Oleh Komang Era Patrisya

Sebagian besar kebun di Desa Adat Pedawa, Bali Utara dulunya dikelola dengan sistem tumpang sari. Keragaman tanaman yang ada di desa tua ini membuat kebutuhan pangan Masyarakat Adat tercukupi, sekaligus menjaga keseimbangan alam.

Namun  sejak tahun 1980-an, pola tanam tersebut mulai bergeser. Sejak itu, Masyarakat Adat Pedawa mengalami krisis pangan akibat perubahan besar dalam pola pertanian mereka. 

Banyak kebun kopi dan pohon aren diganti dengan tanaman cengkeh, yang pada masa itu dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi. Perubahan ini berlanjut hingga beberapa tahun terakhir, ketika pohon durian mulai banyak ditanam dan menjadi primadona baru. Meski memberikan keuntungan finansial, cengkeh dan durian memiliki kelemahan. Keduanya cenderung ditanam secara monokultur, dengan daya serap air yang tidak sebaik kopi atau aren. Akibatnya, keseimbangan alam yang dulu terjaga perlahan mulai terganggu.

“Baik cengkeh maupun durian bersifat egois. Kedua pohon itu tidak ramah terhadap tanaman lain,” ujar Wayan Sadyana, tokoh komunitas Masyarakat Adat Kayoman.

Ia menambahkan pola monokultur yang ada pada tanaman cengkeh dan durian membuat habitat satwa berkurang dan mengurangi keberlanjutan ekosistem di Pedawa.

Sadyana mengatakan  perubahan pola tanaman pertanian di Desa Adat Pedawa tidak bisa dilepaskan dari persoalan internal Masyarakat Adat. Selama ini, imbuhnya, adat kerap dimaknai sebatas pelaksanaan ritual. Upacara dianggap sebagai kewajiban utama kepada Ida Sang Hyang Widhi, lalu selesai.

Padahal jika ditafsirkan lebih luas, kata Sadyana, adat sejatinya juga mencakup kewajiban pada alam, air, dan konservasi. Hubungan manusia dengan Tuhan mestinya diwujudkan pula melalui kepedulian terhadap lingkungan. Sayangnya, sebut Sadyana, kesadaran ini belum sepenuhnya tumbuh.

“Ritual sering berhenti di upacara. Lupa bahwa itu juga kewajiban kita pada air, pada alam, pada konservasi. Kalau konservasi dijaga, otomatis kewajiban pada Tuhan juga sampai,” ujar Sadyana.

Pangan Lokal Berkurang

Selain kopi dan aren, Masyarakat Adat Pedawa dahulu juga menanam padi gaga (padi gogo). Jenis padi ini tumbuh di lahan kering yang tahan musim kemarau dan tidak membutuhkan irigasi. Padi gaga menjadi identitas pangan lokal sekaligus bagian penting dalam ritual adat di Pedawa.

Walau hanya dipanen setahun sekali, lahan padi gaga mampu menghasilkan berbagai pangan lain yang dipanen secara bergilir, seperti ketela pohon, talas, jagung, jali-jali, godem, ubi jalar, kecipir, kacang, dan labu.

Wayan Sukrata, tokoh Masyarakat Adat Pedawa menerangkan sistem pertanian ini menjadikan ketahanan pangan Masyarakat Adat Pedawa sangat kuat. Sebab, di lahan yang sama juga bisa tumbuh umbi-umbian dan rempah seperti lengkuas, jahe, kunyit, dan kencur. Tanaman tersebut digunakan sebagai bumbu masakan sekaligus obat tradisional.

Kini, sebut Sukrata, padi gaga sudah tidak lagi ditanam di Pedawa. Dikatakannya, untuk keperluan ritual, Masyarakat Adat harus mencarinya ke desa lain.

“Hilangnya padi gaga di Pedawa disebabkan keterbatasan lahan, karena sebagian besar ladang telah beralih menjadi perkebunan tanaman keras seperti cengkeh, kopi, dan durian,” ungkapnya.

Lahan pertanian di Desa Adat Pedawa. Dokumentasi AMAN

Tergantung Desa Lain

Sukrata menambahkan saat ini, sebagian besar pangan yang dikonsumsi Masyarakat Adat Pedawa berasal dari desa lain, termasuk beras. Disebutnya, banyak sawah telah beralih fungsi menjadi kebun cengkeh, sementara keterbatasan air membuat panen padi hanya bisa dilakukan sekali dalam setahun.

“Masyarakat Adat Pedawa krisis pangan, berasnya berasal dari desa lain,” terangnya.

Sukrata menyatakan krisis pangan ini akibat alih fungsi lahan di Pedawa, yang didorong oleh regulasi modern seperti Online Single Submission (OSS).  Menurutnya, mekanisme perizinan terpusat ini membuka peluang bagi investor lebih mudah masuk ke desa. Dikatakannya, hal ini menjadi kekhawatiran bagi Masyarakat Adat. Sebab, saat ini sekitar 40 persen wilayah adat Pedawa sudah bukan lagi milik Masyarakat Adat Pedawa.

“Ini yang kita khawatirkan, wilayah Masyarakat Adat Pedawa semakin berkurang karena banyak dikuasai  investor, ” tutup Sukrata.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Bali

Writer : Komang Era Patrisya | Bali
Tag : AMAN Bali Masyarakat Adat Pedawa Mengalami Krisis Pangan