Oleh Yeryana

Kami dari Komunitas Masyarakat Adat Haringen - bagian dari Masyarakat Adat Dayak Maayan - di Barito Timur (Bartim), Kalimantan Tengah (Kalteng), tidak menolak kemajuan dan pembangunan. Kami adalah warga bangsa ini yang sedang berupaya berdaulat secara pangan lewat pemanfaatan dan pengelolaan alam sesuai kearifan leluhur yang telah teruji oleh waktu dan terasah oleh pengalaman sehari-hari. Itu dilandaskan pada prinsip berkelanjutan untuk generasi selanjutnya.

Kami menciptakan kedaulatan pangan lewat praktik perladangan tradisional dengan membakar secara terbatas di lahan kecil. Hal tersebut kami lakukan bukan karena kami tertutup pada teknologi pertanian modern, melainkan demi menjaga warisan leluhur. Berladang dengan cara membakar bukan tindakan egois dalam merusak hutan, tetapi pengelolaan lahan yang penuh ketelitian dan tanggung jawab.

Tahapan Perladangan Dayak Maayan
Kami tidak merusak hutan dalam berladang. Kami mengolah tanah di hutan yang tidak produktif agar menjadi kebun. Sebelum lahan di hutan itu dibuka dan diolah, kami permisi pada entitas penjaga hutan dengan melakukan Nyuwuk Jumpun. Ritual tersebut merupakan permohonan izin, di mana kami menyiapkan sajen berupa beras, logam, telur ayam kampung, dan daun rirung. Sajen kami letakkan di bawah pohon pada pagi hari dan dibacakan doa. Tiga hari kemudian, kami baru boleh menjenguk sajen itu dan kami akan menemukan ciri-ciri apakah permohonan kami diterima atau tidak. Saat ciri-ciri penerimaan itu tampak, kami akan membuka lahan esoknya.

Ritual Nyuwuk Jumpun. Sumber foto: Mareta Karunia.

Pertama, kami akan membersihkan lahan, antara lain menebas (tamaruh) dan menebang (neweng) pohon-pohon di lahan itu. Prosesnya tidak sembarangan sebab kami perlu memperhatikan arah angin. Biasanya, proses neweng dimulai dengan mengambil arah dari matahari terbit (timur) ke matahari tenggelam (barat). Teknik neweng pun ada dua bagian: ada yang tebang satu-satu pohon dan ada yang dengan teknik dibuat mata tebas di tiap pohon agar jangan putus sampai pada luas ukuran lahan yang ingin ditanam. Setelahnya, kami pilih satu pohon paling besar dan arahkan rebahannya ke pohon-pohon lain, lalu tebang pohon tersebut hingga tumbang menimpa pohon-pohon lain, sehingga membuatnya tumbang bersamaan seperti kartu domino.

Sedangkan proses tamaruh, dilakukan dari satu titik mulai - yang disebut bata piharungan - dan biasa dimanfaatkan sebagai tempat mengasah alat kerja sekaligus tempat istirahat. Dari bata piharungan, kemudian akan berpindah tempat dan dilanjutkan pada hari berikutnya setiap hari. Pada hari pertama sampai ketiga, tamaruh harus dilakukan secara berkelanjutan dan tidak boleh putus hari atau berjeda agar nanti pertumbuhan padinya baik dan tak tersendat. Setelah tiga hari berturut-turut, pada hari berikutnya boleh ada jeda hari.

Selesai menebang, dilanjutkan dengan hanradah, yaitu proses memotong ranting-ranting pohon agar cepat mengering. Lalu, dilanjutkan dengan iranrang, yaitu penumpukan potongan kayu dan ranting serta daun-daun di beberapa titik. Pembersihan tiap pinggir lahan di bagian batas luar itu, adalah teknik sekat bakar agar saat dilakukan proses nutung (membakar), api tidak meluas. Nutung dilakukan tiga hari pasca-iranrang selesai, yakni saat potongan kayu, ranting, dan semak yang ditumpuk, kering dan siap dibakar.

Masa bakar dilakukan pada Agustus-September dan awal November. Pembakaran lahan ladang pada Oktober, sangat dihindari karena - berdasarkan pengalaman leluhur - bulan itu punya arus angin yang rendah dan berisiko membuat api mudah tersebar luas. Proses nutung tidak pernah dilakukan sendiri oleh pemilik ladang, melainkan gotong royong dengan tetangga ladang lain. Secara umum, berladang selalu kami lakukan bersama. Itu kami lakukan untuk mencegah atau mengurangi risiko gagal panen akibat hama burung. Jika ladang berbaris, maka hama burung tidak menyerang satu titik, namun banyak ladang, sehingga ada keseimbangan waktu terkait dengan serangan hama. Alasan lain, adalah agar bibit tumbuh baik di baris ladang yang bertetangga. Itu kami sebut babantai.

