Oleh: Sucia Lisdamara

Berawal dari ibu saya yang sering menceritakan tentang masa kecil di kampung halamannya, membuat saya begitu penasaran dengan Kasepuhan Cibedug. Terlebih setelah saya tahu kalau Kasepuhan Cibedug sudah menjadi Anggota AMAN sejak Tahun 1999. Ya, saya memang tidak lahir dan besar di Kasepuhan Cibedug, tapi ibu dan leluhur saya berasal dari sana. Saat ini, saya tinggal di Kasepuhan Bayah yang jaraknya sekitar 55 Km dari Kasepuhan Cibedug.

Sebagai incu putu (anak cucu, kerutunan), saya merasa ikut bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan adat istiadat yang ada di Kasepuhan Cibedug. Saya ingin orang-orang di luar sana tahu bahwa ada sebuah kampung terpencil di Kabupaten Lebak, tepatnya di Desa Citorek Barat yang masih menjaga dan menjalankan tradisi nenek moyang.

Sabtu pagi itu, 15 Juli 2023, bersama seorang kawan, saya berangkat dari rumah menuju Kasepuhan Cibedug dengan menggunakan sepeda motor. Perjalanan menuju Desa Citorek Barat bisa ditempuh dengan kendaraan roda empat, namun dari pusat desa ke Kasepuhan Cibedug hanya bisa dilalui dengan kendaraan roda dua.

Jalanannya masih berupa susunan batu-batu yang dibangun sendiri oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug. Hanya sebagian kecil jalan yang sudah dicor dan menjadi satu-satunya akses menuju ke Kasepuhan Cibedug. Jaringan internet dan aliran listrik juga baru masuk ke Kampung Cibedug delapan tahun lalu. Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug sering disebut masyarakat pedalaman dan terisolir.

Perjalanan yang melelahkan seperti tak terasa karena suguhan pemandangan hutan adat yang begitu indah dan udara yang sejuk. Tidak bisa ditemukan di kota.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih dua jam, akhirnya sampai di Kasepuhan Cibedug. Saya mendatangi rumah Abah Asbaji, pemangku adat Kasepuhan Cibedug yang juga merupakan adik dari nenek saya. Rumahnya tepat menghadap jalan, dengan ciri khas rumah panggung yang terbuat dari kayu dan bambu.

Ada rindu yang terlepas setelah bertemu dengan abah dan keluarga. Sedikit perbincangan ke sana ke mari, hingga sampai ke cerita tentang sejarah Kasepuhan Cibedug.

Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dulunya berasal dari Lebak Sangiang yang saat ini menjadi Kampung Cikate. Letaknya di sebelah barat Kasepuhan Cibedug, jaraknya kurang lebih 20 Km. Sekitar tahun 1931, Aki Winata Wijaya diamanatkan oleh Buyut Sarmanah untuk menjaga peninggalan leluhur, yaitu Karamat Cibedug. Satu Situs Punden Berundak, dan membuka perkampungan baru di sana yang saat ini disebut Kasepuhan Cibedug.

Kasepuhan Cibedug sudah mengalami tiga kali pergantian pemangku adat. Setelah Aki Winata Wijaya atau Aki Uin meninggal, beliau digantikan oleh anak pertamanya yaitu Abah Askam. Setelah Abah Askam meninggal, lalu diteruskan oleh adiknya yaitu Abah Astara.

Setelah Abah Astara meninggal pada Tahun 2000, kepemimpinan Kasepuhan Cibedug mengalami kekosongan selama 3 tahun. Pada saat itu, Kasepuhan Cibedug sering mengalami gagal panen dan krisis pangan.

Barulah setelah Abah Asbaji, adik dari Abah Astara, diangkat menjadi pemangku adat Kasepuhan Cibedug pada Tahun 2003 dan kembali menjalankan tradisi leluhur, keadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug menjadi lebih baik. Sampai saat ini, Abah Asbaji masih menjabat sebagai pemangku adat sekaligus juru kunci Situs Punden Berundak.

Perjuangan Pengakuan Wilayah Adat

Abah Asbaji juga merupakan salah satu tokoh yang memperjuangkan hak Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug atas wilayah adatnya. Pada 1992, Kasepuhan Cibedug masuk ke dalam kawasan konservasi oleh pemerintah. Ditambah lagi pada saat ditetapkan sebagai Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) pada Tahun 2003. Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug semakin terancam keberadaannya.

Kiri: Sucia Lisdamara, Kanan: Abah Asbaji

Jangankan untuk ngahuma (bertani di lahan kering), mencari kayu bakar ke hutan saja mereka takut ditangkap oleh polisi hutan. Sudah ada beberapa kejadian Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug yang dikriminalisasi hanya karena mereka mengambil sedikit dari apa yang seharusnya menjadi milik mereka.

Setelah melalui perjalanan dan perjuangan yang cukup panjang untuk mendapatkan kembali hak atas tanah dan wilayah adatnya, akhirnya Kasepuhan Cibedug mendapatkan SK Hutan Adat dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI seluas 1.268 Hektar pada tanggal 23 Desember 2022.

