Oleh Tim Infokom AMAN

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang melaporkan penyidik Satreskrim Polres Kepulauan Mentawai ke Propam Polda Sumatera Barat menyusul tidak adanya kepastian hukum atas penahanan dua orang Masyarakat Adat Mentawai yang telah delapan hari mendekam ditahanan.

Tindakan penyidik dianggap melanggar prinsip kepastian hukum dan keadilan bagi Masyarakat Adat. Sebab, dua orang Masyarakat Adat yang ditahan : Nulker dan Rusmin telah menempuh jalan damai melalui mekanisme Restorative Justice sejak 13 Oktober 2025. Alih-alih menghentikan perkara, penyidik justru memperpanjang masa penahanan.

Kasus ini bermula dari sengketa adat terkait denda atau tulo terhadap dua orang yang dituduh melakukan santet. Persoalan itu difasilitasi oleh seorang pejabat publik hingga berujung pada kehilangan tanah bagi salah satu kelompok Masyarakat Adat Tatubeket. Keputusan ini menimbulkan kekecewaan dan mendorong sejumlah warga mendatangi Kantor Camat Sipora Utara pada 6 November 2024.

Dalam pertemuan itu, Nulker dan Rusmin terlibat perdebatan dengan pejabat publik. Keduanya sempat memegang kerah pejabat publik tersebut dan mengibaskan beberapa alat di meja. Tidak ada yang terluka dalam peristiwa ini. Dampaknya juga tidak begitu serius, namun kejadian ini dilaporkan ke polisi dengan pasal berlapis: Pasal 211, 212, 214, dan 170 KUHP.

Mengabaikan Prinsip Restorative Justice

Kepala Divisi Advokasi LBH Padang Adrizal selaku kuasa hukum Nulker dan Rusmin mengatakan selama proses berjalan telah dilakukan mediasi yang difasilitasi tokoh masyarakat dan keluarga. Pelapor dan terlapor sepakat berdamai. Pelapor bahkan telah menyerahkan surat pencabutan laporan kepada Kepala Polres Kepulauan Mentawai melalui penyidik Satreskrim, disertai surat kesepakatan damai tertulis yang ditandatangani pada 13 Oktober 2025.

Namun setelah surat pencabutan laporan diterima sejak 14 Oktober 2025, sebut Adrizal, penyidik menjanjikan segera melakukan gelar perkara untuk memastikan kepastian hukum bagi kedua terlapor yang sudah berstatus tersangka dan ditahan.

Dua hari kemudian, Kasatreskrim justru mengabarkan akan mengklarifikasi ulang soal “ganti rugi”. Menurut Adrizal, tindakan penyidik ini menunjukkan lemahnya profesionalisme dan pengabaian prinsip keadilan restoratif.

Disebutnya, LBH Padang telah menyarankan agar pihak penyidik melanjutkan mempertemukan pelapor dan terlapor tanpa kehadiran kuasa hukum jika dianggap perlu. Pertemuan pun terjadi antara penyidik dan pelapor, di mana dalam pertemuan ini pelapor kembali menegaskan pencabutan laporan dan perdamaian yang telah disepakati pada 16 Oktober 2025.

Namun hingga 19 Oktober 2025, penyidik belum juga memberikan kepastian hukum dan justru memperpanjang masa penahanan. Menurutnya, sikap ini menimbulkan tanda tanya besar sebab semua unsur perdamaian sudah terpenuhi, termasuk klarifikasi langsung dari pelapor.

“LBH Padang melaporkan tindakan penyidik ke Propam Polda Sumatera Barat sebagai dugaan pelanggaran etika profesi dan bentuk pengabaian prinsip restorative justice,” kata Adrizal pada Selasa, 21 Oktober 2025.

Adrizal menambahkan hingga kini tidak ada kejelasan dan kepastian hukum terhadap proses restorative justice yang sudah disepakati.

“Klien kami masih ditahan, tanpa ada mempertimbangkan surat perdamaian dan pencabutan kuasa oleh pihak pelapor,” imbuhnya.

Adrizal menduga hal ini terjadi akibat kuatnya dugaan tindakan penyidik terkait unfair trial. Kemudian, penyidik terkesan menunda penyelesaian dan mengesampingkan semangat perdamaian. Dikatakannya, alasan penyidik menolak surat perdamaian hanya karena tidak mencantumkan klausul ganti rugi merupakan kekeliruan logika hukum.

“Ini tidak masuk akal. Surat damai itu sudah disetujui dan ditandatangani langsung oleh pelapor. Bahkan, pelapor dan kuasa hukum sudah menjelaskan pada penyidik bahwa yang dimaksud hanyalah biaya administrasi, seperti cetak dan materai,” terangnya.

LBH Padang Siap Tempuh Langkah Hukum

Adrizal menjelaskan dengan memperpanjang penahanan, penyidik justru mengulur waktu dan menggantung kebebasan Masyarakat Adat tanpa dasar hukum yang kuat. Padahal, hukum pidana itu ultimum remedium merupakan upaya terakhir, bukan alat untuk menghukum secara emosional.

Dalam hal ini, Adrizal mempertanyakan sikap penyidik yang bersikeras ingin bertemu langsung dengan kuasa hukum pelapor. Padahal, klarifikasi tertulis sudah dilakukan.

“Semua sudah dijelaskan dengan terang. Kalau masih dipersoalkan, pertanyaannya: apa sebenarnya yang diinginkan penyidik,” tanya Adrizal.

Adrizal menuturkan penyidik wajib segera menindaklanjuti pencabutan laporan dan melaksanakan gelar perkara, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Bila hal ini diabaikan, sebut Adrizal, LBH Padang akan menempuh langkah hukum dan etik lanjutan untuk memastikan akuntabilitas dan profesionalisme aparat penegak hukum.

“Keadilan tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari keberanian untuk menghormati hukum dan mendengar suara rakyat,” pungkasnya.

***

Writer : Tim Infokom AMAN | Infokom PB AMAN
Tag : LBH Padang Penahanan Dua Orang Masyarakat Adat