[caption id="" align="alignleft" width="288"] BPAN KALBAR Sosialisasi Putusan MK[/caption] Pontianak, 23 September 2013. Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Wilayah Kalimantan Barat, melaksanakan sosialisi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012, di Cafe Champion Jalan Imam Bonjol Pontianak. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program kerja BPAN sebagai salah satu sayap organisasi AMAN untuk mensosialisasikannya pada masyarakat luas. Sebagaimana diketahui pada tanggal 16 Mei 2013 lalu MK mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan AMAN bersama Kesatuan Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan Kesatuan Masyarakat Adat Kasepuhan Cisitu Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Hadir peserta dari Organisasi Kepemudaan (OKP) Kota Pontianak antara lain: GMKI, GMNI, HMI, PMKRI, BEM FISIP UNTAN, LIPD, HMPPDK (Himpunan Mahasiswa Pemuda Pelajar Dayak Ketapang) FORMALAK (Forum Mahasiswa Landak) Ikatan Mahasiswa Parindu, Ikatan Mahasiswa Kabupaten Sanggau dan kader BPAN. Dalam Kesempatan itu juga hadir dua orang narasumber, Glorio Sanen Biro OKK AMAN Kalbar dan Salfius Seko, SH. MH dari Akademisi. Glorio Sanen dalam presentasinya yang berjudul “Hutan Adat Bukan Lagi Hutan Negara; Anotasi Putusan MK No. 35/PUU-X/2012, mengatakan; “Dalam filosopi masyarakat adat di Kalimantan, ‘Hidup Dikandung Adat, Mati Dikandung Tanah’ filosofi ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya tanah bagi masyarakat adat. Jangankan orang yang masih hidup, orang yang sudah meninggal saja perlu tanah,”ungkap pria yang biasa disapa Sanen ini. Pada prinsipnya hak pengelolaan hutan adat bagi masyarakat adat adalah ‘Droit Inviolable et Sacre’ artinya adalah hak yang tidak bisa diganggu-gugat. Sebelum adanya putusan MK No. 35, negara sering mengkriminalisasi dan merugikan masyarakat adat. Negara seolah-olah berdaulat atas tanah masyarakat adat,” ungkapnya. Sementara itu Salfius Seko dalam presentasinya tentang “Peluang Hukum bagi Masyarakat Adat terhadap Putusan MK No.35 menjelaskan, bahwa selama ini pengelolaan hutan , khususnya hutan adat, masyarakat diperlakukan tidak adil, bahkan tidak manusiawi. Hutan dipahami bukan hanya sebagai aspek politis, aspek ekonomis, aspek ekologis saja tetapi juga religio-magis. Implikasi dari putusan MK mempertegas kembali bahwa hutan adat itu melingkupi dan menghidupi masyarakat adat,” ungkapnya. Kongkritnya Putusan MK memberikan penegasan kembali tentang adanya pengakuan yang membawa beberapa implikasi. Diantaranya semua konsesi hutan yang berada di wilayah hutan adat perlu ditinjau kembali untuk mendapat persetujuan dari masyarakat adat. Mempercepat proses pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat (PPHMA), merevisi peraturan tata ruang, membuat mekanisme penyelesaian konflik dan menghentikan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang mempertahankan wilayahnya serta mendorong perbaikan tata kelola hutan partispatif, berkeadilan dan transparan. Pada sesi akhir kegiatan disimpulkan beberapa point rekomendasi yaitu mendesak DPR segera mensahkan RUU PPHMA. Mendorong Pemerintah Daerah membuat Perda yang mengakui keberadaan masyarakat adat sebagai jaminan kepastian hukum. Bukan hanya pengakuan terhadap hak-hak hukum tetapi juga menyangkut pengakuan masyarakat adat sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai wilayah territorial dan hak mengatur rumah tangganya sendiri. Mempunyai sistem hukum dan kesatuan penguasa serta pengakuan terhadap bentuk pemerintahan dalam lingkungan masyarakat adat, sebagai sub sistem pemerintahan negara yang merupakan wujud pengakuan terhadap hak politik dengan adanya pengakuan sistem hukum masyarakat adat yang diselaraskan dengan sistem hukum nasional. ***[Depriadi]

Writer : |