
Hutan Tulehu Ditumbuhi Tanaman Pamahai Amanateru Yang Menghidupkan Tiga Negeri di Maluku
02 September 2025 Berita Joanny F. M. PesulimaOleh Joanny F. M. Pesulima
Tulehu adalah sebuah Negeri di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Negeri Tulehu ini sejak lama menjadi pintu masuk bagi masyarakat dari pulau-pulau Lease—Saparua, Pulau Seram, Haruku, Nusalaut—menuju Kota Ambon dan sebaliknya.
Posisi ini menjadikannya penting karena Negeri Tulehu miliki pelabuhan utama di Pulau Ambon. Selain dikenal sebagai kampung sepak bola, Negeri yang berarti Desa Adat di Maluku ini juga punya 15 dusun atau kampung yang menyimpan potensi wisata bahari dan budaya yang besar.
Di Negeri Tulehu, perubahan iklim terasa nyata. Pada tahun 2019, banjir besar melanda Dusun Hurnala Dua. Sekitar 5–6 rumah semi permanen saat itu hanyut terbawa arus sungai Wairutung.
Sungai yang terletak di perbatasan Tulehu dan Negeri Waai itu meluap hingga ke jalan raya, membuat sejumlah wilayah terendam selama sepekan.
Sekretaris Negeri Tulehu Sudarmadji, yang juga Hakim Adat, mengenang banjir tersebut sebagai yang paling parah.
“Banjir parah hanya di 2019. Tahun 2025 ini (tidak) banjir,” katanya pada akhir Juli 2025.
Sudarmadji mengatakan cuaca belakangan ini semakin sulit ditebak. Maret–April hujan panjang, lalu Mei–Juni sengada (tidak ada) hujan, hanya panas.
“Dulu kalau musim hujan, hujan terus. Ada istilah mangente (kunjungan), artinya hujan datang berulang kali, tapi belum betul-betul berhenti,” terangnya.
Sudarmadji menyatakan cuaca panas yang terjadi akhir-akhir ini dianggap bagian dari perubahan iklim. Dulu di Negeri ini banyak pohon besar—mangga, sukun, asam jawa, bajir, dan lain-lain. Sekarang, pohon besar tersebut sudah berkurang akibat pembangunan tata ruang yang padat.
Perubahan Tata Ruang Kampung
Sudarmadji menyebut perubahan juga terlihat pada tata ruang perkampungan. Dulu, rumah-rumah di Tulehu masih memiliki lorong-lorong kecil. Kini, lorong itu hampir tidak ada lagi.
“Di lingkungan saya dulu masih ada lorong. Ada positifnya, tapi dulu seng (tidak) ada toilet di rumah. Kalau perempuan mau buang air besar ke pantai, mereka jalan lewat lorong, bukan jalan umum,” cetusnya.
Sudarmadji mengenang dulu kampung masih sederhana: ada kampung tengah, kampung baru, dan bagian atas masih hutan. Sekarang semua rumah sudah memiliki WC. Ada yang dibangun secara swadaya, ada pula bantuan dari pemerintah maupun Bank Dunia, termasuk edukasi penggunaan WC sehingga masyarakat sadar menjaga kebersihan.
Dikatakannya, pendatang yang menempati bagian atas kampung biasanya membangun WC di belakang rumah, dekat dapur, karena lahan sempit. Sistemnya menggunakan septic tank dua ruang: ruang pertama sebagai penghancur dan ruang kedua untuk resapan.
Sudarmadji menuturkan perubahan di Negeri Tulehu tidak hanya pada ruang, tapi juga jumlah penduduk. Negeri Tulehu yang awalnya terdiri dari tiga kampung, kini berkembang menjadi 15 dusun. Penduduknya bertambah hingga sekitar 30.000 jiwa, karena banyak pendatang menetap di sini. Meski padat, sebutnya, air bersih hampir tidak pernah jadi masalah serius. Sumber air melimpah, baik air panas yang kini menjadi lokasi pemandian wisata, maupun air dingin dari pegunungan.
Sejumlah wisatawan sedang mandi di pemandian air panas Tulehu yang dekat dengan hutan. Dokumentasi AMAN
Hutan Semakin Dekat Permukiman
Hutan Tulehu cukup luas. Namun, hutan yang diperkirakan luasnya mencapai ratusan hektar ini semakin dekat dengan pemukiman dan lahan pertanian milik Masyarakat Adat.
Hutan Tulehu banyak berada di Salahutu dan perbatasan Negeri Tengah-Tengah.
Hutannya banyak dihuni satwa seperti rusa, kucing hutan, kuskus, burung, ular, dan babi. Namun, jumlahnya sudah berkurang karena diburu oleh pemburu liar dari negeri lain.
Selain satwa, hutan Tulehu juga banyak ditumbuhi pohon seperti cengkeh, pala, palawija, serta kayu untuk membangun rumah. Ada pula tanaman obat-obatan seperti kopasanda (maulanit), yang dalam bahasa adat disebut laanit yang lazim digunakan dalam kapata (nyanyian adat).
Tiga jenis tumbuhan wajib hadir dalam setiap upacara adat: paku-pakuan dari hutan Kakariang Tulehu, rumput laut dari Negeri Tengah-Tengah, dan Manulanit dari Negeri Tial. Ketiganya disebut Pamahai Amanateru, yang berarti menghidupkan tiga negeri saudara. Walau kini ada sup dan menu prasmanan, tiga tumbuhan adat itu tidak pernah ditinggalkan.
“Masyarakat Adat masih bakabong (berkebun), tanam pala, cengkeh, tanaman umur panjang yang seng (tidak) perlu dipagari,” kata Sudarmadji sembari menambahkan kalau menanam sayur dan ubi-ubian di kebun banyak digarap masyarakat pendatang dan harus dibuat pagar untuk melindungi tanaman dari babi dan sapi.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Maluku