Oleh Umbu Adi Jawa Bara

Komunitas Masyarakat Adat Praing Laitaku Ndapaamu terletak di desa Maubokul. Kecamatan Pandawai, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur.

Komunitas Masyarakat Adat ini merupakan kampung marga Mbaradita. Jumlah penduduknya 167 jiwa atau 31 kepala keluarga. Di kampung ini hanya ada 28 unit rumah.

Masyarakat Adat Praing Laitaku dikenal sangat ramah dan masih mempertahankan adat istiadat dan budaya leluhur. Di perkampungan ini,  kita bisa melihat bentangan alam hutan adat yang sangat luas. Kuburan keramat serta tempat-tempat ritual adat marga Mbaradita. Semuanya masih lengkap dan terawat.

Komunitas Masyarakat Adat Praing Laitaku Ndapaamu tidak jauh dari Waingapu, ibukota Kabupaten Sumba Timur yang hanya berjarak 37,6 km. Jarak tempuhnya sekira 56 menit. Meski  jaraknya tidak jauh,  Masyarakat Adat Praing Laitaku jarang bepergian ke ibukota Waingapu. Mereka hanya bisa melihat dari kejauhan ibukota tersebut, terlebih saat malam hari. Ketika listrik menerangi ibukota Waingapu. Sebab, di kampung adat Praing Laitaku belum masuk listrik.  

“Sudah lama di kampung kami tidak ada listrik, malam hari gelap sekali,” kata Naomi Hada Pawulung, salah seorang Perempuan Adat Praing Laitaku Ndapaamu.

Naomi menyebut sebagian besar perempuan adat di Praing Laitaku menjadi ibu rumah tangga dan bertani. Mereka mengisi waktu dengan menenun untuk menambah kebutuhan sehari-hari.

Naomi menyebut kerajinan menenun ini sudah lama ditekuni oleh perempuan adat di Praing Laitaku. Hanya saja, kata Naomi, ibu-ibu rumah tangga di kampung Praing Laitaku kesulitan menenun di malam hari karena tidak ada listrik.

“Ibu-ibu rumah tangga di kampung Praing Laitaku hanya menggunakan pelita atau lampu aki untuk menerangi ativitas menenun di malam hari,” terangnya.

Naomi berharap pemerintah dapat segera memasukkan aliran listrik ke perkampungan adat Praing Laitaku. Naomi menambahkan masuknya aliran listrik ini sudah lama dinantikan oleh Masyarakat Adat Praing Laitaku.  Bagi mereka, listrik bukan hanya untuk menerangi kegelapan malam, bukan pula untuk memberikan pencahayaan yang cukup bagi anak-anak mereka disaat sedang belajar. 

Tetapi lebih dari itu, sebut Naomi, listrik penting untuk mendukung kegiatan mereka di malam hari seperti menenun dan menganyam tikar atau topu.

Yoningsih Yowa Tangu, salah seorang siswi SMP Satap Walatungga di desa Maubokul,  Kecamatan Pandawai menyatakan ia dan teman-temannya sekolahnya kesulitan belajar di malam hari karena tidak ada listrik.

“Bertahun-tahun kami belajar di rumah tanpa listrik. Cukup mengganggu sekali, apalagi saat belajar di malam hari,” kata Yoningsih sembari berharap listrik segera masuk ke kampungnya agar anak sekolah tidak terganggu belajarnya di malam hari.  

Kesulitan Air Bersih

Tokoh Masyarakat Adat Praing Laitaku, Yance Hiwa Windi mengatakan pada tahun 2012, pemerintah pernah memberikan bantuan listrik solar cell melalui dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) ke Komunitas Masyarakat Adat Praing Laitaku.  Namun bantuan tersebut hanya bertahan selama satu tahun.

Yance menjelaskan selain kesulitan listrik, kampung adat Praing Laitaku juga kesulitan air bersih. Yance menyebut tidak ada sumber air bersih di kampungnya karena mata air lebih rendah dari Komunitas Masyarakat Adat Praing Laitaku

Di tahun 2021, kata Yance, pemerintah menganggarkan dana untuk pengadaan pompa satelit. Namun, air tidak mampu naik ke kampung. Ia berharap pemerintah dapat membantu sumur bor.  

“Bantuan sumur bor ini sangat dinantikan Masyarakat Adat Praing Laitaku,” kata Yance sembari menginformasikan Masyarakat Adat Praing Laitaku selama ini harus berjalan sejauh 4 km untuk mengambil air bersih di kampung Wainggai.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur

Writer : |
Tag : Praing Latu Sumba Timur Krisis Air