TPL Merampas Hasil Panen Masyarakat Adat Sihaporas
04 November 2025 Berita Maruli SimanjuntakOleh Maruli Simanjuntak
Perusahaan PT Toba Pulp Lestari (TPL) kembali menyulut amarah Masyarakat Adat menyusul tindakan petugasnya yang diduga telah merampas hasil panen jahe milik Masyarakat Adat Sihaporas pasca aksi penyerangan yang terjadi pada 22 September 2025.
Pencurian jahe ini terjadi di ladang Masyarakat Adat Sihaporas pada Kamis, 30 Oktober 2025. Saat itu, empat orang pencuri kepergok melakukan aksinya sama orang yang kebetulan melintas di lokasi tersebut.
Masyarakat Adat melaporkan ada sekitar 5 ton jahe yang siap dipanen saat itu. Pemilik lahan sudah menyiapkan beberapa orang Masyarakat Adat untuk memanen jahe tersebut. Namun pada Jumat, 31 Oktober 2025, rencana itu digagalkan oleh pihak keamanan TPL. Sejumlah Masyarakat Adat yang hendak memanen jahe justru ditahan dan dibawa ke kantor perusahaan TPL di Aek Nauli.
Sesampainya di kantor, pihak perusahaan menyodorkan surat bermaterai kepada Masyarakat Adat yang ditahan. Isi suratnya meminta agar Giovani Ambarita selaku pemilik lahan menandatangani persetujuan bahwa area tanam jahe miliknya akan ditanami eukaliptus oleh TPL. Dalam surat itu juga disebutkan bahwa Masyarakat Adat tidak akan menuntut di kemudian hari.
“Isi surat itu jelas merugikan Masyarakat Adat Sihaporas. Kalau saya tandatangan, artinya saya menyerahkan tanah itu ke perusahaan TPL. Ini jebakan,” kata Giovani, Minggu (2/11/2025).
Giovani menolak menandatangani surat yang disodorkan TPL. Ia justru menyewa tiga orang penjaga agar tidak ada yang masuk ke ladangnya. Namun pada Sabtu, 1 November 2025 sekitar pukul 09.00 Wib, security TPL kembali datang dan mengusir para penjaga tersebut. Sejak itu, Masyarakat Adat tidak dapat mendekati atau memanen hasil tanaman mereka sendiri.
Informasi yang diterima masyarakat menyebutkan bahwa sekitar 10 ton jahe di lahan tersebut telah dipanen oleh orang tak dikenal. Giovani memperkirakan dari total 20 ton bibit jahe milik Masyarakat Adat Sihaporas yang siap panen, TPL kini menguasai hasil yang setara dengan sekitar 200 ton jahe.
Selain jahe, TPL juga menguasai lahan pertanian milik Masyarakat Adat lainnya, seperti tanaman cabai 2 hektar, kopi sekitar 10 hektar, serta berbagai tanaman pangan lainnya seperti padi, jagung, dan buah-buahan. Akibat penguasaan ini, Masyarakat Adat kehilangan sumber pangan utama dan penghasilan mereka.
"Kami yang menanam, tapi tidak bisa memanen. Seluruhnya telah dikuasai TPL," ungkap Giovani dengan nada lirih.

Ladang jahe milik Masyarakat Adat Sihaporas dipasang plang TPL. Dokumentasi AMAN
Butuh Pengawalan Saat Panen
Giovani menambahkan akibat hilangnya hasil panen, Masyarakat Adat Sihaporas kini hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran. Masyarakat Adat khawatir perampasan akan terus berulang jika pemerintah dan aparat tidak segera bertindak.
Giovani Ambarita mengaku telah meminta bantuan kepada Polres Simalungun dan pemerintah agar segera memberikan pengawalan kepada Masyarakat Adat untuk memanen hasil kerja mereka sendiri.
“Kami mohon agar kepolisian dan pemerintah memberi pengawalan saat kami memanen. Kami khawatir, hal-hal yang tidak diinginkan terjadi lagi,” tegasnya.
Bagi Masyarakat Adat LAMTORAS–Sihaporas, perampasan hasil panen ini bukan sekedar soal ekonomi, tetapi soal martabat dan kelangsungan hidup. Mereka menegaskan bahwa perjuangan mempertahankan tanah dan hasil tanam bukanlah bentuk perlawanan terhadap negara, melainkan upaya mempertahankan hak atas tanah leluhur dan sumber kehidupan mereka.
"Kami hanya ingin hidup tenang di tanah kami sendiri. Tapi setiap kali kami menanam, perusahaan TPL datang merampas. Apakah kami tidak punya hak untuk hidup ?,” tanya Giovani.
***
Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Tano Batak