Oleh: Dirga Yandri Tandi dan Agustina Baine Kandaure

Memasuki hari kedua perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di Tana Toraja, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) menggelar diskusi bertajuk Integrasi Living Law (Hukum Adat) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Senin (7/8/2023).

Diskusi dibuka langsung oleh Sekretaris Jenderal AMAN Rukka Sombolinggi dan diikuti oleh peserta HIMAS dari berbagai wilayah adat.

Empat orang narasumber dihadirkan dalam diskusi ini yaitu Hakim Yustisial Mahkamah Agung (MA) D.Y Witanto, Koordinator PPMAN Region Sulawesi Mohammad Maulana, Rais laode dari HuMA dan Layuk Sarungallo tetua adat di Kete Kesu.

Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi dalam sambutannya menyatakan latar belakang dilaksanakannya diskusi hukum adat ini karena Masyarakat Adat saat ini mengalami tantangan, di mana terdapat berbagai undang-undang sektoral yang dibuat untuk membelah, memotong, mengiris dan memecah belah Masyarakat Adat. Menurutnya, hal ini tidak boleh dibiarkan terus berlanjut.

“Harus ada perlawanan dari Masyarakat Adat,” tegasnya.

Masyarakat Adat cukup antusias mengikuti diskusi ini. Berbagai macam pertanyaan dan harapan dilontarkan perserta diskusi terkait hadirnya KUHP living Law ini.

D.Y Witanto yang juga Asisten Ketua Mahkamah Agung menyatakan hukum adat harus terus hidup dan berjalan, jangan tergerus oleh perkembangan zaman. Dikatakannya, identitas negara ada di Masyarakat Adat.

“Kalau kita kehilangan adat berarti kita kehilangan karakteristik dan ciri khas dari masyarakat Indonesia sendiri,” ungkap Witanto saat ditemui usai diskusi di Kete Kesu, Tana Toraja pada Senin (7/8/2023).

Witanto berharap implementasi KUHP ini nantinya tidak mendegradasi dan menghilangkan hukum adat di Indonesia.

Ia menerangkan dengan masuknya hukum adat dalam KUHP, ini menguatkan lembaga adat dalam eksistensinya di masyarakat.

“Itu harapan kita. Jangan sampai dengan adanya KUHP, justru hukum adat jadi hilang ditarik menjadi hukum negara. Itu tidak kita harapkan," tegasnya.

Foto Dokumentasi AMAN

Ketua Harian Pengurus Wilayah AMAN Sulawesi Selatan Sardi Rajak menyatakan hadirnya Living Law dalam KUHP ini akan berdampak pada tatanan hukum adat yang ada di masyarakat. Dikatakannya, ketika hukum-hukum yang hidup di masyarakat ini diformulasi ke dalam hukum negara, maka bisa dipastikan ke depan, peran dan fungsi hukum adat akan hilang karena sudah ditarik ke dalam konstruksi hukum negara.

“Jika hal itu terjadi, warisan dari leluhur Masyarakat Adat dalam menyelesaikan masalah akan hilang karena masuk dalam peradilan negara,” ujarnya.

Sardi berharap hendaknya diskusi ini menjadi momentum bersama bagi para pihak, baik pemerintah, praktisi atau lembaga CSO mampu menarik di mana kira-kira keterhubungan, ada solusi dari situasi hukum yang terjadi. Karena ini RKUHP sudah disahkan dan tentunya ada formulasi yang ditemukan, bagaimana situasi lapangan Living Law Masyarakat Adat dengan situasi konstruksi hukum yang sudah disahkan pemerintah.

Sardi menyatakan diskusi Living Law ini menarik. Ia mengaku telah menyimak pembicaraan dari beberapa narasumber, di antaranya dari Mahkama Agung sendiri melihat bahwa hukum yang sementara berjalan di Masyarakat Adat ini menjadi suatu bentuk hukum tersendiri. Ibaratnya hukum yang ada di masyarakat dan hukum positif, bagaikan ibu dan anak, sesuatu yang tidak bisa dipisahkan.

“Ini akan saling komplementer," pungkasnya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Tana Toraja, Sulawesi Selatan

Tag : Diskusi HIMAS 2023 Identitas Negara Ada di Masyarakat Adat