Oleh Maruli Simanjuntak

Masyarakat Adat Huta Parpatihan di Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara tidak lagi bisa tersenyum. Senyumnya sudah berganti dengan tangisan seiring terhentinya air pegunungan Dolok Paung yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga kampung sejak 2012.

Pegunungan Dolok Paung ditetapkan sebagai kawasan reboisasi pada 1975. Sejak itu, air pegunungan mengalir deras ke kampung Huta Parpatihan sehingga membuat Masyarakat Adat, termasuk anak-anak riang gembira. Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Sebab di tahun 1986, Dolok Paung masuk dalam konsesi perusahaan bubur kertas PT Toba Pulp Lestari (TPL). Hutan alam yang dulunya rimbun dan kaya ragam hayati dibabat habis, diganti dengan eukaliptus, pohon industri yang rakus menyerap air tanah.

“Sejak ditanam Eukaliptus, Dolok Paung tidak lagi memberi air kehidupan bagi kami. Tidak ada lagi air dari pegunungan mengalir ke kampung. Semua tinggal kenangan, kami sekarang hidup dari sumur bor,” kata Maratua Simanjuntak, seorang penatua adat Huta Parpatihan dengan nada lirih pada Sabtu, 6 Agustus 2025.

Pria berusia 68 tahun ini menuturkan sejak pohon-pohon hutan ditebangi, siklus alam di Dolok Paung menjadi terganggu. Pepohonan besar yang dulu menyimpan cadangan air dalam akar dan tanah hilang begitu saja. Tanah yang semula gembur dan menyimpan air berubah kering, tandus, dan mudah longsor.

“Perlahan, aliran air dari gunung melemah. Hingga akhirnya pada 2012, pipa-pipa yang menyalurkan air ke bak penampung di kampung benar-benar kering. Sejak saat itu, kehidupan Masyarakat Adat berubah drastis,” ungkap Maratua.

Dikatakannya, hilangnya hutan Dolok Paung bukan sekedar hilangnya pohon, tapi hancurnya keseimbangan ekologi.  Akar-akar pohon hutan yang dulu menyimpan air hujan, kini tergantikan oleh eukaliptus.

“Pohon industri ini justru menyerap air tanah dalam jumlah besar, membuat cadangan air cepat habis,” terangnya.

Akibatnya, kata Maratua, hutan yang dulu meneduhkan kampung kini lenyap. Daerah yang dulunya sejuk berubah panas terik. Perubahan mikroklimat ini membuat Masyarakat Adat merasakan perbedaan suhu yang signifikan.

Maratua menyebut tanah yang kehilangan tutupan hutan mudah tergerus hujan. Nutrisi hilang terbawa erosi, membuat ladang-ladang Masyarakat Adat sulit digarap dan hasil panen menurun drastis.

Meski Masyarakat Adat kini dilanda kekeringan, imbuhnya, saat musim hujan tiba justru mereka terancam banjir bandang dan longsor. Sebab tanpa hutan, air hujan tak lagi terserap, melainkan langsung meluncur deras ke lembah.

Maratua juga menyatakan satwa liar yang dulu hidup di Dolok Paung kini telah kehilangan habitatnya. Burung, kera, dan berbagai jenis tumbuhan hutan pun hilang.

“Ekosistem alami yang menopang kehidupan Masyarakat Adat musnah seiring hilangnya hutan,” tandasnya.

Air Bersih Menghilang

Hilangnya hutan dan air juga menciptakan luka sosial. Perempuan harus memikul beban lebih berat karena bertugas sebagai pengangkat air. Anak-anak terpaksa belajar dengan tubuh lelah setelah membantu orang tuanya mengambil air dari lembah.

Rutni Pronika Ginting, seorang ibu rumah tangga asal desa Tapian Nauli III menceritakan  keluarganya menderita penyakit kulit karena terpaksa menggunakan air kotor. Tidak ada lagi air bersih di kampungnya. Sebagai seorang ibu, Rutni mengaku sedih melihat kenyataan ini.

“Kami sekeluarga terkena penyakit gatal-gatal. Kulit merah, bentol, dan perih. Ini kami alami setelah hilangnya air bersih di kampung,” katanya.

Sementara itu, lahan pertanian yang dulu menjadi tumpuan ekonomi Masyarakat Adat  kian gersang. Kopi, padi ladang, dan sayuran gagal panen.  Masyarakat Adat kehilangan penghasilan, kemiskinan makin terasa.

“Dulu kampung ini sejuk dan ladang kami subur. Sekarang panas sekali, tanah kering, pohon-pohon tidak lagi rindang. Hutan sudah hilang, air ikut hilang,” kenang Rutni.

Sejumlah jerigen milik Masyarakat Adat menumpuk, menunggu  sumur bor dihidupkan setiap pukul 4 sore. Dokumentasi AMAN

Pemerintah Tutup Mata

Sofrin Simanjuntak, tokoh Masyarakat Adat Tano Batak, mengatakan kondisi Huta Parpatihan saat ini menunjukkan bagaimana kerusakan hutan mempercepat dampak perubahan iklim. Kampung menjadi lebih rentan: kekeringan saat kemarau, banjir saat hujan deras. Pola musim pun sulit diprediksi, membuat Masyarakat Adat semakin sulit bertani.

Sofrin menambahkan ironisnya, pemerintah terkesan tutup mata terhadap kenyataan yang dialami Masyarakat Adat di Huta Parpatihan. Padahal, ini sudah menyangkut hidup manusia.

“Kami hanya minta hutan dikembalikan, air itu kembali. Kami ingin hidup layak di tanah kami sendiri,” tegas Sofrin Simanjuntak.

Dikatakannya, bagi Masyarakat Adat Huta Parpatihan, hutan bukan hanya kumpulan pohon. Hutan adalah sumber air, makanan, obat, dan kesejukan. Lebih dari itu, imbuhnya, hutan juga menjadi tempat budidaya kemenyaan (kemenyan), pohon khas Batak yang getahnya menjadi sumber penghidupan Masyarakat Adat selama turun-temurun.

“Kemenyaan itu sumber ekonomi Masyarakat Adat, ketika hutan hilang, pohon kemenyaan pun ikut hilang. Maka, kami kehilangan segalanya,” jelasnya.

Sofrin menerangkan hutan adalah ruang hidup yang menyatukan identitas, alam, dan manusia. Hilangnya hutan berarti hilangnya masa depan.

“Kami tidak ingin anak cucu kami hanya mendengar cerita tentang air dari gunung. Kami ingin mereka bisa merasakannya langsung. Ini soal hak hidup,” tegasnya.

Di tengah krisis iklim global, kisah Huta Parpatihan adalah peringatan keras bahwa kerusakan hutan tak hanya merusak alam, tapi juga merenggut kehidupan manusia.

“Kalau negara tidak hadir, kami akan terus bersuara. Karena ini tentang masa depan kampung kami,” tutup Sofrin.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak, Sumatera Utara

Writer : Maruli Simanjuntak | Tano Batak, Sumatera Utara
Tag : Pegunungan Dolok Paung Masyarakat Adat Huta Parpatihan