Masyarakat Adat Barambang Katute di Kecamatan Sinjai Borong, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan menolak rencana perusahaan yang akan membuka pertambangan emas di wilayah adat yang selama ini menjadi tempat mereka menggantungkan hidup.

Penolakan ini disampaikan oleh Masyarakat Adat menyusul adanya laporan perusahaan tambang telah mengantongi izin beroperasi di Kabupaten Sinjai. Laporan ini disampaikan oleh Arifuddin selaku anggota DPRD Sinjai.

“Ada perusahaan tambang telah mengantongi izin produksi seluas 11.326,00 hektar di Sinjai,” kata Arifuddin dalam rapat paripurna DPRD Sinjai pada Senin, 16 Juni 2025.

Arifuddin menambahkan perusahaan yang telah mengantongi izin produksi itu tersebar di beberapa titik  Kabupaten Sinjai, diantaranya Kecamatan Sinjai Barat, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, dan Bulupoddo. Izin itu diberikan kepada PT Trinusa Resources.

Ismail dari pemuda adat Barambang Katute mengatakan selama ini Masyarakat Adat di Sinjai menggantungkan hidupnya pada alam melalui sektor pertanian seperti persawahan, perkebunan dan peternakan. Dikatakannya, Masyarakat Adat memegang teguh prinsip untuk tetap menjaga keseimbangan alam dan memanfaatkannya secara alami, bukan secara brutal dan massif seperti pertambangan.

“Kami menolak pertambangan di Sinjai. Tanah, hutan, udara, dan air adalah warisan leluhur sepanjang masa yang harus dijaga karena memiliki peran penting untuk keberlangsungan hidup manusia,” kata Ismail pada Senin, 23 Juni 2025.

Pria yang sedang juliah di Universitas Muhammadiyah Makassar ini menjelaskan Sinjai Borong dan Sinjai Barat berada di kaki Gunung Bawakaraeng, yang letaknya terhubung langsung dengan hutan gunung Bawakaraeng. Lokasi ini menjadi penyumbang air terbesar bagi ribuan hektar lahan pertanian dan perkebunan di Sinjai. Airnya mengalir mulai dari kaki gunung hutan Bawakaraeng hingga ke Kabupaten Sinjai.

Kemudian, di Sinjai Borong terdapat sungai Apareng, sungai Barehangen, sungai Balantieng yang selama ini menjadi sumber air PDAM di Kabupaten Sinjai.

Ismail menerangkan jika di Sinjai Borong ada aktivitas pertambangan yang dibuka, maka kecamatan lain terancam mengalami pencemaran dan krisis air.

“Ini yang kita khawatirkan dari aktivitas pertambangan itu,” tegasnya.


Sawah milik Masyarakat Adat Barambang Katute yang akan terdampak tambang. Dokumentasi AMAN

Cabut izin Tambang di Sinjai  

Ismail menyatakan perjuangan Masyarakat Adat Barambang Katute melindungi wilayah adat dari eksploitasi pertambangan telah berlangsung lama. Bahkan, tidak sedikit muncul konflik seperti yang terjadi di tahun 2011. 

Saat itu, PT Sumber Galena Energi memiliki izin eksplorasi di atas wilayah adat tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat. Perusahaan mulai melakukan eksplorasi tambang secara massif pada tahun 2012, hal ini mengundang amarah Masyarakat Adat karena sebelumnya tidak ada konfirmasi dari perusahaan atau pun pemerintah terhadap aktivitas eksplorasi tambang tersebut.

Parahnya, titik pertambangan tepat berada di dalam area wilayah adat, yang didalamnya terdapat hutan adat, pemukiman, perkebunan, sungai, dan sumber mata air Masyarakat Adat Barambang Katute. Akibat adanya perlawanan dari Masyarakat Adat, izin eksplorasi perusahaan tambang dicabut tahun 2013. Pencabutan izin eksplorasi ini terjadi setelah adanya aksi penolakan dari berbagai elemen masyarakat.

“Kita tidak ingin pengalaman pahit ini terulang kembali di Sinjai,” katanya.

Karenanya, Ismail berharap peristiwa yang lalu tidak terulang lagi. Ia mendesak pemerintah mencabut kembali izin eksplorasi yang telah diberikan kepada perusahaan tambang di Sinjai. Sebab, membuka pertambangan berarti merusak tatanan alam dan mematikan ekosistem di dalamnya.

“Pohon ditumbang, tanah dihancurkan, air dicemari. Situs leluhur juga bisa terancam punah. Semua ini konsekuensi dari adanya aktivitas pembukaan lahan tambang,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Sinjai, Sulawesi Selatan

Writer : Haeruddin | Sulawesi Selatan
Tag : Sinjai Barambang Katute