Meski luas hutan adat yang dikembalikan tidak sesuai dengan luas yang diajukan oleh Kasepuhan Cibedug pada 2019 yaitu 2.138 hektar. Namun, adanya SK hutan adat tersebut tetap membawa angin segar bagi Kasepuhan Cibedug. Setidaknya saat ini keberadaan Masyarakat Adat sudah diakui dan bisa lebih leluasa untuk menjaga dan mengelola wilayah adatnya.

Menjaga Wilayah Adat dengan Tradisi

Bukan Masyarakat Adat jika tidak punya tradisi. Termasuk dalam menjaga wilayah adat, tradisi menjadi salah satu caranya. Seperti pada proses pengelolaan padi di Kasepuhan Cibedug yang dilakukan setahun sekali. Ada beberapa rangkaian ritual, mulai dari menanam sampai memanen.

Ketika memulai musin tanam padi, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug memulai dengan ritual asup leuweung (masuk ke hutan) yang menandakan akan dimulainya proses menanam padi. Dilanjutkan dengan Nibakeun sri ka bumi, ritual ini dilakukan pada saat akan menyebar benih dengan cara mengadakan upacara selamatan dan doa bersama di rumah kasepuhan. Padi yang telah ditanam masih diritualkan agar terhindar dari hama dan terhindar dari gagal panen. Ritualnya disebut Ngubaran (mengobati) yang khusus dilakukan oleh para sesepuh atau baris kolot.

Mapag pare beukah, adalah riual lain yang dilakukan dengan cara mengadakan selamatan dan doa bersama pada malam hari, dan esok harinya ada prosesi ngadodol atau membuat dodol dan gegender/nakol lisung (memukul lisung) selama tiga hari berturut-turut setiap sore. Sementara ketika hendak melakukan panen, ritual Mipit digelar. Pada saat padi sudah dipanen dan lantaian (pocongan padi) sudah terkumpul, padi tidak boleh ditumbuk sampai 40 hari. Ada proses lain yang biasa disebut Nganyaran, yaitu memasak nasi dari pare anyar (padi yang baru dipanen).

Serentaun

Ritual puncaknya adalah Serah Taun. Merupakan upacara adat yang digelar dalam rangka bentuk rasa syukur kepada Sang Pencipta dan juga sebagai perayaan bagi Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug karena telah melaksanakan panen padi serta sebagai tanda akan dimulai kembali proses menanam padi.

Serah Taun atau Seren Taun ini diadakan selama sehari dua malam. Malam pertama diawali dengan ritual seserahan yaitu meminta do’a keselamatan dari juru basa mengatasnamakan warga Cibedug kepada pemangku adat atau kokolot. Isi dari seserahan tersebut berupa apu, gambir, pinang, seureuh/sirih, daun kaung, uang, dan rokok. Besoknya, diadakan ritual rasul seren taun yaitu upacara selamatan dan do’a bersama. Setelah selesai, dilanjut dengan ziarah ke Makom Aki Winata Wijaya atau Karamat. Setelah ziarah selesai, langsung disambung dengan acara hiburan, seperti jaipongan dan helaran atau biasa juga disebut dengan debus yang merupakan ciri khas dari Kasepuhan Cibedug.

Selain ritual-ritual yang mengungkapkan harapan dan rasa syukur, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug juga mengenal aturan-aturan adat yang harus dipatuhi oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug.

Salah satunya larangan pada hari-hari tertentu seperti tilu puluh na (tanggal 30) dan lima belasna (tanggal 15) – berdasarkan penanggalan Cibedug – yang melarang warga ke sawah untuk menanam padi serta larangan bertani dan berkebun pada hari Minggu. Hari yang kemudian digunakan oleh Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug untuk gotong royong membersihkan Situs Punden Berundak.

Wilayah Adat dan Ekonomi Masyarakat Adat

Ema (ibu) Sawinah, istri dari Abah Asbaji menceritakan kepada saya tentang tanaman apa saja yang ditanam di atas tanah Kasepuhan Cibedug. Mereka menanam kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan seperti pisang dan kopi. Awal mulanya hasil bertani dan berkebun digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Namun, setelah hasil panen mulai melimpah dan akses menuju Cibedug mulai membaik, Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dapat menjual hasil panennya ke luar kampung. Terkadang ada juga tengkulak yang datang untuk membeli hasil panen mereka. Hasil panen yang dijual hanya beras, pisang, dan kopi, sisanya dimanfaatkan untuk kebutuhan makan sehari-hari. Untuk saat ini, penghasilan terbesar Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug berasal dari hasil penjualan beras.

Area pertanian dan perkebunan di Kasepuhan Cibedug

Keberhasilan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dalam meningkatkan perekonomian tidak terlepas dari kedisiplinan dalam menjaga, merawat, dan menjalankan tradisi warisan nenek moyang. Ritual yang dijalankan oleh Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug memberikan pelajaran bahwa setiap akan melakukan dan mengambil sesuatu dari alam harus berdo’a dan meminta izin terlebih dahulu kepada Sang Pemilik yaitu Tuhan Yang maha Esa. Hal tersebut juga menandakan bahwa Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug mempunyai tatakrama yang sangat baik.

***

Jurnalis Masyarakat Adat dari Banten Kidul