Oleh Samsir

Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusatantara (AMAN) Taa Wana menggelar seminar untuk merumuskan produk hukum peraturan daerah dalam menjaga eksistensi Masyarakat Adat Taa Wana di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah.

Seminar yang berlangsung di Hotel Bogenvil Kolonodale pada Kamis, 11 Januari 2024 tersebut mengusung tema: Merumuskan Kebijakan Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Taa Wana di Kabupaten Morowali Utara.

Bupati Morowali Utara, Delis Julkarson Hehi yang diwakili oleh asisten I, Krispen H Masu dalam sambutannya sangat mengapresiasi kegiatan yang digagas oleh Pengurus Daerah AMAN Taa Wana. Menurutnya, kegiatan ini adalah tolak ukur untuk menjaga eksistensi Masyarakat Adat itu sendiri.

Krispen juga menjelaskan bahwa Masyarakat Adat Taa Wana berperan aktif dalam segi pembangunan di daerah yang dikenal dengan semboyan "Tepo Asa Aroa". Sehingga ke depannya, kata Krispen, perlu ada kebijakan Pemerintah Daerah untuk menaikkan taraf hidup Masyarakat Adat Taa Wana dalam segi ekonomi, sosial, hukum dan budaya.

"Hal ini akan ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah," kata Krispen.

Jabar Lahadji selaku mantan Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Morowali yang menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan ini menjelaskan pada tahun 2012, melalui inisiatif DPRD saat itu, telah ada Perda tentang pengakuan Masyarakat Adat Taa Wana. Namun, pada saat itu Kabupaten Morowali Utara belum dimekarkan, masih gabung dengan Kabupaten Morowali. Sehingga, sebutnya, perda tersebut cakupannya berada di Kabupaten Morowali.

Lebih lanjut, Jabar Lahadji menyatakan Masyarakat Adat Taa Wana secara sosiologis sangat termarginalkan, bahkan mengalami pemaksaan misalnya dipaksakan untuk pindah dari atas pegunungan ke bagian pesisir. Belum lagi penguasaan tanah skala besar dengan diterbitkannya izin usaha pertambangan.

"Maka, ketika Perda pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Morowali Utara ini akan dirumuskan, harus partisipatif dan menimbangkan unsur sosiologis maupun historisnya,” kata Jabar.

Dalam kesempatan ini, Ketua Dewan AMAN Daerah Taa Wana, Yulin Lae menilai bahwa maraknya investasi perkebunan dan pertambangan yang melakukan eksplorasi, membuat Masyarakat Adat dari suku terasing khususnya, Taa Wana tersingkir dari tanah leluhurnya.

Oleh karenanya, Yulin mendesak Pemerintah Daerah Morowali Utara untuk segera menerbitkan produk hukum Peraturan Daerah Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

“Harapannya di tahun 2024, Perda sudah terbit di Morowali Utara," ujarnya.

Pemerhati Masyarakat Adat Sulawesi Tengah, Noval A. Saputra dalam pemaparannya mendukung terbentuknya Perda Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Morowali Utara. Dikatakannya, Masyarakat adat Taa Wana kesehariannya banyak menyandarkan hidupnya sebagai petani.

Di sisi lain, sebutnya, ekspansi kapitalisme modal dalam bentuk penguasaan tanah skala besar acapkali merampas dan menyingkirkan Masyarakat Adat Taa Wana dari wilayah adatnya.

“Negara lebih mengistimewakan korporasi dalam menguasai sumber daya alam, ketimbang Masyarakat Adat yang secara turun temurun telah hidup dan berkembang,” jelasnya.

Terkait Perda Masyarakat Adat. Noval menyebut sejumlah daerah di Sulawesi Tengah telah memiliki Perda, seperti di Kabupaten Sigi ada Perda Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Selanjutnya, Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 13 Tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Suku Wana serta Peraturan Daerah Kabupaten Tojo Una-Una Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pengukuhan Masyarakat Adat Tau Taa Wana.

“Itu beberapa daerah yang telah punya Perda, sekarang kita tinggal menunggu lahirnya Perda Masyarakat Adat di Kabupaten Morowali Utara,” katanya.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sulawesi Tengah

Writer : |
Tag : AMAN Sulawesi Tengah Perda Masyarakat Adat AMAN Taa Wana