakat Adat Dolok Parmonangan.
“Kami diintimidasi, tanaman kami dirusak. Kami tidak takut,” tandasnya.
Marinir menjelaskan peristiwa pengerusakan tanaman ini terjadi setelah Mahkamah Agung membebaskan Sorbatua Siallagan, tokoh adat Dolok Parmonangan. Peristiwa ini, menunjukkan bahwa putusan hukum belum sepenuhnya menghentikan cara-cara kekerasan yang dilakukan secara sepihak oleh TPL di lapangan.
Sorbatua Siallagan mengecam tindakan pengerusakan tanaman milik Masyarakat Adat Dolok Parmonangan yang dilakukan karyawan TPL sepekan pasca kebebasannya. Sorbatuamenyebut seolah putusan hukum tertinggi di negara ini tidak cukup ampuh menghentikan logika ekspansi perusahaan di atas wilayah adat yang telah dihuni dan dikelola secara turun-temurun oleh Masyarakat Adat keturunan Ompu Umbak Siallagan.
"Ini bukan sekadar pengerusakan tanaman kami. Ini adalah penghinaan terhadap keputusan Mahkamah Agung," ujar Sorbatua Siallagan yang mengaku sedih atas peristiwa pengrusakan ini.
“Saya baru saja dibebaskan, tapi karyawan TPL sudah datang kembali untuk memprovokasi dan menjebak kami. Seolah-olah kami tidak boleh hidup senang diatas tanah adat kami sendiri," imbuhnya.
Bentuk Provokasi Untuk Menjebak Masyarakat Adat
Ketua Pelaksana Harian AMAN Wilayah Tano Batak Jhontoni Tarihoran menyatakan pola intimidasi TPL sudah berlangsung lama dan dilakukan secara sistematis. Ia menilai perusakan tanaman milik Masyarakat Adat merupakan bentuk kekerasan struktural yang bertujuan menciptakan ketegangan, agar kemudian warga dapat dikriminalisasi kembali melalui pelaporan ke kepolisian.
“TPL tidak hanya merusak tanaman, mereka juga merusak tatanan hidup Masyarakat Adat Tano Batak—sumber air, kebun, dan rasa aman. Ini jelas bentuk provokasi untuk menjebak Masyarakat Adat, supaya bisa dikriminalisasi seperti Sorbatua Siallagan,” kata Jhontoni.
Ia menegaskan negara, termasuk aparat penegak hukum dan legislatif, tidak boleh tinggal diam dalam menyikapi permasalahan ini. Berbagai kasus intimidasi yang dilakukan oleh TPL ini sudah dilaporkan sejak lama, seharusnya bisa ditindak tegas oleh negara.
“Sudah sejak lama kejadian-kejadian seperti ini dilaporkan. Tapi sampai hari ini belum ada tindakan serius dari negara,” ungkapnya.
Masyarakat Adat Dolok Parmonangan kecam pengerusakan tanaman oleh perusahaan Toba Pulp Lestari. Dokumentasi AMAN
Penghinaan Terhadap Lembaga Peradilan
Boy Raja Marpaung dari Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara (TAMAN) menyatakan tindakan TPL yang merusak tanaman Masyarakat Adat pasca bebasnya Sorbatua Siallagan merupakan bentuk penghinaan terbuka terhadap lembaga peradilan tertinggi di Indonesia. Boy Raja menyebut tindakan TPL tersebut tidak hanya ilegal, tapi juga melecehkan semangat konstitusi yang mengakui keberadaan dan hak-hak Masyarakat Adat.
“Putusan Mahkamah Agung seharusnya menjadi penanda bahwa wilayah adat harus dihormati. Tapi TPL bertindak seakan mereka kebal hukum, bahkan melangkahi putusan Mahkamah Agung. Ini berbahaya bagi demokrasi,” tegasnya.
Boy Raja menambahkan selama belum ada Undang-Undang yang secara tegas mengakui keberadaan Masyarakat Adat, ancaman seperti ini akan terus berulang. Karenanya, Boy memohon negara jangan tinggal diam, segera sahkan Undang-Undang Masyarakat Adat.
“Undang-Undang Masyarakat Adat perlu segera disahkan, jika tidak maka jangan heran kalau kepercayaan terhadap negara perlahan akan hilang,” cetusnya.
Dikatakannya, kasus Dolok Parmonangan ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh konflik agraria yang melibatkan Masyarakat Adat dan perusahaan besar di kawasan Tano Batak. Dalam banyak kasus, klaim perusahaan atas tanah konsesi kerap berbenturan dengan wilayah adat yang tak kunjung diakui secara legal oleh negara. Di tengah kekosongan hukum ini, sebutnya, Masyarakat Adat terus berada dalam posisi lemah—rawan dikriminalisasi, diintimidasi, dan dimiskinkan secara sistematis.
Boy Raja mengatakan semestinya putusan Mahkamah Agung terhadap Sorbatua Siallagan memberi secercah harapan. Namun fakta di lapangan memperlihatkan bahwa perjuangan Masyarakat Adat belum selesai.
“Tanah, air, dan kehidupan Masyarakat Adat masih terus berada dalam ancaman,” terangnya.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara