
Sekjen AMAN Mendukung Jurnalis Masyarakat Adat “Kuasai Narasi, Rebut Gelombang”
25 Agustus 2025 Berita gamaliel M. KalieleSekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi mendukung tagline “Kuasai Narasi, Rebut Gelombang” yang diusung Asosiasi Jurnalis Masyarakat Adat Nusantara saat dideklarasikan pada perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di Kasepuhan Guradog, Kabupaten Lebak, Banten belum lama ini.
Rukka menjelaskan “kuasai narasi” berarti mengambil alih ruang produksi wacana yang selama ini didominasi media arus utama, korporasi, maupun negara. Sementara “merebut gelombang” dimaknai sebagai upaya Masyarakat Adat untuk menjadi subjek utama dalam arus besar perubahan global.
Rukka mengatakan kita harus jujur, selama ini Masyarakat Adat hanya diberitakan ketika ada konflik tanah, bencana alam, atau kriminalisasi. Itu pun seringkali narasinya tidak berpihak pada kebenaran yang ada di Masyarakat Adat, melainkan pada kepentingan pihak luar.
“Hari ini kita bangkit, kita mendeklarasikan JMA agar Masyarakat Adat bisa bicara dengan suara sendiri, menulis kisahnya sendiri, dan menyiarkan kebenarannya sendiri. Itulah makna besar dari tema “Kuasai Narasi, Rebut Gelombang” kata Rukka dalam wawancara khusus usai deklarasi Asosiasi JMA Nusantara di Kasepuhan Guradog, Kabupaten Lebak pada 9 Agustus 2025.
Rukka menambahkan baginya, narasi adalah senjata ampuh dalam menentukan arah kebijakan publik sekaligus cara dunia memandang Masyarakat Adat. Di era digital ini, sebutnya, siapa yang menguasai narasi, dialah yang menguasai persepsi. Dan persepsi bisa menentukan nasib sebuah bangsa.
“Kalau Masyarakat Adat tidak menguasai narasi, maka kita akan terus terpinggirkan, dipersepsikan sebagai kelompok primitif yang tidak punya masa depan. Persepsi ini keliru, sengaja dipelihara demi memuluskan perampasan tanah dan kekayaan kita. Karena itu, kita harus merebut narasi itu kembali ke tangan kita sendiri,” tegas Rukka.
Dijelaskannya, gelombang perubahan saat ini sedang terjadi. Dunia bicara tentang krisis iklim, tentang hilangnya biodiversitas, tentang energi hijau. Rukka menerangkan semua yang dibicarakan tersebut menyangkut tanah, hutan, dan laut yang dimiliki Masyarakat Adat. Ditambahkannya, kalau kita tidak ikut dalam percakapan itu, kalau kita tidak menulis dan menyiarkan posisi kita, maka gelombang itu akan melewati kita.
“Makanya, JMA harus merebut gelombang untuk memastikan Masyarakat Adat berdiri di depan, bukan di belakang,” ujar Rukka.
Dalam hal ini, Rukka menekankan pentingnya melahirkan jurnalis-jurnalis Masyarakat Adat yang tumbuh dari kampung dan komunitas. Ia menyebut hanya dengan cara itu, narasi Masyarakat Adat bisa benar-benar otentik dan tidak dimanipulasi pihak luar.
Rukka menerangkan Jurnalis Masyarakat Adat adalah mereka yang menulis dari kampung, dari hutan, dari pesisir, dari gunung-gunung yang menjadi rumah mereka. JMA menulis bukan hanya karena profesi, tetapi karena panggilan sejarah. JMA menulis bukan untuk mencari sensasi, tetapi untuk menjaga warisan leluhur.
“Jadi, JMA ini bukan sekadar organisasi, tapi gerakan kultural dan politis yang sangat penting,” tegasnya.
Tantangan JMA
Rukka mengakui bahwa tantangan besar menanti JMA, mulai dari keterbatasan akses internet di kampung-kampung adat, minimnya dukungan fasilitas, hingga risiko tekanan dari aparat maupun perusahaan.
“Saya tidak menutup mata, perjuangan ini penuh risiko. Kita tahu betul, banyak JMA sudah mengalami intimidasi, bahkan kriminalisasi hanya karena meliput kasus perampasan tanah atau kerusakan lingkungan. Tapi, justru karena itulah JMA harus ada. Kita tidak boleh menyerah pada ketakutan. Kita lahir dari sejarah perlawanan, dan semangat itu harus terus kita warisi,” paparnya.
Lebih jauh, Rukka menegaskan JMA akan menjadi ruang strategis bagi Masyarakat Adat untuk menulis sejarah mereka sendiri. Selama ratusan tahun, imbuhnya, sejarah kita ditulis oleh orang lain. Masyarakat Adat disebut sebagai pengganggu pembangunan, padahal tanah yang mereka rampas adalah sumber kehidupan Masyarakat Adat.
Masyarakat Adat disebut tidak beradab, padahal justru Masyarakat Adat yang menjaga hutan, menjaga laut, menjaga bumi dari kerusakan.
“Sudah saatnya kita yang menulis sejarah kita sendiri, agar anak cucu kita membaca kebenaran dari suara leluhurnya, bukan dari kepentingan kolonialisme baru,” tegasnya.
Tonggak Baru Perjuangan Masyarakat Adat
Rukka berharap kehadiran JMA menjadi tonggak baru dalam perjuangan Masyarakat Adat. Ia menekankan perlawanan hari ini tidak hanya di jalan, tetapi juga di ruang-ruang digital dan media.
“Kita harus sadar, medan pertempuran sudah berubah. Hari ini perang bukan hanya soal senjata, tapi soal informasi. Kalau kita kalah dalam narasi, kita akan kalah di semua lini,” terangnya sembari berharap JMA menjadi benteng sekaligus garda depan dalam melawan manipulasi dan kebohongan tentang Masyarakat Adat.