Oleh Seliani

Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwoyaatn berbondong-bondong nyekar ke makam keluarga jelang Hari Raya Idul Fitri di kampung Sembuan, Kecamatan Nyuatan, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tradisi ini rutin dilaksanakan oleh Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwoyaatn sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

Beberapa hari jelang Lebaran, setiap keluarga besar biasanya akan berkumpul dan mengadakan ritual adat “Moyek Mopooi” yaitu memberi makan arwah leluhur sekaligus nyekar ke makam keluarga.

Juru ritual Marselinus Mega, yang juga staf Lembaga Adat di kampung Sembuan menerangkan ritual adat Moyek Mopooi ini dimaksudkan untuk mencegah segala macam gangguan yang disebabkan oleh “teguran” dari roh-roh leluhur. Selain itu, ritual ini juga sebagai bentuk cinta kasih kepada anggota keluarga yang telah tiada.

Menurut Marselinus, ritual ini kerap dilaksanakan oleh keluarga jelang Hari Raya Idul Fitri. Namun, belakangan ritual ini dapat dilaksanakan kapan saja, tergantung dari hajat keluarga yang melaksanakannya. Misalnya, hajat syukuran setelah musim panen padi dan musim buah-buahan, atau ketika keluarga merindukan leluhurnya yang sudah lama tiada.

“Intinya, ritual ini untuk memberi makan arwah leluhur agar keluarga yang masih hidup terbebas dari segala gangguan,” terangnya di kampung Sembuan pada Rabu, 3 April 2024.

Ritual adat “Moyek Mopooi” ini juga seringkali dilakukan sebelum mengadakan acara pernikahan.

Persiapan Ritual Moyek Mopooi di Kutai Dokumentasi AMAN

Marselinus menyebut ada banyak jenis makanan yang digunakan dalam ritual adat Moyek Mopooi, mulai dari makanan tradisional seperti: tumpi, tueng, tintikng, kelooq, dan nahiiq pulut yang terbuat dari ketan, hingga buah-buahan, ceker dan sayap ayam bakar, nasi beras baru dan berbagai jenis makanan lainnya.

Diterangkannya, makanan tersebut ditaruh di dalam tujuh buah piring besar, setiap jenisnya haruslah berjumlah masing-masing tujuh.

“Bilangan tujuh ini disebut sebagai bilangan arwah,” ungkapnya.

Setelah semuanya siap, kata Marselinus, maka piring-piring tersebut ditutup dengan sehelai kain putih dan sebuah “kelangkaakng” ditaruh di tengah-tengah. Kelangkaakng adalah sebuah anyaman bambu berkaki.

Setelah itu, seorang juru ritual pria mulai “nengkih wase” yaitu membunyikan besi yang biasa digunakan sebagai mata beliung (sejenis kampak). Kemudian, ia mengucapkan narasi-narasi khusus untuk memanggil para arwah leluhur agar mereka hadir serta memberi doa restu kepada anak cucu. Ritual pun selesai, semua makanan di piring akan dipindahkan ke dalam kelangkaakng untuk kemudian dibawa dan diletakkan di makam keluarga.

Marselinus mengatakan ritual ini salah satu tradisi yang masih dipegang teguh hingga kini oleh Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwoyaatn maupun Dayeq Murai Madekng. Ia pun menegaskan bahwa tradisi ini merupakan salah satu kekayaan budaya warisan leluhur Masyarakat Adat di Kutai Barat yang masih dijaga kelestariannya.

“Kami bangga punya tradisi leluhur yang masih lestari hingga kini,” katanya.

Hidup Harmonis

Suryanto, salah seorang tokoh umat Muslim di komunitas Masyarakat Adat Dayeq Jumetn Tuwoyaatn, menyatakan senang tradisi leluhur masih terjaga dengan baik di tempat mereka. Kehidupan Masyarakat Adat-nya juga rukun damai, saling tolong menolong satu sama lainnya.

Suryanto menerangkan harmonisasi ini dikarenakan rasa toleransi yang tinggi dan ikatan kekerabatan yang solid satu dengan yang lain. Ia menambahkan kerukunan ini sangat mereka rasakan pada saat jelang Hari Raya Natal maupun Hari Raya Idul Fitri.

“Umat yang berbeda agama di komunitas Masyarakat Adat ini selalu bergotong-royong memasak bersama untuk keperluan Natal maupun Hari Raya Idul Fitri,” kata Suryanto.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Timur

Tag : Ritual Moyek Mopooi di Kutai Barat Makan Arwah Leluhur Jelang Idul Fitri