Oleh Andreas Ongko Wijaya Hului

Waktu hampir petang, Hipui mendengar sebuah lantunan syair dari sebuah pondok ladang. Lantunan syair itu menembus ingatan masa lalunya, ketika masih bersama orangtua dan saudaranya di  Naha Aruq, sebuah dusun yang jauh berada di pedalaman Hulu Mahakam, Kalimantan Timur

Syair dilantunkan dalam satu tarikan nafas. Bahasanya sangat indah. Bagi Hipui (64), lantunan syair itu bukan sekedar nyanyian tanpa makna. Tapi menyimpan berbagai cerita leluhur, petuah kehidupan dan kejayaan masa lampau.

Masyarakat Adat Bahau Busang menyebut lantunan syair itu sebagai Bakung. Syairnya dilantunkan secara lisan kepada orang lain.

Hipui menjelaskan Bakung bisa dilakukan sendiri, bisa juga dilakukan berkelompok : satu orang melantunkan cerita kemudian yang lainnya ikut serta menyahut cerita yang disampaikan oleh pihak pertama.

Dikatakannya, terkadang kalau mendengar Bakung, kita bisa tertawa atau sedih, tergantung  tema ceritanya, semisal tentang anak Hulaq (Yatim Piatu) biasa sedih mendengarnya.

Hipui menyatakan pelantun bisa dibawa oleh siapa saja. Namun syaratnya, ia harus paham soal seluk-beluk sejarah suku, memiliki suara yang merdu, dan cakap bercerita. Karena itu, sebutnya, Bakung biasanya dibawakan oleh kalangan yang sudah berumur, karena mereka paham tentang banyak hal.

Diakuinya, sekarang ini sudah jarang orang bisa melantunkan Bakung. Ini karena pengaruh zaman, minim anak muda yang mau belajar Bakung.

“Pelantun Bakung bisa dihitung dengan jari, tidak banyak yang bisa membawakannya lagi sekarang,” kata Hipui.

Menurutnya, sastra lisan milik Suku Dayak Bahau Busang ini sudah tergilas arus modernisasi. Modernisasi merubah prilaku Masyarakat Adat dengan cepat sehingga membuat orang Dayak meninggalkan adat leluhurnya.

Berdasarkan penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat soal sastra lisan dikalangan Suku Kayaan Mendalam disebutkan bahwa Bakung adalah sejenis syair yang berasal dari kelompok saudara mereka di Mahakam yakni Kayaan Mahakam (Kayaan Mekaam). Kelompok Kayaan Mahakam biasa juga menyebut dirinya sebagai Bahau Busang. Sementara, menurut mendiang Pastor Ding Ngo di Mendalam kata Bahau tidak digunakan lagi atau tidak didengar lagi. Padahal, orang Kayaan Mendalam adalah orang Bahau juga.

Terancam Punah

Hipui menjelaskan Bakung ini biasa dilantunkan selesai kerja di ladang untuk menghibur orang yang capek. Bakung juga biasa dilantunkan ketika ada orang meninggal. Tujuannya  untuk menghantarkan arwah orang yang meninggal menuju ke surga (Telaang Julaan). Selain itu, Bakung juga digunakan untuk menasehati anak-anak muda dalam pergaulan sehari-harinya maupun yang telah bertunangan dan ingin menikah.

Hipui mengenang mendiang buyut laki atau bapaknya nenek yang dulu pintar melantunkan Bakung di era tahun 1970-an, ketika mereka masih tinggal di Umaq Mahak Teboq. Buyut laki-laki itu sering dipanggil ke rumah-rumah untuk melantunkan Bakung, dari malam hingga subuh.

“Buyut kuat ingatannya, bisa melantunkan Bakung semalaman. Beda dengan kita sekarang, mudah lupa,” ujarnya.

Margaretha Seting Beraan (50), tokoh Masyarakat Adat Dayak Bahau Busang menyatakan syair Bakung mengandung nilai sastra. Bahasanya berseni penuh syair. Bisa juga kita sebut  bersajak.

Disebutnya, Bakung biasa dilantunkan pada saat momen-momen tertentu seperti upacara adat Dayak Bahau Busang. Si pelantun Bakung dipilih dan akan melantunkan syair yang sesuai dengan upacara adat tersebut.

“Pelantun Bakung harus betul-betul paham dengan cerita yang ingin disampaikannya,” terangnya.

Margaretha mengatakan saat ini pelantun Bakung sulit untuk dicari. Pelantun Bakung hanya dapat ditemukan di wilayah Mahakam Ulu. Tak ayal, tradisi lisan ini hampir punah.

“Ketika saya masih kecil di tahun 1980-an, Bakung sebenarnya sudah mulai langka. Apalagi sekarang ketika banyak orang sudah pindah ke kota, jadi jarang sudah dengar Bakung,” ungkapnya.

Masyarakat adat Dayak Bahau Busang di Mahakam Ulu. Dokumentasi AMAN

Peran Pemuda Melestarikan Bakung

Tradisi lisan Suku Dayak seringkali dituturkan oleh kalangan yang telah berumur tua. Hal ini menyebabkan anak-anak muda Suku Dayak sedikit yang dapat menuturkan tradisi lisan tersebut. Peran pemuda dan pemudi adat Dayak Bahau menjadi sangat penting dewasa ini untuk  melestarikan tradisi lisan ini.

Lung Ngo, salah seorang pemuda adat Dayak Bahau Busang mengakui keterlibatan pemuda dan pemudi dalam melestarikan tradisi lisan Bakung sangat minim. Karenanya, pemuda berusia 27 tahun ini mengajak pemuda dan pemudi Dayak untuk terus melestarikan kebudayaan yang memiliki nilai sakral ini.

“Kita harus melestarikan adat dan kebudayaan kita. Sumber adat kita: hutan, sungai, dan tanah. Bagaimana kita mau cerita Bakung kalau hutan, tanah, sungai sudah tidak ada lagi. Bukankah Bakung itu bercerita soal leluhur, lingkungan, dan nasehat segala macamnya,” tutur Lung Ngo.

Ia menambahkan kalau anak muda mau melestarikan Bakung maka pilihannya adalah mempertahankan hutan, tanah, dan sungai yang kita miliki saat ini.

“Kalau semua itu hilang, maka hilang juga sumber-sumber pengetahuan leluhur,” imbuhnya.

Lung Ngo menyatakan langkah lain yang perlu dilakukan agar Bakung tidak punah adalah dengan cara pendokumentasian. Bisa dituliskan beberapa Bakung yang sering dilantunkan, hal ini bisa menjadi dasar untuk memulai syair Bakung lainnya.

“Ini salah satu cara untuk melestarikan Bakung agar anak-anak muda ke depan punya memori dan kecintaan terhadap tradisi lisan tersebut,” pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Timur

Writer : Andreas Ongko Wijaya Hului | Kalimantan Timur
Tag : Masyarakat Adat Dayak Tradisi Lisan Bahau Busang