Oleh Thata Debora Agnessisa

Matahari baru naik setinggi kepala. Namun udara di desa Rungun, Kecamatan Kotawaringin Lama, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah sudah terasa menyengat. Kipas angin di rumah panggung terus berputar pelan, berusaha mengusir hawa panas yang masuk melalui celah dinding rumah.

Panas yang dirasakan oleh Masyarakat Adat Rungun ini bukan sekedar soal cuaca. Namun, lebih pada soal musim yang susah untuk diprediksi.

Masyarakat Adat Rungun yang terbiasa hidup dalam kawasan hutan mengenali pola alam : bulan kemarau untuk berladang dan bulan hujan untuk panen. Namun beberapa tahun terakhir ada perubahan yang membuat kalender tradisional itu tidak berlaku lagi.

Rusadi, 31, salah seorang pengurus komunitas Masyarakat Adat Rungun mengaku heran dengan perubahan cuaca yang terjadi saat ini dengan tiba-tiba. Bahkan, imbuhnya, banjir kini bisa datang berkali-kali dalam setahun sekalipun bukan pada musim hujan.

“Kalau dulu kita bisa prediksi, bulan sekian pasti panas, bulan sekian pasti hujan. Sekarang tidak ada lagi,  terkadang seminggu panas, seminggu hujan,” ujar Rusadi di kediamannya pekan lalu.

Pria berusia 31 tahun ini menuturkan Masyarakat Adat Rungun memiliki pengetahuan lokal tentang musim, yang diwariskan turun-temurun. Rusadi mencontohkan bulan April hingga Agustus disebut musim hanyian atau waktu terbaik untuk berladang.  Kemudian, bulan September hingga Desember dikenal sebagai musim banjir, yang bersamaan dengan panen padi.

“Itu kalender alam kami. Tapi sekarang, kalender alam itu sudah tidak bisa dipakai lagi,” kata Rusadi.

Diterangkannya, banjir yang dulu hanya datang setahun sekali, kini bisa enam kali dalam setahun. Rusadi menyebut pada 2021, desa Rungun dilanda banjir parah, air setinggi dada orang dewasa merendam rumah selama tiga bulan.

“Dulu kalau banjir paling lama dua minggu, sekarang banjirnya berbulan-bulan,” ujar Rusadi sembari menambahkan akibat banjir yang berkepanjangan, akses jalan menjadi lumpuh. Harga pangan melambung drastis. Satu bungkus mie instan yang biasanya Rp 4.000, melonjak jadi Rp 7.000 karena harus diangkut lewat getek (perahu).

“Itu dampak langsung perubahan iklim bagi kami” ujarnya dengan nada lirih.

Pohon kelapa sawit tumbuh subur di kawasan hutan. Dokumentasi AMAN

Masuk Hutan Tidak Terasa Dingin

Baid selaku tetua adat di desa Rungun mengatakan bagi mereka, perubahan iklim ini bukan sesuatu yang abstrak. Sebagian menyadari bahwa penyebab yang memperparah perubahan iklim adalah akibat hutan yang kian gundul, lahan yang berubah jadi kebun sawit, dan satwa yang menghilang. Namun sebagian lainnya belum sempat memahami karena energi mereka habis untuk bertahan hidup di tengah arus besar transformasi kapitalisme yang terus mendesak ruang hidup mereka.

“Kalau dulu kita masuk hutan, terasa dingin bahkan angker. Sekarang masuk hutan panas. Tidak ada lagi hutan yang rimbun,” ucapnya.

Baid yang kini telah berusia 54 tahun mengaku ingat betul, saat masih kecil bisa melihat kijang, rusa bahkan ribuan kelelawar besar (keluang) beterbangan di sekitar hutan pada sore hari. Kini, satwa-satwa itu lenyap semuanya.

“Sudah tak terlihat lagi (satwanya). Burung Tingang juga dulu banyak, sekarang sudah jarang kelihatan,” imbuhnya sembari menjelaskan Burung Tingang adalah burung khas Kalimantan yang memiliki makna mendalam bagi suku Dayak. Burung Tingang makanan utamanya buah-buahan dan serangga.

Baid menyebut hutan adat yang ada di komunitas saat ini diperkirakan hanya tersisa 50–100 hektare, itupun bukan lagi hutan murni, melainkan bekas ladang yang ditumbuhi pohon muda. Sebagian besar,  wilayah adat mereka sudah berubah menjadi kebun sawit.

Baid mengatakan perubahan itu mengubah pola hidup masyarakat. Dulu, 90 persen warga berprofesi sebagai nelayan dan petani. Kini, sebagian besar menjadi pekebun atau buruh sawit.

“Sekarang hanya tinggal 30 persen nelayan. Sisanya, kebun sawit,” kata Baid.

Adaptasi Dengan Perubahan Iklim

Masyarakat Adat Rungun berusaha beradaptasi dengan perubahan iklim ini. Saat banjir, mereka membangun panggung di dalam rumah untuk meletakkan barang-barang agar tidak rusak. Saat kemarau, mereka bisa mengandalkan sumur bor.

“Kemarau air sungai kering, kami tetap bisa bertahan dengan sumur bor,” kata Baid.

Namun, perubahan iklim membuat banyak hal terjadi tak menentu. Pohon kapuk yang dulu jadi obat tradisional hilang. Padi lokal, yang dulu punya nama khas seperti Darah Gajah atau Mantaya kini tinggal cerita. Punah seiring terjadinya perubahan iklim.

Meski hidup kian terhimpit dengan adanya perubahan iklim, Masyarakat Adat Rungun masih menyimpan harapan. Mereka berharap pada hutan adat supaya diakui negara.

“Kalau hutan adat diakui negara, kami bisa jaga. Tidak boleh tanam sawit, pasti hutannya lestari,” kata Baid.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah

Writer : Thata Debora Agnessisa | Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
Tag : Masyarakat Adat Rungun Tidak Lagi Merasa Dingin