Oleh Yuyun Kurniasih

Namanya Dinda Sari. Ia adalah pemuda adat dari Komunitas Masyarakat Adat Buhul, Desa Batu Perahu, Kecamatan Batang Alai Timur, Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalimantan Selatan. Dinda juga merupakan anggota dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), tepatnya Pengurus Daerah BPAN HST. Selain membantu orangtuanya di ladang, keseharian Dinda di komunitas Masyarakat Adatnya disibuki dengan aktivitas menganyam. Ia kerap menerima pemesanan dari luar kampung dan hadir dalam berbagai pameran usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang diselenggarakan di desa atau kabupatennya.

Saya pernah berbincang dengan Dinda saat Kemah Pemuda Adat di Kotawaringin Barat (Kobar), Kalimantan Tengah. Ia bercerita bagaimana ia harus menempuh jarak yang jauh dari rumahnya hingga sampai ke lokasi kemah. Sebelum sampai ke Kobar, dia berjalan kaki selama enam jam dari kampungnya hanya untuk sampai ke jalan utama yang dapat dilalui kendaraan bermotor. Kemudian, ia melanjutkannya dengan naik motor sekitar tiga jam untuk sampai ke Rumah AMAN Kalimantan Selatan. Singkat cerita, Dinda membutuhkan dua hari jalan kaki dan naik kendaraan umum untuk sampai ke lokasi kemah. Ia bersyukur kala itu tidak hujan, sehingga sungai tidak tumpah. Jika banjir, kadang ia harus bermalam di sekitar sungai untuk menunggu air surut agar dapat dilewatinya. Hujan lebat maupun banjir dapat menghambat perjalanannya hingga berhari-hari dan membahayakan.


Karya kerajinan tangan berupa tas. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

Berbicara soal anyaman, menurut Dinda, ia telah menekuni itu sejak kelas 2 SMP. Dinda dapat menganyam tas, bakul, gelang, dan lainnya. Baginya, menganyam telah memberinya kebahagiaan tersendiri. Dinda mengaku bangga menjadi pemuda adat yang bisa menganyam. Menurutnya, menjadi pemuda adat harus berkarya tanpa henti dengan memanfaatkan sumber daya di wilayah adatnya secara adil dan lestari.

Wilayah adat adalah sumber yang penuh dengan potensi serta dapat dikelola dengan mudah oleh para pemuda adat, ungkap Dinda.

Selain menganyam, ia juga pandai membuat gelang atau besimpai (simpai) dalam bahasa setempat. Besimpai umum terdapat di seluruh penjuru Kalimantan serta sebagian Jawa dan Sumatera, khususnya Masyarakat Adat di Banten (Badui) dan Bengkulu. Saya sering mendapatkan cerita dari kawan-kawan pemuda adat saat berkumpul bersama dengan mereka. Tentu, nama gelang itu bisa berbeda-beda di banyak daerah.

Saya pernah dibuatkan simpai oleh Dinda saat berkegiatan di Kemah Pemuda Adat. Menurut Dinda, bahannya mudah ditemukan di ladang atau sekitar rumahnya. Cukup dipilih bahan yang baik, kemudian dihaluskan, dan dijemur hingga siap dianyam menjadi gelang. Keahlian Dinda terbukti oleh mata saya sendiri. Ia mampu membuat gelang langsung di tangan saya dengan bermodalkan senter handphone saat malam hari. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk Dinda menyelesaikan pembuatan anyaman gelang yang indah dan pas di tangan saya. Gelang itu pun masih saya pakai hingga hari ini.

Kembali ke perihal anyaman, Dinda mengatakan kalau bahan dasar anyaman didapat dari hutan di Pegunungan Meratus. Di sana, hutan relatif masih terjaga dan kaya akan beragam bahan organik yang dapat dimanfaatkan untuk bahan dasar anyaman, termasuk bambu tirik yang banyak tumbuh di Pegunungan Meratus.

Menurut Dinda, bambu tirik tak bisa sembarangan dipanen. Jenis bambu tersebut biasanya hanya sekali dipanen dalam setahun untuk dijadikan bahan anyaman. Ketika masa panen datang, ia dan warga lain akan mengumpulkan sebanyak mungkin bambu agar dapat memenuhi kebutuhan pada bahan anyaman dalam setahun ke depan atau sampai panen bambu tirik berikutnya yang diatur dalam aturan adat.

Dalam menyelesaikan satu produk anyaman, Dinda dapat menyelesaikannya selama dua sampai tiga hari. Itu tergantung ukuran dan kerumitan anyaman. Proses pembuatannya dimulai dari pengambilan bambu tirik di hutan di Pegunungan Meratus, kemudian bambu itu dihaluskan dan diatur besar kecil potongannya berdasarkan anyaman yang akan dirangkai. Bambu yang telah dipotong sesuai ukuran, diberi sebutan bamban. Bamban tersebut akan diatur tingkat kelenturannya. Biasanya, Dinda akan merendamnya terlebih dulu di air panas, lalu dijemur untuk mendapatkan warna putih alami yang muncul dari bamban. Tapi, jika ingin cepat dan mudah, bisa juga dilakukan dengan menggunakan bahan sintetis yang dibeli di toko atau pasar tradisional.

Setelah selesai dengan proses bamban, baru bahan bisa dianyam dengan mulai membuat butah arangan. Butah arangan adalah pembuatan motif yang akan disesuaikan dengan keinginan penganyam atau pelanggan yang memesan anyaman.

Bagi Dinda, menganyam melampaui sekadar aktivitas sehari-hari, melainkan bagian dari upayanya sebagai generasi penerus untuk melanjutkan pengembangan pengetahuan dan tradisi Masyarakat Adat.

“Harus bisa menganyam,” pesannya kepada para pemuda adat, termasuk perempuan adat di kampungnya maupun di komunitas Masyarakat Adat lain yang memiliki tradisi serupa. Ia bilang, “Anyaman adalah pengetahuan turun-temurun dari nenek moyang kita. Kita harus terus mengembangkan pengetahuan itu untuk tetap hidup.” 

Karya anyaman berupa keranjang. Sumber foto: Dokumentasi AMAN.

***

Penulis - akrab disapa Ayun - adalah perempuan queer yang menemukan jati dirinya sebagai pemuda adat. Ia aktif di BPAN dan membawa identitas “pelangi” sebagai bagian dalam keberagaman Masyarakat Adat di Indonesia