Selesai proses nutung, selanjutnya ipandruk. Itu adalah proses menumpuk sisa kayu yang belum habis dimakan api. Biasanya, dua hari pasca-nutung, baru ipandruk.

Dalam membakar, selain memiliki sekat bakar, kami juga bergotong royong mengantisipasi kebakaran dengan mempertimbangkan pemilihan lokasi ladang yang tidak boleh jauh dari sumber air, seperti sungai dan mata air. Dalam proses membakar, ada mantra warisan leluhur yang disebut Tampajah Api. Jadi, saat bakaran yang dijaga mulai menampakkan risiko akan meluas, mantra dibacakan agar api segera padam.

Sambil melakukan ipandruk, dilakukan itatak, yaitu pembersihan tunggul-tunggul pohon yang ditebang agar mencegah kecelakan bagi peladang dalam proses selanjutnya. Kemudian, tunggul-tunggul dan tumpukan pandrukan dibakar agar lebih bersih. Proses pembukaan dan pembersihan ladang, lebih banyak dilakukan oleh pria karena bisa lebih cepat dilakukan.

Rata-rata pada minggu kedua November, masuklah masa muau (menugal) menurut perhitungan Dayak Maayan. Periode itu kami juluki dengan wulan matueh (saat bulan bersinar penuh di langit), di mana kami percaya padi-padi diberi roh agar tumbuh subur.

Hampir seluruh proses perladangan Dayak Maayan dilakukan secara gotong royong. Kami menyadari bahwa kami adalah mahluk sosial, di mana semua kebutuhan kami saling tergantung satu sama lain. Kami diibaratkan dengan satu pohon besar yang berasal dari akar yang sama. Proses gotong royong kami sebut ipangandrau.

Benih yang dipersiapkan oleh perempuan adat. Sumber foto: Mareta Karunia.

Dalam proses menugal, peran perempuan adalah menyiapkan benih karena jenis benih yang baik, dipilih dan dipegang oleh perempuan adat Dayak Mayaan. Menugal akan dilakukan secara terorganisir dan terkomando oleh satu orang yang berpengalaman agar arah tugal serta jarak padi, teratur.

Sebelum muau dilakukan, dibuat putut panunuan sebagai titik mulai dan sentral benih, di mana dibuat tonggak tempat menaruh sajen ritual telur ayam yang sudah dikosongkan isinya. Kemudian, kami melangsungkan ritual Pilah Wini yang dilakukan sebagai doa agar benih bisa tumbuh subur dan proses menugal bisa berjalan lancar, aman, dan terhindar dari marabahaya.

Proses muau dikomandoi oleh pengayak bakas agar alur tugal terarah dan teratur, dalam Bahasa Dayak Maayan disebut hatup. Pembagian tugasnya, lelaki pada bagian membuat lubang benih menggunakan kayu yang ujungnya diruncingkan (nuang ehek), sedangkan perempuan adat pada bagian mengisi lubang tugal (muau wini).

Pada setiap muau, ada makanan khasnya, yakni nasi dengan lauk ayam kampung masak kuning dan labu kuning. Kami menamakannya luen muau. Masakan itu punya filosofi berupa harapan agar padi kami tumbuh dan berbuah subur dengan hasil panen melimpah. Muau selalu dilakukan beriringan berganti hari pada setiap ladang yang berbaris atau satu kampung dalam siklus waktu yang sama (pada minggu dan bulan yang sama). Hal itu dilakukan untuk mencegah gagal panen karena serangan hama dan demi keseimbangan.

Peran dan Kontribusi Perempuan Adat
Pasca-muau, peran perempuan adat lebih banyak dalam perawatan ladang, seperti ijajap (membersihkan rumput di sela-sela padi). Setelah masa itu, para perempuan adat akan menanam aneka kebutuhan dapur, seperti berbagai tanaman sayur, buah, dan obat. Sementara itu, pihak lelaki akan banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan lain, seperti berburu dan pekerjaan lain untuk memperoleh uang.

Keseharian perempuan adat tergantung pada ladang. Ladang ibarat minimarket untuk pemenuhan kebutuhan harian kami sekaligus dapur yang menjadi sumber obat dan sayur. Saat panen, Masyarakat Adat Dayak Maayan akan memanfaatkan hasilnya untuk kebutuhan pangan komunitas adat. Kami juga tidak lupa berucap syukur kepada roh leluhur. Kami tidak boleh memasak beras kami jika semua padi belum naik ke rumah. Saat semua sudah naik ke pondok, barulah beras dimasak dengan lauk yang nikmat. Tapi, sebelum kami menikmatinya, ada ritual Nahampe. Beras baru dan lauk yang dimasak akan disajenkan sebagai simbol syukur kepada roh leluhur atas berkat dan penyertaan mereka, sehingga panen kami baik sekaligus doa agar panen tahun depan sebaik tahun ini. Setelah ritual dilangsungkan, aktivitas makan bersama dilakukan dengan keluarga, tetangga, dan kerabat.

Makanan ritual dari Masyarakat Adat Dayak Maayan. Sumber foto: Mareta Karunia.

Setelah panen, lahan akan kami bersihkan dan kami tanami tanaman produktif, seperti pohon karet dan buah, antara lain durian, cempedak, duku atau langsat, dan lainnya.

Ladang adalah bagian dari area kelola kami di wilayah adat. Itu merupakan investasi bagi generasi selanjutnya dengan prinsip berkelanjutan. Meski keuntungannya tidak sebanyak atau secepat perkebunan sawit dan pertambangan batu bara, namun cara investasi kami itu terbukti bersahabat dengan alam dan berkelanjutan. Perlahan dan kecil, namun pasti bagi generasi selanjutnya.

Sebagai perempuan adat, hubungan kami dekat dengan ladang. Ladang dibutuhkan oleh kami karena gender kami yang perempuan. Hanya perempuan yang mengalami proses reproduksi, seperti mengandung dan melahirkan. Bagi perempuan adat, dari ladang-lah kami memperoleh sumber gizi yang sehat - tanpa pengawet, segar, dan nikmat. Itu yang kami peroleh dan konsumsi juga ketika kami hamil.

Kami diajarkan agar tidak sembarangan mengonsumi makanan yang bersumber bukan dari ladang. Kami khawatir dengan hal-hal yang mengandung pengawet dan pestisida sebab itu tidak baik untuk janin kami. Perempuan hamil tidak diperkenankan makan makanan yang dihangatkan berulang, jadi harus segar. Pasca-melahirkan atau di masa nifas, perempuan adat dirawat dan dijaga untuk berpantang ketat selama empat puluh hari. Kami tidak boleh mengonsumsi garam berlebih; tidak boleh kena hujan, angin, dan sinar matahari langsung; tidak boleh makan makanan instan, daging merah, dan yang digoreng. Jika itu dilanggar, maka ada risiko rentan keracunan yang kami sebut tawen. Selain itu, ada risiko kematian bagi ibu di masa nifas. Maka, perempuan adat di masa nifas, wajib mengonsumsi makanan sehat, sayur segar dari ladang, dan ikan segar dari sungai. Manfaat pantangan tersebut terbukti nyata dalam kesehatan perempuan adat. Bagi yang taat, kami percaya saat usia di atas 40 tahun, maka akan jarang mengalami sakit, seperti hipertensi, diabetes, mata kabur, nyeri tulang, dan kulit cepat keriput. Sementara yang tak taat, akan rentan mengidap penyakit di usia 30-an.
 
Kami tegaskan lagi bahwa Masyarakat Adat, termasuk perempuan adat, sama sekali tidak menolak kemajuan dan pembangunan. Tetapi, kami meminta agar hak kami diakui dan dipenuhi selaku warga negara yang merdeka atas ruang hidup di wilayah adat kami yang merupakan warisan leluhur kami. Lewat cara hidup kami yang menekankan keberlanjutan, kami kelak mewarisi kehidupan bagi generasi selanjutnya. Jika wilayah adat kami, termasuk tanah adat, hutan adat, dan sungai, habis dikuasai pertambangan batu bara dan perkebunan sawit dengan alasan pembangunan dan kesejahteraan, sesungguhnya itu pembunuhan atas kami secara perlahan. Misalnya, jika sungai kami dicemari, maka perempuan adat dapat sakit. Itu juga mengganggu kesehatan reproduksi kami. Lalu, perempuan adat berisiko mengandung generasi yang cacat ketika sungai - sebagai sumber hidup kami - tercemar.

Sementara itu, saat kami dilarang membakar lahan untuk berladang, maka itu secara langsung mencegah kami berdaulat atas pangan di tanah leluhur kami. Kami akan kehilangan kearifan lokal, ritual, pengobatan tradisional, dan seni anyaman yang merupakan bagian dari pemenuhan kebutuhan alat kerja perempuan adat yang ramah lingkungan ketika berladang.

Kesejahteraan bagi Masyarakat Adat, bukan tentang berapa banyak uang yang bisa kami miliki untuk membeli barang-barang modern yang habis pakai dan mencemari lingkungan, namun saat kami dapat memenuhi sandang dan pangan kami dari tanah dan hutan di wilayah adat. Semakin sedikit kami membeli kebutuhan dari luar komunitas atau wilayah adat, maka kami makin bahagia dan sejahtera secara bermartabat.

***

Penulis adalah perempuan adat dari Masyarakat Adat Dayak Maayan dan PEREMPUAN AMAN PHD Bartim.